Wakil Ketua MPR Tekankan Pentingnya Deteksi Dini untuk Mencegah Penyakit Langka
loading...
A
A
A
JAKARTA - Deteksi dini penyakit langka di Indonesia harus terus ditingkatkan. Tujuannya selain mencegah penyebaran penyakit tersebut di masyarakat juga untuk memudahkan dalam penanganannya.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam diskusi daring yang mengangkat tema “Penyakit Langka dan Teknologi Terpadu” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (29/3/2023).
"Penyakit langka kerap mengancam jiwa. Melalui upaya preventif dan dukungan tindakan pengobatan yang konsisten, paparan penyakit langka di masyarakat diharapkan dapat ditekan lebih rendah," ujar Rerie sapaan akrab Lestari Moerdijat.
Menurut Rerie, optimalisasi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit langka harus didorong lewat kolaborasi sejumlah pihak dan strategi yang tepat, agar Indonesia mampu menangani penyakit langka dan mengembangkan pengobatan yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya.
“Jumlah penduduk Indonesia yang terpapar penyakit langka berdasarkan catatan Kemenkes harus menjadi acuan untuk segera berbenah dalam mengatasi berbagai kendala,” katanya.
Saat ini, kata legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, kendala yang dihadapi dalam penanganan penyakit langka di Tanah Air antara lain karena deteksi dini belum sepenuhnya dilakukan dan tahapan pengobatannya masih mahal. Selain itu, proses diagnosa penyakit langka masih membutuhkan waktu lama, serta penanganan penyakit melibatkan ahli dari sejumlah disiplin ilmu.
“Para pemangku kepentingan perlu memastikan tata kelola penanganan penyakit langka di Indonesia berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem ini.
Karena itu, perlindungan dan dukungan jaminan sosial kepada penyintas penyakit langka penting untuk dilakukan. "Kolaborasi pemerintah, lembaga swasta penyedia layanan kesehatan, peneliti, dan kelompok advokasi pasien perlu diperkuat dalam penanganan penyakit langka di Tanah Air," tegasnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti menyebut, 50% penyandang penyakit langka adalah anak-anak, namun hanya 5% ketersediaan obat-obatan untuk penyakit langka itu.
“Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut, tetapi untuk mengatasi penyakit langka saat ini memerlukan penguatan surveilans, deteksi dini dan tata laksana yang tepat dari setiap kasus,” ucapnya.
Namun, kurangnya tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan deteksi dini penyakit langka, alat diagnosa dan pengobatan serta terapi yang mahal, masih menjadi tantangan di Indonesia. “Dengan kompleksnya tantangan yang dihadapi dalam upaya mendeteksi jenis penyakit langka ini kolaborasi multi sektor harus segera direalisasikan dalam upaya membangun sistem pengobatan penyakit langka di Tanah Air,” paparnya.
Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN Cipto Mangunkusumo Damayanti Rusli Sjarif berpendapat pengobatan penyakit langka adalah never ending process. Penyakit langka di setiap negara berbeda-beda, tergantung ketersediaan alat diagnosa yang dimiliki negara tersebut. “Batasan penyakit disebut langka di Indonesia ketika jumlah penderita penyakit tersebut kurang dari 2.000 pasien. Diperkirakan saat ini 10% populasi dunia menderita penyakit langka,” katanya.
Dalam penanganan penyakit langka, tegas dia, tahapan diagnosa sangat penting. Karena keterbatasan dalam skrining, obat dan proses terapi, penanganan penyakit langka di Indonesia banyak menghadapi tantangan. Tantangan semakin kompleks, karena sejumlah institusi belum cukup mendukung dalam proses pengadaan obat dan tata laksana terapi yang dibutuhkan penderita.
“Saya mendorong agar para wakil rakyat di parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang agar penanganan penyakit langka sepenuhnya dijamin oleh negara, mengingat proses yang panjang dan biaya yang tidak terjangkau oleh masyarakat,” paparnya.
