Akusisi Drone Turki dan Program Elang Hitam
loading...
A
A
A
Kabar menggembirakan datang dari dunia alutsista Tanah Air. Adalah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) disebut-sebut tengah menggodok rencana mengakusisi dua jenis pesawat tempur tanpa awak atauunmanned combat aerial vehicles(UCAVs) atau pesawat udara nirawak (PUNA) dari pabrikan Turki.
Kedua perusahaan yang digandeng adalah Baykar, produsen drone tempur yang tengah naik daun Bayraktar TB2; dan Turkish Aerospace Industries (TAI) yang memproduksi Anka.
Kedua perusahaan tersebut bahkan disebut bersedia memberikantransfer of technology(ToT) kepada Indonesia, dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia, dan melakukan produksi bareng di Bandung.
Keberadaan drone tempur tentu sangat urgen untuk memperkuat kapabilitas TNI dan pertahanan negeri ini. Pasalnya, dalam perang modern saat ini, drone menjadi bagian strategis untuk memaksimalkan kemenangan (game changer). Realitas ini bisa terlihat dalam medan tempur yang terjadi dalam perang Azerbaijan vs Rumania dan Rusia-Ukraina.
Positioningistimewa drone dalam drone dalam pertempuran modern bukan hanya karena juga mampu melakukan fungsi kompleks layaknya pesawat tempur, mulai dari fungsi intelijen, perang elektronik, hingga mengeksekusi lawan dengan menembakkan rudal dan maupun roket.
Lebih dari itu, drone memiliki keunggulan karena lebih efisien dan lebih murah dibanding pesawat tempur berawak.
Kesadaran TNI menggunakan drone sebagai pendukung kekuatan udara sebenarnya bukan hal baru.
Sebelumnya TNI AU sudah mengakusisi CH-4 buatan China. Selain itu TNI juga sudah memiliki sejumlah drone lebih kecil dengan fungsi yang lebih terbatas seperti drone hibah dari Amerika Serikat untuk TNI AL, ScanEagle, dan Black Hornet yang dibeli TNI AD. Selain itu sejumlah drone lokal juga telah dimanfaatkan TNI untuk berbagai keperluan.
Tapi, kehadiran Bayraktar TB2 dan Anka istimewa karena keduanya dalam dunia drone militer dunia sudah dikenal luas kemampuannya dan kecanggihannya danbattle proven.
Bayraktar TB2, misalnya, sukses menjadigame changerpertempuran Nagorno-Karabakh hingga Azerbaijan mampu mengalahkan Rumania. Pun di perang Rusia vs Ukraina, drone ini terbukti sempat membuat Rusia kewalahan.
Lebih dari itu, dalam akusisi Bayraktar TB2 dan Anka, Turki yang kini tampil sebagai negara terkemuka pembuat drone dan alutsista memberikan peluang kepada Indonesia untuk melakukan ToT.
Dengan demikian, anak bangsa akan memiliki peluang untuk belajar dan mendapatkan knowledge membuat drone tempur, hingga ke depan bisa membuat dan memproduksi sendiri.
Dalam konteks lebih spesifik, ToT tersebut menjadi solusi untuk menambal kekurangan yang dimiliki anak bangsa dalam proses pembuatan drone Elang Hitam,yang belakangan dialihkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk tujuan sipil. Dengan demikian, proyek Elang Hitam bisa kembali ke tujuan awal, seperti tercantum dalam Perpres Nomor 109 tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Strategis Nasional.
Bila Elang Hitam terkendala teknologi kunci karena semua negara membatasi transfer teknologi kunci terkait militer seperti Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, maka kerjasama dengan Turki ini bisa menjembatani untuk mengatasi persoalan tersebut.Atau paling tidak menjadi momentum merayu Turki agar bersedia menjual teknologi dimaksud kepada Indonesia. Toh, tidak semua harus dibuat di dalam negeri atau pelan-pelan dibuat dalam negeri setelah mampu menguasai teknologinya.
Hal ini juga dilakukan Turki pada fase awal menguasai teknologi drone, dengan membeli mesin Rotax, modul kamera elektro-optik (EO ) dan kamera inframerah (IR) yang ternyata produk dari Kanada. Fakta ini mengemuka setelah Kanada mengumumkan embargo alutsista ke Turki.
BRIN, PT DI, maupun otoritas terkait tentu harus bisa belajar dari perjalanan Turki dari awal membangun program drone tempur hingga kini menjadi negara produsen terkemuka.
Pelajarannya adalah semangat pantang menyerah, melakukan segala cara untuk bisa membuat drone tempur, dan melakukan learning procces hingga bisa menguasai teknologinya. Bukan malah melemahkan program drone militer yang sangat strategis dengan berbagai alasan.
