Moratorium Kegiatan Ekonomi di APL Batangtoru Tidak Tepat
loading...
A
A
A
Usulan sejumlah pihak agar kegiatan ekonomis di Area Penggunaan Lain (APL) di kawasan Batang Toru dihentikan dan perlu dikeluarkan moratorium bagi kegiatan ekonomi di daerah itu dinilai pemerhati lingkungan, Emmy Hafild, tidak tepat.
“Saat pemerintah di pusat dan daerah, termasuk pemerintah Tapanuli Selatan, sedang gencar berupaya menggeliatkan roda ekonomi yang terimbas pandemi Covid-19, maka penghentian dan moratorium kegiatan bernilai ekonomi tinggi di Kawasan tersebut akan berimbas pada makin melemahnya perekonomian daerah setempat,” jelas Emmy kepada SINDONews.com.
Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) ini menilai tuntutan tersebut sulit diterima, dan menurutnya yang dibutuhkan adalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan) perlu segera diterapkan di APL kawasan Batang Toru, dalam bentuk sustainable management (pengelolaan berkelanjutan).
Dengan pola manajemen berkelanjutan akan bukan saja menjaga keanekaragaman hayati, namun juga memastikan terus berjalannya ekonomi serta sosial di kawasan itu.
“Dalam pembangunan berkelanjutan tiga dimensi utama, ekonomi, sosial dan lingkungan hidup harus berjalan secara seimbang, kalau tidak seimbang maka pembangunan berkelanjutan tidak tercapai,” jelasnya.
Emmy menegaskan usulan konversi APL menjadi suaka alam juga bukanlah hal yang tepat. “Karena kalau harus dikonversi menjadi hutan lindung, maka perdebatannya panjang karena harus mengulang lagi,” jelas Emmy. “Hasilnya juga belum jelas nantinya akan seperti apa daerah APL nya,” Emmy menambahkan.
Kawasan APL sendiri merupakan daerah kekuasaan bupati, dan tempat bupati bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Dengan demikian, yang harus dilaksanakan segera adalah menyelamatkan Kawasan APL melalui sustainable management karena peluang-peluang itu besar sekali di sini,bukan dengan mengubah status,”ujar Emmy.
Sementara itu terkait kekhawatiran banyak pihak akan punah orangutan Tapanuli karena kehilangan habitatnya akibat pengembangan ekonomi Kawasan Batang Toru dibantah oleh Dr Jito Sugardjito, Direktur CSERM (Center for Sustainable Energy & Resources Management) Universitas Nasional, Sustainable management merupakan jawaban agar orang utan Tapanuli tetap survive.
Hal ini dikemukakan Dr Jito Sugardjito saat pemaparan hasil studi mengenai orangutan bertajuk ‘Mengelola Habitat Orangutan dalam Kawasan APL’yang diselenggarakan secara daring oleh Center for Sustainable Energy & Resources Management (CSERM), Universitas Nasional, beberapa waktu lalu.
Menurut Jito, orangutan dan habitatnya di Kawasan Batang Toru memerlukan mitigasi penanganan yang tepat untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan dengan membuat best practice management di area pembangunan yang menjadi habitat orangutan, sebagai bagian dari upaya melakukan sustainable management.
Lebih lanjut Jito mengatakan studi lapangan yang dilakukan CSERM Universitas Nasional, juga membuktikan pembangunan PLTA Batang Toru dinilai tidak akan menyebabkan punahnya orangutan Tapanuli seperti dituduhkan banyak pihak, sebaliknya dengan mitigasi yang tepat kehadiran PLTA Batang Toru justru dapat menjaga kelestarian orangutan Tapanuli.
Studi terbaru yang dilakukan CSERM Universitas Nasional (UNAS) memprediksikans ekitar 6 individu orangutan menggunakan kawasan hutan PT NSHE, namun jumlah orangutan ini harus dipastikan mengingat terdapat sifat orangutan sebagai penjelajah dan penetap. Sementara jumlah tersebut hanya mewakili 0,8% dari estimasi total 800 individu yang ada di seluruh ekosistem Batang Toru.
