Tindak Pidana Penjualan Orang: Merosotnya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kamis, 06 April 2023 - 15:05 WIB
loading...
Tindak Pidana Penjualan Orang: Merosotnya Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sudjito Atmoredjo (Foto: Istimewa)
A A A
Sudjito Atmoredjo
Guru Besar Ilmu Hukum UGM

PADA Selasa (4/4/2023) KORAN SINDO menampilkan berita kejahatan Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO). Dibeberkan bahwa dua kasus TPPO ke Timur Tengah diungkap oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dit Tipidum) Bareskrim Polri. Jaringan pertama: Indonesia, Yaman, Yordania, Arab Saudi. Jaringan kedua: Indonesia, Turki, Abu Dhabi.

Jaringan itu telah beroperasi sejak 2015. Korbannya diperkirakan mencapai ribuan orang. Modus operandinya antara lain berupa janji pemberian gaji 1.200 riyal per bulan.

Baca Juga: koran-sindo.com

Sebelum pemberangkatan, para korban dimintai uang dulu, sekitar Rp15 juta sampai Rp40 juta. Dalihnya untuk biaya penerbangan ke luar negeri. Alih-alih janji ditepati, justru para korban ditelantarkan di Singapura.

Merujuk pada keterangan Menko Polhukam Mahfud MD, praktik TPPO sudah lama terjadi, melibatkan berbagai pihak, baik aparat penegak hukum maupun petugas imigrasi hingga permainan di tingkat daerah. Ini masalah manusia dan sudah menjadi perhatian nasional.

Berdasarkan laporan Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), diduga penenggelaman kapal di wilayah perairan Johor, Malaysia, terkait dengan TPPO (20/9/2022).

Ironis dan miris, orang dikirim ke luar negeri lalu dijadikan budak-budak. Kalau sakit, dilempar ke laut. Kasus seperti itu banyak di dunia ini. Indonesia sudah mulai terjebak ke dalam hal-hal seperti itu.

Atas maraknya TPPO tersebut, izinkan saya menyebutnya sebagai kembalinya zaman jahiliah. Merujuk pada penjelasan Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman (2021) bahwa zaman jahiliah adalah zaman kebodohan pada segala aspek kehidupan.

Rona kehidupan ditandai dengan masifnya penyembahan berhala (harta, takhta, dan seksualitas), kesenjangan lapisan sosial, maraknya perbudakan, pelacuran, perjudian, perdagangan orang.

Dalam lintasan sejarah, zaman jahiliah berlangsung sebelum abad ke-7 di wilayah jazirah Arab. Demi kemanusiaan, zaman kegelapan itu telah diubah menjadi zaman berperadaban tinggi. Peran Rasulullah saw, sebagai tokoh dan teladan bagi umat, amat signifikan. Sejak saat itu, segala bentuk kejahiliahan dikikis melalui cara-cara bijak.

Ditarik ke ranah Indonesia, layak diingat, bahwa pada abad ke-7, di wilayah ini berdiri Kerajaan Sriwijaya. Selama kurun waktu lima abad, kerajaan ini berkembang hingga mencapai zaman keemasan. Peradaban, ilmu pengetahuan, dan teknologi berkembang sedemikian tinggi. Sisa-sisa kejayaannya, masih dapat dijumpai, dan menjadi kebanggaan tersendiri.

Berlanjut ke Kerajaan Majapahit (abad 13-16). Zaman keemasan kedua pun dicapai. Saat itu ajaran tata pemerintahan dari Mpu Prapanca dalam buku Negara Kretagama dan ajaran bertoleransi dari Mpu Tantular yang terangkum dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika dipraktikkan dalam kehidupan bernegara.

Tidak kurang dari itu, kepemimpinan asketis Maha Patih Gadjah Mada diaktualisasikan dalam hubungan antara penguasa dan rakyat. Asketisme bercirikan periLaku berpantang kenikmatan indra (duniawi) demi mewujudkan maksud-maksud rohani (akhirat). Para petarak (pengamal asketisme) bekerja keras dalam bingkai ketekunan beribadat, tanpa melupakan bertapa brata. Hidupnya bersahaja.

