Demokrat soal Anas Urbaningrum Bebas: Kenapa Mesti Khawatir?
loading...
A
A
A
Kedua, ia menganggap substansi kasus terkesan dicari-cari dan dipaksakan. Substansi yang digunakan untuk mendakwa bermula dari proyek Hambalang, namun hal itu terbantahkan karena tidak ada satu pun dokumen yang secara eksplisit menyebut keterlibatannya.
" Secara dokumen dan proses tidak terlibat, tidak ada dokumen satu pun tertulis nama Anas Urbaningrum. Setelah konstruksi Hambalang tidak terbukti lari ke Kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010. Dalam kontruksi kongres tersebut, menyisakan misteri karena tidak semua pihak yang memiliki otoritas atas kongres tidak diminta keterangannya," ungkapnya.
Ketiga, ia menegaskan bahwa ada rekonstruksi fakta yang tidak terbukti. Padahal, penegakan hukum seharusnya dilakukan secara hati-hati, cermat, dan komprehensif dengan memperhatikan fakta yuridis dan fakta empirik, sehingga putusan yang diberikan hakim berkeadilan, berkepastian, dan bermanfaat.
"Namun dalam kenyataannya, putusan perkara ini telah mengabaikan fakta persidangan, karena tidak terungkap secara terang benderang berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan keterlibatan dalam tindak pidana korupsi Wisma Atlet Hambalang dan sejumlah proyek lain pada kurun waktu 2010-2012," tuturnya.
Keempat, Suparji menilai rasionalisasi putusan Anas tidak objektif. Putusan tersebut, kata dia, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan tidak memiliki legal reasoning, karena tidak ada rasionalisasi atas pidana penjara, pidana denda, pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Menurutnya, penjatuhan pidana uang pengganti kepada terdakwa tidak sepenuhnya tepat, karena tidak ada bukti perbuatan terdakwa melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Putusan ini tidak adil, karena dugaan adanya kerugian negara harus ditimpakan kepada terdakwa.
"Penerapan hukuman uang pengganti yang sangat berat bertendensi untuk menambahi pidana penjara, mengingat kemampuan untuk membayar uang pengganti tersebut sangat tidak mungkin," ulasnya.
Kejanggalan lain, kata Suparji, munculnya asumsi calon presiden. Konstruksi surat dakwaan dimulai dengan kalimat yang tidak menyajikan fakta, tetapi asumsi yang premature, yaitu menggambarkan Anas Urbaningrum mempunyai keinginan untuk menjadi presiden.
"Itu merupakan sebuah konstruksi surat dakwaan dengan prolog yang spekulatif dan pada akhirnya tidak terbukti dalam persidangan," pungkasnya.
" Secara dokumen dan proses tidak terlibat, tidak ada dokumen satu pun tertulis nama Anas Urbaningrum. Setelah konstruksi Hambalang tidak terbukti lari ke Kongres Partai Demokrat di Bandung, Mei 2010. Dalam kontruksi kongres tersebut, menyisakan misteri karena tidak semua pihak yang memiliki otoritas atas kongres tidak diminta keterangannya," ungkapnya.
Ketiga, ia menegaskan bahwa ada rekonstruksi fakta yang tidak terbukti. Padahal, penegakan hukum seharusnya dilakukan secara hati-hati, cermat, dan komprehensif dengan memperhatikan fakta yuridis dan fakta empirik, sehingga putusan yang diberikan hakim berkeadilan, berkepastian, dan bermanfaat.
"Namun dalam kenyataannya, putusan perkara ini telah mengabaikan fakta persidangan, karena tidak terungkap secara terang benderang berdasarkan alat bukti yang sah dan meyakinkan keterlibatan dalam tindak pidana korupsi Wisma Atlet Hambalang dan sejumlah proyek lain pada kurun waktu 2010-2012," tuturnya.
Keempat, Suparji menilai rasionalisasi putusan Anas tidak objektif. Putusan tersebut, kata dia, tidak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan tidak memiliki legal reasoning, karena tidak ada rasionalisasi atas pidana penjara, pidana denda, pembayaran uang pengganti dan pencabutan hak politik.
Menurutnya, penjatuhan pidana uang pengganti kepada terdakwa tidak sepenuhnya tepat, karena tidak ada bukti perbuatan terdakwa melakukan perbuatan yang merugikan keuangan negara. Putusan ini tidak adil, karena dugaan adanya kerugian negara harus ditimpakan kepada terdakwa.
"Penerapan hukuman uang pengganti yang sangat berat bertendensi untuk menambahi pidana penjara, mengingat kemampuan untuk membayar uang pengganti tersebut sangat tidak mungkin," ulasnya.
Kejanggalan lain, kata Suparji, munculnya asumsi calon presiden. Konstruksi surat dakwaan dimulai dengan kalimat yang tidak menyajikan fakta, tetapi asumsi yang premature, yaitu menggambarkan Anas Urbaningrum mempunyai keinginan untuk menjadi presiden.
"Itu merupakan sebuah konstruksi surat dakwaan dengan prolog yang spekulatif dan pada akhirnya tidak terbukti dalam persidangan," pungkasnya.