Benchmarking Pendidikan Finlandia: Angin Segar atau Utopia?

Selasa, 21 Juli 2020 - 06:54 WIB
loading...
Benchmarking Pendidikan Finlandia: Angin Segar atau Utopia?
Muchammad Tholchah
A A A
Muchammad Tholchah
Mahasiswa Program Doktoral di Tampere University, Finlandia, dan Penerima Beasiswa BPI LPDP Kementerian Keuangan Republik Indonesia


BEBERAPA waktu lalu Presiden Jokowi meminta agar Indonesia melakukan benchmarking negara yang berhasil mengadaptasi pendidikannya untuk memenuhi perubahan di masa depan. Finlandia dijadikan rujukan untuk pendidikan dasar dan menengah. Pertanyaannya adalah bagaimana negara kita melakukan benchmarking sistem pendidikan negara lain sementara masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda? Paparan ini mendeskripsikan karakteristik pendidikan Finlandia sekaligus mengkaji kemungkinan Indonesia melakukan benchmarking.

Sistem Pendidikan di Finlandia
Sahlberg (2011) memaparkan prinsip pendidikan di Finlandia yang menjadi dasar bagi kebijakan dan praktik pendidikan, yaitu kolaborasi, responsibilitas, dan kesetaraan. Pertama, pendidikan bukanlah perlombaan yang harus menghasilkan pemenang. Setiap anak didik dianggap memiliki minat sendiri sehinga tidak bisa diperbandingkan melalui penilaian terstandar. Karenanya, kolaborasi antarpeserta didik dengan difasilitasi oleh guru menjadi hal yang terimplementasikan dalam pembelajaran. Selain itu, hasil belajar siswa tidak diukur berdasarkan nilai, bahkan tidak ada ujian kenaikan kelas sehingga setiap anak didik pasti naik kelas.

Selanjutnya salah satu tujuan pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang bertanggung jawab sesuai dengan peran masing-masing meskipun tanpa pengawasan. Penanaman rasa tanggung jawab lebih dikedepankan dibanding akuntabilitas. Rasa tanggung jawab inilah menjadi roh dari setiap warga negara sehingga tercermin dalam perilaku sehari-hari. Guru akan menjalankan tanggung jawabnya secara maksimal sebagai pengajar sekaligus peneliti meskipun tidak ada pengawas sekolah. Selain itu, Finlandia menerapkan prinsip kesetaraan layanan pendidikan. Di mana pun peserta didik mengikuti proses pendidikan, layanan yang diterima akan sama dan terstandar sehingga tidak ada sekolah favorit dan tidak favorit (Simola, 2005).

Karakteristik lainnya, guru termasuk salah satu profesi yang dianggap amat penting sehingga perhatian dan sumber daya yang dicurahkan untuk mempersiapkan calon guru amat besar (Valijarvi, 2002). Salah satu indikatornya seleksi mahasiswa calon guru disusun sedemikian ketat melalui dua tahap. Tahap pertama dilakukan melalui tes disebut dengan Valtakunnallinen kasvatusalan valintayhteistyöverkosto (VAKAVA) untuk mengukur ingatan, pemahaman, dan kemampuan mengaplikasikan pengetahuan. Kandidat yang berhasil mencapai skor tertentu bisa mengikuti tes selanjutnya berupa wawancara dan diskusi kelompok untuk mengukur kesesuaian karakter, motivasi, dan komitmen calon mahasiswa dengan karakteristik pekerjaan mengajar. Selain seleksi ketat terhadap calon mahasiswa keguruan, guru di Finlandia memerankan fungsi sebagai praktisi reflektif yang selalu mengevaluasi pekerjaannya berdasarkan penelitian.

Pendidikan di Finlandia tidak bisa dipisahkan dari sistem jaminan sosial (KELA). Sahlberg (2015) menjelaskan bahwa setiap anak memperoleh santunan bulanan (lapsillisa) untuk memenuhi kebutuhannya, misalnya pengembangan minat. Saat warganya belum memperoleh pekerjaan, maka KELA memberikan bantuan finansial (tyttmyysturva) untuk kebutuhan dasar. Warga dengan penghasilan rendah juga berhak mengajukan santunan tempat tinggal (asumistuki). KELA juga menjamin wanita hamil untuk cuti sebelum persalinan dan dilanjutkan pengasuhan. Dalam durasi cuti ini, orang tua anak tetap memperoleh subsidi finansial (aitysraha). Sumber utama pendanaan KELA diperoleh dari pajak yang dibayarkan warganya, karena itu setiap warga memiliki kesadaran tinggi untuk membayar pajak.