“Dengan mitigasi dan konservasi orangutan Tapanuli yang tepat dilakukan oleh PLTA Batang Toru, maka orangutan Tapanuli tersebut akan terjaga keamanan dan keselamatannya,” ucap Didik Prasetyo PhD salah satu pakar orangutan yang menjadi salah satu peneliti dalam studi tersebut.
Studi ini juga bertujuan menyediakan data dasar terkini untuk membantu proses mitigasi dampak untuk Proyek PLTA Batang Toru, serta mengembangkan strategi konservasi baru yang lebih komprehensif dan lebih luas untuk orangutan Tapanuli di seluruh habitatnya yang tersisa.
Lebihjauh Emmy Hafild mengatakan bahwa hasil studi ini dapat memberikan landasan yang kuat bagi perusahaan untuk meningkatkan upaya mitigasi yang lebih baik lagi serta upaya konservasi terhadap orangutan.
“Kami selalu percaya bahwa dengan mitigasi yang tepat orangutan Tapanuli dapat hidup berdampingan dengan PLTA Batang Toru. Studi mengenai penyebaran habitat orangutan Tapanuli di area proyek PLTA Batang Toru merupakan langkah awal yang kami lakukan, sekaligus sebagai alat verifikasi dan acuan bagi kami untuk melakukan program konservasi untuk orangutan Tapanuli selanjutnya,” ucap Emmymenambahkan.
Emmy menilai apa yang telah dilakukan PLTA Batang Toru merupakan upaya penerapan konsep pembangunan berkelanjutan yang akan membawa perubahan besar bagi Kawasan yang kaya keanekaragaman hayati ini, jika dilakukan juga oleh pengembang lain yang hadir di kawasan APL Batang Toru.
Bahkan Indonesia nantinya akan makin dapat meningkatkan kontribusi dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca dalam Paris Agreement, untuk upaya pencegahan naiknya temperature global di bawah 2% atau bahkan di bawah 1,5%. Di mana pada kurun 2016-2017, hasil kerja penurunan emisi karbon dioksida yang berhasil dilakukan oleh Indonesia mencapai 11,2 juta ton CO2eq dan telah mendapat pengakuan dari pemerintah Norwegia.
“Saat pemerintah di pusat dan daerah, termasuk pemerintah Tapanuli Selatan, sedang gencar berupaya menggeliatkan roda ekonomi yang terimbas pandemi Covid-19, maka penghentian dan moratorium kegiatan bernilai ekonomi tinggi di Kawasan tersebut akan berimbas pada makin melemahnya perekonomian daerah setempat,” jelas Emmy kepada SINDONews.com.
Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) ini menilai tuntutan tersebut sulit diterima, dan menurutnya yang dibutuhkan adalah sustainable development (pembangunan berkelanjutan) perlu segera diterapkan di APL kawasan Batang Toru, dalam bentuk sustainable management (pengelolaan berkelanjutan).
Dengan pola manajemen berkelanjutan akan bukan saja menjaga keanekaragaman hayati, namun juga memastikan terus berjalannya ekonomi serta sosial di kawasan itu.
“Dalam pembangunan berkelanjutan tiga dimensi utama, ekonomi, sosial dan lingkungan hidup harus berjalan secara seimbang, kalau tidak seimbang maka pembangunan berkelanjutan tidak tercapai,” jelasnya.
Emmy menegaskan usulan konversi APL menjadi suaka alam juga bukanlah hal yang tepat. “Karena kalau harus dikonversi menjadi hutan lindung, maka perdebatannya panjang karena harus mengulang lagi,” jelas Emmy. “Hasilnya juga belum jelas nantinya akan seperti apa daerah APL nya,” Emmy menambahkan.
Kawasan APL sendiri merupakan daerah kekuasaan bupati, dan tempat bupati bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). “Dengan demikian, yang harus dilaksanakan segera adalah menyelamatkan Kawasan APL melalui sustainable management karena peluang-peluang itu besar sekali di sini,bukan dengan mengubah status,”ujar Emmy.