Komisioner Komnas Disabilitas Rachmita Maun Harahap berpendapat penyakit langka memiliki kaitan erat dengan kondisi disabilitas baik fisik maupun intelektual. Untuk itu, dia mendorong pemerintah pusat membuat komitmen kerja sama dengan pemerintah daerah dan mitra swasta untuk meningkatkan akses yang tepat waktu dan adil terhadap pembiayaan BPJS, obat-obatan, serta proses diagnosis bagi penderita penyakit langka.
“Sudah saatnya dibentuk pusat penyakit langka untuk penanganan dalam bentuk diagnosa dan pengobatan pasien penyakit langka yang lebih terpadu,” ujarnya.
Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia Peni Utami mengungkapkan sejumlah peran yang dilakukan yayasan yang dipimpinnya dalam membantu penanganan penyakit langka di Indonesia. Antara lain, ikut mengatasi kendala pajak impor obat-obatan dan bahan pangan untuk penderita penyakit langka di Indonesia. ”Yayasan yang dipimpinnya juga berupaya membantu pembiayaan pengobatan penyakit langka dengan menggalang dana masyarakat untuk membiayai proses diagnostik yang mahal,” kata Peni.
Ketua dan Pendiri Yayasan ALS Indonesia, Premana W. Premadi berpendapat saat ini sudah terlihat upaya secara institusional dalam upaya penyembuhan hingga perbaikan kualitas hidup penderita penyakit langka di Indonesia. Upaya itu, antara lain terlihat dalam bentuk penguatan deteksi dini melalui peningkatan kualitas tenaga kesehatan.
”Selain itu, perlu dukungan sejumlah kebijakan lewat pembuatan sejumlah aturan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan untuk penanganan penyakit langka,” ujarnya.
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, Gufroni Sakaril berpendapat penderita penyakit langka berpotensi mengalami disabilitas. Sehingga kunci dalam penanganan penyakit langka adalah diagnosa sejak dini harus dilakukan, tetapi hal itu seringkali terkendala biaya yang tinggi.
Sehingga, tegas Gufroni, bila penyakit langka sudah memberatkan masyarakat, negara harus hadir. Untuk itu perlu ada mekanisme agar penyakit langka memiliki pola pendanaan untuk membiayai deteksi dan pengobatan agar terjangkau.
“Penderita penyakit langka juga ada yang bisa disembuhkan dan penyintasnya bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Jadi ada potensi anak bangsa yang harus diselamatkan," ujarnya.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat dalam diskusi daring yang mengangkat tema “Penyakit Langka dan Teknologi Terpadu” yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (29/3/2023).
"Penyakit langka kerap mengancam jiwa. Melalui upaya preventif dan dukungan tindakan pengobatan yang konsisten, paparan penyakit langka di masyarakat diharapkan dapat ditekan lebih rendah," ujar Rerie sapaan akrab Lestari Moerdijat.
Menurut Rerie, optimalisasi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit langka harus didorong lewat kolaborasi sejumlah pihak dan strategi yang tepat, agar Indonesia mampu menangani penyakit langka dan mengembangkan pengobatan yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya.
“Jumlah penduduk Indonesia yang terpapar penyakit langka berdasarkan catatan Kemenkes harus menjadi acuan untuk segera berbenah dalam mengatasi berbagai kendala,” katanya.
Baca Juga
Saat ini, kata legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, kendala yang dihadapi dalam penanganan penyakit langka di Tanah Air antara lain karena deteksi dini belum sepenuhnya dilakukan dan tahapan pengobatannya masih mahal. Selain itu, proses diagnosa penyakit langka masih membutuhkan waktu lama, serta penanganan penyakit melibatkan ahli dari sejumlah disiplin ilmu.
“Para pemangku kepentingan perlu memastikan tata kelola penanganan penyakit langka di Indonesia berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat,” kata anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem ini.
Karena itu, perlindungan dan dukungan jaminan sosial kepada penyintas penyakit langka penting untuk dilakukan. "Kolaborasi pemerintah, lembaga swasta penyedia layanan kesehatan, peneliti, dan kelompok advokasi pasien perlu diperkuat dalam penanganan penyakit langka di Tanah Air," tegasnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Eva Susanti menyebut, 50% penyandang penyakit langka adalah anak-anak, namun hanya 5% ketersediaan obat-obatan untuk penyakit langka itu.
“Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut, tetapi untuk mengatasi penyakit langka saat ini memerlukan penguatan surveilans, deteksi dini dan tata laksana yang tepat dari setiap kasus,” ucapnya.
Namun, kurangnya tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan deteksi dini penyakit langka, alat diagnosa dan pengobatan serta terapi yang mahal, masih menjadi tantangan di Indonesia. “Dengan kompleksnya tantangan yang dihadapi dalam upaya mendeteksi jenis penyakit langka ini kolaborasi multi sektor harus segera direalisasikan dalam upaya membangun sistem pengobatan penyakit langka di Tanah Air,” paparnya.
Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN Cipto Mangunkusumo Damayanti Rusli Sjarif berpendapat pengobatan penyakit langka adalah never ending process. Penyakit langka di setiap negara berbeda-beda, tergantung ketersediaan alat diagnosa yang dimiliki negara tersebut. “Batasan penyakit disebut langka di Indonesia ketika jumlah penderita penyakit tersebut kurang dari 2.000 pasien. Diperkirakan saat ini 10% populasi dunia menderita penyakit langka,” katanya.
Dalam penanganan penyakit langka, tegas dia, tahapan diagnosa sangat penting. Karena keterbatasan dalam skrining, obat dan proses terapi, penanganan penyakit langka di Indonesia banyak menghadapi tantangan. Tantangan semakin kompleks, karena sejumlah institusi belum cukup mendukung dalam proses pengadaan obat dan tata laksana terapi yang dibutuhkan penderita.
“Saya mendorong agar para wakil rakyat di parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang agar penanganan penyakit langka sepenuhnya dijamin oleh negara, mengingat proses yang panjang dan biaya yang tidak terjangkau oleh masyarakat,” paparnya.
Komisioner Komnas Disabilitas Rachmita Maun Harahap berpendapat penyakit langka memiliki kaitan erat dengan kondisi disabilitas baik fisik maupun intelektual. Untuk itu, dia mendorong pemerintah pusat membuat komitmen kerja sama dengan pemerintah daerah dan mitra swasta untuk meningkatkan akses yang tepat waktu dan adil terhadap pembiayaan BPJS, obat-obatan, serta proses diagnosis bagi penderita penyakit langka.
“Sudah saatnya dibentuk pusat penyakit langka untuk penanganan dalam bentuk diagnosa dan pengobatan pasien penyakit langka yang lebih terpadu,” ujarnya.
Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia Peni Utami mengungkapkan sejumlah peran yang dilakukan yayasan yang dipimpinnya dalam membantu penanganan penyakit langka di Indonesia. Antara lain, ikut mengatasi kendala pajak impor obat-obatan dan bahan pangan untuk penderita penyakit langka di Indonesia. ”Yayasan yang dipimpinnya juga berupaya membantu pembiayaan pengobatan penyakit langka dengan menggalang dana masyarakat untuk membiayai proses diagnostik yang mahal,” kata Peni.
Ketua dan Pendiri Yayasan ALS Indonesia, Premana W. Premadi berpendapat saat ini sudah terlihat upaya secara institusional dalam upaya penyembuhan hingga perbaikan kualitas hidup penderita penyakit langka di Indonesia. Upaya itu, antara lain terlihat dalam bentuk penguatan deteksi dini melalui peningkatan kualitas tenaga kesehatan.
”Selain itu, perlu dukungan sejumlah kebijakan lewat pembuatan sejumlah aturan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan untuk penanganan penyakit langka,” ujarnya.
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, Gufroni Sakaril berpendapat penderita penyakit langka berpotensi mengalami disabilitas. Sehingga kunci dalam penanganan penyakit langka adalah diagnosa sejak dini harus dilakukan, tetapi hal itu seringkali terkendala biaya yang tinggi.
Sehingga, tegas Gufroni, bila penyakit langka sudah memberatkan masyarakat, negara harus hadir. Untuk itu perlu ada mekanisme agar penyakit langka memiliki pola pendanaan untuk membiayai deteksi dan pengobatan agar terjangkau.
“Penderita penyakit langka juga ada yang bisa disembuhkan dan penyintasnya bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. Jadi ada potensi anak bangsa yang harus diselamatkan," ujarnya.
(cip)