Amat dirindukan, zaman keemasan era Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Mahajahit itu, bisa hadir kembali di abad ke-21 dan seterusnya. Alih-alih kerinduan terobati. Justru zaman jahiliah hadir lagi. Mengapa?

Dalam perspektif filosofis, karena nilai-nilai Pancasila (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan) jauh dari praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Meskipun Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila dijadikan sebagai Staatsfundamentalnorm, tetapi langka yang dijabarkan sebagai panduan moral, sumber etik, sumber hukum, dan acuan perilaku bangsa.

Maraknya TPPO cukup menjadi bukti nyata bahwa kemanusiaan yang adil beradab telah berubah 180 derajat menjadi kemanusiaan sarat kebiadaban. Inilah tragedi. Amat sangat disayangkan. Oleh karenanya, untuk keluar dari kebiadaban tersebut, sebaiknya ajaran Bung Karno yang diberikan pada kursus Pancasila di Istana Negara (22/7/1958) layak ditanamkan ke hati nurani bangsa.

Dijelaskan oleh Bung Karno bahwa bila seseorang mencelakakan orang lain –apa pun bentuk pencelakaannya– berarti orang itu telah melanggar perikemanusiaan (menselikjheid). Perilaku jahat seperti itu dilarang keras.

Sebagai bangsa ber-Pancasila, mestinya memiliki rasa kemanusiaan yang tebal. Saling menghormati, saling memberi, dan saling melindungi. Rohaninya dirawat agar bertumbuh sehat. Kebudayaan, kesejahteraan, keadilan pada tingkatan tinggi, hanya akan muncul pada bangsa yang mampu merawat rasa kemanusiaannya.

Diingatkan bahwa rasa kemanusiaan itu tumbuh secara evolutif. Perilaku yang suatu saat (dulu) dikatakan baik atau biasa-biasa saja, boleh jadi di waktu lain (sekarang dan yang akan datang) dikatakan jahat.

Persoalan persepsi nilai kemanusiaan itu sangat memengaruhi hitam-putihnya kehidupan bersama. Agar nilai (ukuran) baik atau buruk itu jelas, maka bangsa ini mesti religius. Ini penting karena agama itu tiangnya kehidupan. Apa pun agamanya, semuanya mengajarkan rasa kemanusiaan.

Ditarik jauh ke belakang, maraknya TPPO mengingatkan akan kebiadaban Raja Firaun. Siapa pun yang tak setia padanya pasti dibunuh, disalib, dan dipotong tangan dan kakinya bersilang.

Bayi laki-laki semua dibunuh karena menurut penasihatnya, (tukang sihir), bila anak laki-laki telah besar, kelak akan menjadi musuh (menggulingkan) raja. Perempuan dibiarkan hidup, tetapi diperlakukan sebagai budak, pemuas nafsu syahwat laki-laki.

Adalah Nabi Musa as., diutus Allah swt untuk membebaskan bangsa Israel dari penindasan rezim Firaun. Berbekal Kitab Taurat dan nationale religie, Musa––sebagai pemimpin bangsa–– berjalan di hadapan ratusan ribu rakyat Yahudi dan membawanya ke het beloofde land, tanah kebahagiaan.

Firaun pun mengejarnya. Namun, atas izin Allah swt, laut yang diseberangi terbelah ketika dipukul Musa dengan tongkatnya. Ketika Firaun berada di tengah laut yang terbelah itu, tongkat pun kembali dipukulkan sehingga Firaun beserta bala tentaranya tenggelam.

TPPO sebagai bentuk neokolonialisasi, bagaimanapun bertentangan dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Kita dukung, langkah-langkah pemberantasan TPPO yang dikomandani Menko Polhukam. Kini, saatnya, siapa pun pelaku TPPO, ditenggelamkan ke laut, sebagaimana Firaun di zaman Nabi Musa.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1282 seconds (0.1#10.140)