Sementara itu terkait kekhawatiran banyak pihak akan punah orangutan Tapanuli karena kehilangan habitatnya akibat pengembangan ekonomi Kawasan Batang Toru dibantah oleh Dr Jito Sugardjito, Direktur CSERM (Center for Sustainable Energy & Resources Management) Universitas Nasional, Sustainable management merupakan jawaban agar orang utan Tapanuli tetap survive.
Hal ini dikemukakan Dr Jito Sugardjito saat pemaparan hasil studi mengenai orangutan bertajuk ‘Mengelola Habitat Orangutan dalam Kawasan APL’yang diselenggarakan secara daring oleh Center for Sustainable Energy & Resources Management (CSERM), Universitas Nasional, beberapa waktu lalu.
Menurut Jito, orangutan dan habitatnya di Kawasan Batang Toru memerlukan mitigasi penanganan yang tepat untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan dengan membuat best practice management di area pembangunan yang menjadi habitat orangutan, sebagai bagian dari upaya melakukan sustainable management.
Lebih lanjut Jito mengatakan studi lapangan yang dilakukan CSERM Universitas Nasional, juga membuktikan pembangunan PLTA Batang Toru dinilai tidak akan menyebabkan punahnya orangutan Tapanuli seperti dituduhkan banyak pihak, sebaliknya dengan mitigasi yang tepat kehadiran PLTA Batang Toru justru dapat menjaga kelestarian orangutan Tapanuli.
Studi terbaru yang dilakukan CSERM Universitas Nasional (UNAS) memprediksikans ekitar 6 individu orangutan menggunakan kawasan hutan PT NSHE, namun jumlah orangutan ini harus dipastikan mengingat terdapat sifat orangutan sebagai penjelajah dan penetap. Sementara jumlah tersebut hanya mewakili 0,8% dari estimasi total 800 individu yang ada di seluruh ekosistem Batang Toru.
“Dengan mitigasi dan konservasi orangutan Tapanuli yang tepat dilakukan oleh PLTA Batang Toru, maka orangutan Tapanuli tersebut akan terjaga keamanan dan keselamatannya,” ucap Didik Prasetyo PhD salah satu pakar orangutan yang menjadi salah satu peneliti dalam studi tersebut.
Studi ini juga bertujuan menyediakan data dasar terkini untuk membantu proses mitigasi dampak untuk Proyek PLTA Batang Toru, serta mengembangkan strategi konservasi baru yang lebih komprehensif dan lebih luas untuk orangutan Tapanuli di seluruh habitatnya yang tersisa.
Lebihjauh Emmy Hafild mengatakan bahwa hasil studi ini dapat memberikan landasan yang kuat bagi perusahaan untuk meningkatkan upaya mitigasi yang lebih baik lagi serta upaya konservasi terhadap orangutan.
“Kami selalu percaya bahwa dengan mitigasi yang tepat orangutan Tapanuli dapat hidup berdampingan dengan PLTA Batang Toru. Studi mengenai penyebaran habitat orangutan Tapanuli di area proyek PLTA Batang Toru merupakan langkah awal yang kami lakukan, sekaligus sebagai alat verifikasi dan acuan bagi kami untuk melakukan program konservasi untuk orangutan Tapanuli selanjutnya,” ucap Emmymenambahkan.
Emmy menilai apa yang telah dilakukan PLTA Batang Toru merupakan upaya penerapan konsep pembangunan berkelanjutan yang akan membawa perubahan besar bagi Kawasan yang kaya keanekaragaman hayati ini, jika dilakukan juga oleh pengembang lain yang hadir di kawasan APL Batang Toru.
Bahkan Indonesia nantinya akan makin dapat meningkatkan kontribusi dalam upaya penurunan emisi Gas Rumah Kaca dalam Paris Agreement, untuk upaya pencegahan naiknya temperature global di bawah 2% atau bahkan di bawah 1,5%. Di mana pada kurun 2016-2017, hasil kerja penurunan emisi karbon dioksida yang berhasil dilakukan oleh Indonesia mencapai 11,2 juta ton CO2eq dan telah mendapat pengakuan dari pemerintah Norwegia.
(atk)