Dengan adanya kerjasama dengan Turki,tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk tidak meneruskan program Elang Hitam untuk keperluan militer. Apalagi Tubitak SAGE - lembaga riset Turki, sudah menawarkan sistem senjata yang bisa disemakatkan pada Elang Hitam.
Kedua perusahaan yang digandeng adalah Baykar, produsen drone tempur yang tengah naik daun Bayraktar TB2; dan Turkish Aerospace Industries (TAI) yang memproduksi Anka.
Kedua perusahaan tersebut bahkan disebut bersedia memberikantransfer of technology(ToT) kepada Indonesia, dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia, dan melakukan produksi bareng di Bandung.
Keberadaan drone tempur tentu sangat urgen untuk memperkuat kapabilitas TNI dan pertahanan negeri ini. Pasalnya, dalam perang modern saat ini, drone menjadi bagian strategis untuk memaksimalkan kemenangan (game changer). Realitas ini bisa terlihat dalam medan tempur yang terjadi dalam perang Azerbaijan vs Rumania dan Rusia-Ukraina.
Positioningistimewa drone dalam drone dalam pertempuran modern bukan hanya karena juga mampu melakukan fungsi kompleks layaknya pesawat tempur, mulai dari fungsi intelijen, perang elektronik, hingga mengeksekusi lawan dengan menembakkan rudal dan maupun roket.
Lebih dari itu, drone memiliki keunggulan karena lebih efisien dan lebih murah dibanding pesawat tempur berawak.
Kesadaran TNI menggunakan drone sebagai pendukung kekuatan udara sebenarnya bukan hal baru.
Sebelumnya TNI AU sudah mengakusisi CH-4 buatan China. Selain itu TNI juga sudah memiliki sejumlah drone lebih kecil dengan fungsi yang lebih terbatas seperti drone hibah dari Amerika Serikat untuk TNI AL, ScanEagle, dan Black Hornet yang dibeli TNI AD. Selain itu sejumlah drone lokal juga telah dimanfaatkan TNI untuk berbagai keperluan.
Tapi, kehadiran Bayraktar TB2 dan Anka istimewa karena keduanya dalam dunia drone militer dunia sudah dikenal luas kemampuannya dan kecanggihannya danbattle proven.
Bayraktar TB2, misalnya, sukses menjadigame changerpertempuran Nagorno-Karabakh hingga Azerbaijan mampu mengalahkan Rumania. Pun di perang Rusia vs Ukraina, drone ini terbukti sempat membuat Rusia kewalahan.
Lebih dari itu, dalam akusisi Bayraktar TB2 dan Anka, Turki yang kini tampil sebagai negara terkemuka pembuat drone dan alutsista memberikan peluang kepada Indonesia untuk melakukan ToT.
Dengan demikian, anak bangsa akan memiliki peluang untuk belajar dan mendapatkan knowledge membuat drone tempur, hingga ke depan bisa membuat dan memproduksi sendiri.
Dalam konteks lebih spesifik, ToT tersebut menjadi solusi untuk menambal kekurangan yang dimiliki anak bangsa dalam proses pembuatan drone Elang Hitam,yang belakangan dialihkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) untuk tujuan sipil. Dengan demikian, proyek Elang Hitam bisa kembali ke tujuan awal, seperti tercantum dalam Perpres Nomor 109 tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Program Strategis Nasional.
Bila Elang Hitam terkendala teknologi kunci karena semua negara membatasi transfer teknologi kunci terkait militer seperti Kepala BRIN Laksana Tri Handoko, maka kerjasama dengan Turki ini bisa menjembatani untuk mengatasi persoalan tersebut.Atau paling tidak menjadi momentum merayu Turki agar bersedia menjual teknologi dimaksud kepada Indonesia. Toh, tidak semua harus dibuat di dalam negeri atau pelan-pelan dibuat dalam negeri setelah mampu menguasai teknologinya.
Hal ini juga dilakukan Turki pada fase awal menguasai teknologi drone, dengan membeli mesin Rotax, modul kamera elektro-optik (EO ) dan kamera inframerah (IR) yang ternyata produk dari Kanada. Fakta ini mengemuka setelah Kanada mengumumkan embargo alutsista ke Turki.
BRIN, PT DI, maupun otoritas terkait tentu harus bisa belajar dari perjalanan Turki dari awal membangun program drone tempur hingga kini menjadi negara produsen terkemuka.
Pelajarannya adalah semangat pantang menyerah, melakukan segala cara untuk bisa membuat drone tempur, dan melakukan learning procces hingga bisa menguasai teknologinya. Bukan malah melemahkan program drone militer yang sangat strategis dengan berbagai alasan.
Dengan adanya kerjasama dengan Turki,tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk tidak meneruskan program Elang Hitam untuk keperluan militer. Apalagi Tubitak SAGE - lembaga riset Turki, sudah menawarkan sistem senjata yang bisa disemakatkan pada Elang Hitam.
(ynt)