Kualitas pendidikan di Finlandia juga berkaitan erat dengan kebijakan seputar pendidikan anak usia dini (Ronsen & Sundstrom, 2002). Finlandia menerapkan kebijakan anak mulai diizinkan masuk lembaga PAUD pada usia 10 bulan agar anak memiliki cukup waktu untuk berinteraksi dengan ayah-ibunya. Selain itu, karakteristik fisik dan psikis anak pada usia tersebut dianggap tidak terlalu kompleks bagi guru PAUD dalam memberikan layanan pendidikan dan pengasuhan secara efektif. Anak juga dilibatkan dalam penyusunan kurikulum, dikenal dengan osallistava pedagogikka, karena keinginan anak sebagai input penting. Selanjutnya anak usia 6 tahun wajib memasuki pendidikan prasekolah selama setahun untuk melengkapi pendidikan jenjang usia dini. Penelitian menunjukkan bahwa partisipasi anak serta kualitas layanan PAUD berpengaruh positif terhadap kemajuan dan prestasi belajar anak didik di jenjang pendidikan berikutnya (Ojala, 2010; Gayden-Fence, 2016).

Menganalisa Kemungkinan Efektifitas Benchmarking
Pernyataan Presiden Jokowi tersebut bak angin segar menjawab harapan publik yang berharap pendidikan kita memiliki kualitas sebagaimana dimiliki Finlandia. Namun, melakukan pemodelan atau duplikasi praktik yang dilakukan Finlandia ke dalam konteks kultur dan geografis yang berbeda belum tentu berimplikasi pada peningkatan kualitas pendidikan sebagaimana dinikmati oleh Finlandia (Malinen, 2012), karena kemajuan yang dicapai merupakan kombinasi dari berbagai faktor saling berkaitan antara minat siswa, lingkungan belajar sekolah, dukungan orang tua, situasi sosial dan budaya belajar yang sudah terbangun secara mapan (Valijarvi, 2002). Lebih dari itu, sebagaimana dikemukakan Sahlberg (2011), kebijakan pendidikan yang saat ini diberlakukan di Finlandia merupakan hasil dari pengembangan yang sistematis serta terencana selama tiga dekade dan didukung keragaman kultural, rasa saling percaya, dan saling respek yang terbangun dalam masyarakat.

Oleh sebab itu, benchmarking akan menjadi pekerjaan besar bagi Indonesia karena dalam beberapa hal sistem pendidikan yang berlaku di Finlandia memiliki karakteristik berbeda dengan Indonesia. Idealnya, benchmarking perlu dimaknai sebagai belanja ide untuk melahirkan kebijakan relevan dengan situasi yang ada di negara kita. Menjadikan Finlandia sebagai benchmarking artinya berupaya mendalami karakteristik pendidikan Finlandia secara komprehensif dan pada saat yang sama mengenali situasi yang ada di dalam negeri kita sendiri. Dari situ nanti akan diperoleh pemilahan aspek yang mungkin dan tidak mungkin untuk melakukan adopsi serta adaptasi dalam pendidikan kita. Patut dipikirkan apa yang yang disampaikan Goldstein (2004) ketika mengkritisi program Education For All (EFA) yang digagas UNESCO bahwa setiap sistem pendidikan dalam suatu negara bisa saja berkembang mengikuti dinamika global, namun yang lebih penting adalah memberikan porsi lebih besar pada konteks dan budaya lokal.

Kemudian langkah fundamental yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengkaji ulang regulasi terkait pendidikan nasional mulai dari Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta seluruh regulasi turunannya di tingkat pusat maupun pemerintah daerah. Jika ini berhasil dilakukan, maka benchmarking menjanjikan perubahan positif bagi kualitas pendidikan di negara kita.

Sebaliknya, terciptanya pendidikan relevan dengan masa depan akan menjadi utopia belaka jika benchmarking hanya dimaknai sebagai upaya menduplikasi praktik-praktik yang dilakukan Finlandia karena terobsesi hasil bagus yang diperoleh negara tersebut.

Jadi, pemerintah memang berwenang mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan yang relevan dengan perubahan di masa depan. Benchmarking sistem pendidikan negara lain menjanjikan peningkatan kualitas pendidikan kita jika dilandasi pemahaman utuh terhadap seluruh elemen terkait sistem pendidikan negara itu maupun situasi internal pendidikan negara kita sendiri. Wallaahualam.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4057 seconds (0.1#10.140)