Musik dalam Film dan Potensi Konfliknya
loading...
A
A
A
Bunyi Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 adalah “Setiap orang berhak mempunyai Hak Milik pribadi dan Hak Milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Sedangkan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Dua pasal UUD 1945 itulah yang menjadi batu ujinya.
Dalam petitumnya, Musica meminta agar hakim konstitusi menyatakan bahwa Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UUHC bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, menurut Musica, adanya batas waktu pengembalian itu (Pasal 18) menghalangi Pemohon untuk mengeksplorasi secara ekonomi hak cipta yang sudah dibeli secara putus. Pembatasan itu menyebabkan status Pemohon hanya sekadar sebagai penyewa, yang sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut. Pasal 18 dan 30 UUHC itu juga dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Pasal yang sama (18 dan 30) juga dianggap melanggar “hak milik” Pemohon atas hak ekonomi yang telah dialihkan kepada Pemohon melalui perjanjian jual putus (sold flat) dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Ini berarti, menurut Musica, kedua pasal tersebut melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Hak Cipta sebagai benda bergerak tak berwujud (intangible object) memang dapat dialihkan kepemilikannya atau diperjualbelikan. Peralihan baik seluruh atau sebagian Hak Cipta ini, antara lain dapat dilakukan dengan cara perjanjian tertulis. Dalam hukum perdata, perjanjian jual beli ini dimaknai sebagai “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah disepakati (Pasal 1457 KUHPerdata). Isi perjanjian bisa macam-macam tergantung kesepakatan para pihak. Di situ berlaku asas pacta sunt servanda, yakni “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).
Umumnya, pengalihan atau penjualan Hak Cipta dari Pencipta kepada orang lain dilakukan denga sistem flat pay atau jual beli putus, yakni pemohon membayar di muka berupa sejumlah uang kepada Pencipta sesuai kesepakatan. Bentuk atau cara pengalihan hak ekonomi yang lain bisa berupa pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Tetapi, hak cipta – termasuk musik-- memang istimewa. Misalnya, dia dianggap memiliki sifat yang khusus dan tidak dapat dialihkan secara mutlak. Sehingga hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud, tidak bisa dipersamakan dengan benda tidak berwujud lainnya. Hak cipta adalah suatu hak yang unik, diatur secara khusus (sui generis) dalam UU Hak Cipta. Hak cipta juga dianggap tidak melekat pada benda bergerak maupun benda tidak bergerak sesuai dengan kebendaan pada KUHPerdata. Oleh karena itu, sifat hukum kebendaan pada KUHPerdata tidak dapat digunakan sebagai dasar pengaturan terhadap hak cipta.
Singkat cerita, setelah menggelar persidangan yang berlarut-larut dan mendengarkan berbagai pihak, pada November 2022 akhinrya MK membuat keputusan setebal 535 halaman yang menyatakan bahwa pokok permohonan Pemohon (Musica) tidak beralasan menurut hukum, dan karena itu permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya. Tetapi, sebagai catatan, dari sembilan hakim MK yang mengadili perkara ini, ada satu hakim yang menyatakan Pendapat Berbeda alias Dissenting Opinion, yakni Hakim Suhartoyo, yang argumennya juga lumayan panjang. Antara lain, dikatakan oleh Suhartoyo, bahwa ketentuan norma Pasal 18 UU 28/2014 yang menjadi pemicu (trigger) dari persoalan yang mengemuka itu, baik ketentuan normanya maupun pada tataran empiriknya, tidak dapat dilepaskan dari adanya 2 (dua) esensi pokok yang termuat dalam norma tersebut yang mengandung contracditio in terminis.
Substansi yang mengandung pertentangan dalam norma pasal tersebut adalah, di satu sisi norma pasal itu membuka peluang untuk dilakukannya perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, namun di sisi lainnya norma pasal itu juga mengatur adanya akibat yuridis, yakni bahwa perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu tersebut beralih kembali kepada pencipta setelah perjanjian mencapai 25 (dua puluh lima) tahun.
Maka, jika dikaitkan dengan terminologi perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, secara sederhana dapat ditangkap pemaknaan bahwa perjanjian tersebut adalah pelepasan atas hak kebendaan tanpa adanya syarat untuk dijual kembali atau dengan sendirinya kembali kepada pemegang hak semula sampai batas yang tidak ditentukan.
Oleh karena itu, adanya syarat pengalihan kembali kepada pemegang hak (pencipta) menjadikan perjanjian yang demikian merupakan bentuk perjanjian yang tidak jelas baik karakter maupun sifatnya.
Dalam petitumnya, Musica meminta agar hakim konstitusi menyatakan bahwa Pasal 18, Pasal 30, dan Pasal 122 UUHC bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selanjutnya, menurut Musica, adanya batas waktu pengembalian itu (Pasal 18) menghalangi Pemohon untuk mengeksplorasi secara ekonomi hak cipta yang sudah dibeli secara putus. Pembatasan itu menyebabkan status Pemohon hanya sekadar sebagai penyewa, yang sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut. Pasal 18 dan 30 UUHC itu juga dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Pasal yang sama (18 dan 30) juga dianggap melanggar “hak milik” Pemohon atas hak ekonomi yang telah dialihkan kepada Pemohon melalui perjanjian jual putus (sold flat) dan/atau pengalihan tanpa batas waktu. Ini berarti, menurut Musica, kedua pasal tersebut melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Hak Cipta sebagai benda bergerak tak berwujud (intangible object) memang dapat dialihkan kepemilikannya atau diperjualbelikan. Peralihan baik seluruh atau sebagian Hak Cipta ini, antara lain dapat dilakukan dengan cara perjanjian tertulis. Dalam hukum perdata, perjanjian jual beli ini dimaknai sebagai “suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah disepakati (Pasal 1457 KUHPerdata). Isi perjanjian bisa macam-macam tergantung kesepakatan para pihak. Di situ berlaku asas pacta sunt servanda, yakni “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata).
Umumnya, pengalihan atau penjualan Hak Cipta dari Pencipta kepada orang lain dilakukan denga sistem flat pay atau jual beli putus, yakni pemohon membayar di muka berupa sejumlah uang kepada Pencipta sesuai kesepakatan. Bentuk atau cara pengalihan hak ekonomi yang lain bisa berupa pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, atau sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Tetapi, hak cipta – termasuk musik-- memang istimewa. Misalnya, dia dianggap memiliki sifat yang khusus dan tidak dapat dialihkan secara mutlak. Sehingga hak cipta sebagai benda bergerak tidak berwujud, tidak bisa dipersamakan dengan benda tidak berwujud lainnya. Hak cipta adalah suatu hak yang unik, diatur secara khusus (sui generis) dalam UU Hak Cipta. Hak cipta juga dianggap tidak melekat pada benda bergerak maupun benda tidak bergerak sesuai dengan kebendaan pada KUHPerdata. Oleh karena itu, sifat hukum kebendaan pada KUHPerdata tidak dapat digunakan sebagai dasar pengaturan terhadap hak cipta.
Singkat cerita, setelah menggelar persidangan yang berlarut-larut dan mendengarkan berbagai pihak, pada November 2022 akhinrya MK membuat keputusan setebal 535 halaman yang menyatakan bahwa pokok permohonan Pemohon (Musica) tidak beralasan menurut hukum, dan karena itu permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya. Tetapi, sebagai catatan, dari sembilan hakim MK yang mengadili perkara ini, ada satu hakim yang menyatakan Pendapat Berbeda alias Dissenting Opinion, yakni Hakim Suhartoyo, yang argumennya juga lumayan panjang. Antara lain, dikatakan oleh Suhartoyo, bahwa ketentuan norma Pasal 18 UU 28/2014 yang menjadi pemicu (trigger) dari persoalan yang mengemuka itu, baik ketentuan normanya maupun pada tataran empiriknya, tidak dapat dilepaskan dari adanya 2 (dua) esensi pokok yang termuat dalam norma tersebut yang mengandung contracditio in terminis.
Substansi yang mengandung pertentangan dalam norma pasal tersebut adalah, di satu sisi norma pasal itu membuka peluang untuk dilakukannya perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, namun di sisi lainnya norma pasal itu juga mengatur adanya akibat yuridis, yakni bahwa perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu tersebut beralih kembali kepada pencipta setelah perjanjian mencapai 25 (dua puluh lima) tahun.
Maka, jika dikaitkan dengan terminologi perjanjian jual putus dan/atau pengalihan tanpa batas waktu, secara sederhana dapat ditangkap pemaknaan bahwa perjanjian tersebut adalah pelepasan atas hak kebendaan tanpa adanya syarat untuk dijual kembali atau dengan sendirinya kembali kepada pemegang hak semula sampai batas yang tidak ditentukan.
Oleh karena itu, adanya syarat pengalihan kembali kepada pemegang hak (pencipta) menjadikan perjanjian yang demikian merupakan bentuk perjanjian yang tidak jelas baik karakter maupun sifatnya.