Putusan Hakim PN Jakarta Pusat Tunda Pemilu 2024 Inkonstitusional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan Partai Prima dan meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunda Pemilu 2024 menimbulkan reaksi dari masyarakat.
Praktisi Hukum Saleh mengatakan, dalam konstitusi di Indonesia tak mengenal istilah penundaan pemilu. Pada Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
"Jelas bahwa putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak hanya pada persoalan tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili, tapi juga inkonstitusional karena telah mengabaikan pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang tidak memberi ruang sedikitpun kepada KPU RI untuk melakukan penundaan pemilu," katanya, Sabtu (4/3/2023).
Managing Partners Saleh & Partnes ini menilai, keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat itu telah menimbulkan kegaduhan yang luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat. "Jika selama ini kita mengenal asas res judicata pro veritate habetur atau harus menganggap benar putusan pengadilan, tidak cukup rasanya KPU RI mengajukan banding sebagai mekanisme biasa," ujarnya.
Saleh menyebut, keputusan tersebut pun tak perlu dihormarti karena hakim yang menangani gugatan itu tidak mendasarkan pada undang-undang pemilu sebagai aturan lex specialis, sehingga Komisi Yudisial perlu secepatnya turun tangan memeriksa hakim tersebut agar marwah pengadilan tidak tercoreng.
Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu PN Jakpus tak berhak menangani sengketa pemilu. "Maka untuk kali ini saja tidak perlu menghormati putusan pengadilan Negeri Jakarta Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa proses pemilu, namun kewenangannya adalah di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga, putusan yang demikian haruslah dikategorikan sebagai ultra vires judgment atau lompat pagar kewenangan peradilan lain," ujarnya.
Saleh mengimbau kepada KPU RI untuk tidak hanya sekadar mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, lembaga pimpinan Hasyim Asy'ari itu juga dapat mengajukan gugatan dengan dasar onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melanggar hukum terhadap PN Jakpus.
Hal itu sesuai ketentuan Pasal 87 huruf a (Tindakan faktual) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad).
Praktisi Hukum Saleh mengatakan, dalam konstitusi di Indonesia tak mengenal istilah penundaan pemilu. Pada Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 menyatakan, Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
"Jelas bahwa putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak hanya pada persoalan tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili, tapi juga inkonstitusional karena telah mengabaikan pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 yang tidak memberi ruang sedikitpun kepada KPU RI untuk melakukan penundaan pemilu," katanya, Sabtu (4/3/2023).
Managing Partners Saleh & Partnes ini menilai, keputusan majelis hakim PN Jakarta Pusat itu telah menimbulkan kegaduhan yang luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat. "Jika selama ini kita mengenal asas res judicata pro veritate habetur atau harus menganggap benar putusan pengadilan, tidak cukup rasanya KPU RI mengajukan banding sebagai mekanisme biasa," ujarnya.
Saleh menyebut, keputusan tersebut pun tak perlu dihormarti karena hakim yang menangani gugatan itu tidak mendasarkan pada undang-undang pemilu sebagai aturan lex specialis, sehingga Komisi Yudisial perlu secepatnya turun tangan memeriksa hakim tersebut agar marwah pengadilan tidak tercoreng.
Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu PN Jakpus tak berhak menangani sengketa pemilu. "Maka untuk kali ini saja tidak perlu menghormati putusan pengadilan Negeri Jakarta Nomor 757/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst karena Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa proses pemilu, namun kewenangannya adalah di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sehingga, putusan yang demikian haruslah dikategorikan sebagai ultra vires judgment atau lompat pagar kewenangan peradilan lain," ujarnya.
Saleh mengimbau kepada KPU RI untuk tidak hanya sekadar mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun, lembaga pimpinan Hasyim Asy'ari itu juga dapat mengajukan gugatan dengan dasar onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melanggar hukum terhadap PN Jakpus.
Hal itu sesuai ketentuan Pasal 87 huruf a (Tindakan faktual) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Jo. Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad).