Kritik Postmodern dan Titik Kritis Birokrasi di Era New Normal
loading...
A
A
A
Dwiyanto Indiahono
Dosen Kebijakan Publik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Pegiat Indonesia for Bureaucratic Reform [INBREAF]
PANDEMI Covid-19 selama beberapa bulan ini memang telah banyak membawa perubahan: perubahan cara belajar, cara kerja, dan cara beribadah. Fenomena ini sebenarnya membuktikan bahwa manusia merupakan makhluk canggih yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap perubahan lingkungan. Cara kerja sektor privat dan publik pada era ini dipaksa berubah. Pekerjaan yang biasanya dikerjakan di kantor atau work from office (WFO) dengan cepat berubah berbasis pekerjaan yang bisa diselesaikan di rumah atau work from home (WFH). Fase ini identik dengan menggerakkan seluruh pekerjaan manual menjadi berbasis daring. Apakah perubahan berbasis daring ini benar-benar dibutuhkan pada seluruh urusan sektor publik? Apakah keuntungan yang dapat diambil dari WFH bagi birokrasi?
Pendekatan Postmodernisme pada kajian Administrasi Publik mengkritik birokrasi yang berlaku seakan-akan selalu ingin efektif-efisien berbasis mesin dan teknologi kemudian menjadikan masalah birokrasi seakan-akan selesai dengan tuntas. Masalah birokrasi pada aspek kebijakan publik dan manajemen publik seharusnya bukan hanya terkait dengan penyelesaian urusan dalam bentuk kertas atau digital, tetapi juga bagaimana sistem yang dibangun mampu mengejawantahkan keadilan sosial dan memanusiakan manusia (Frederickson dkk, 2012, dan Raksnys dkk, 2015). Rasa keadilan sosial itu harus masuk pada relung-relung aktivitas birokrasi bukan hanya pada penyelesaian urusan yang bersifat mekanik.
Pada aspek formulasi kebijakan publik, penyerapan aspirasi tidaklah cukup hanya dengan membuat aplikasi yang dapat digunakan menjadi sensor penyerap aspirasi. Pada aspek legitimasi kebijakan, proses public hearing tidaklah cukup dengan membagikan naskah secara digital kemudian meminta publik memberikan catatan dalam naskah dan dikirim melalui aplikasi. Pada aspek implementasi kebijakan, pekerjaan-pekerjaan daring justru menjadi hal yang persentasenya relatif kecil. Ada banyak pekerjaan lapangan yang harus dilakukan. Dengan demikian, konsep WFH pada aspek implementasi kebijakan juga masih harus dikaji dengan seksama.
Publik yang masih tinggal di pedesaan harus menjadi perhatian secara khusus. Cobalah tengok masalah kebijakan dan manajemen publik itu bukan hanya urusan kertas, urusan digitalisasi dan mengubah pertemuan fisik menjadi daring. Urusan publik itu sangat kompleks. Jika masalah tersebut bisa diselesaikan dengan daring itu lebih baik, tetapi jika memang ada organ pemerintah yang dibutuhkan secara fisik oleh publik dan publik memiliki nir-akses kepada fasilitas daring, pemerintah harus memenuhinya. Pemerintah jangan hanya bisa menawarkan semuanya secara daring, tanpa melihat kapasitas publik untuk mengaksesnya.
Titik Kritis New Normal Birokrasi
WFH yang dilakukan oleh birokrasi pada era pandemi ini menunjukkan bahwa ada banyak pekerjaan birokrasi yang dapat diselesaikan tanpa kehadiran pegawai di kantor. Birokrasi harus belajar bahwa bekerja itu harus dibedakan dengan kehadiran. Kehadiran (presensi) bukanlah salah satu indikator utama untuk menilai pekerjaan seseorang sehingga pengukuran kinerja seorang pegawai pemerintah dengan demikian harus diubah berbasis indikator kinerja yang sesungguhnya. Indikator kinerja yang sesungguhnya itu harus dicari dan bisa jadi memang spesifik atau spesialis. Satu jenis pekerjaan berbeda dengan jenis pekerjaan yang lain dan ini membutuhkan pemikiran ekstrakeras. Fase pandemi korona telah memberi celah untuk mendesain indikator kinerja pekerjaan seseorang secara lebih baik.
Selain itu, birokrasi juga harus belajar bahwa formalitas seperti upacara dan seragam ternyata tidaklah diperlukan lagi dalam birokrasi. Upacara dapat digantikan dengan forum berbagi bersama antara atasan dan bawahan. Seragam dapat ditentukan beragam tanpa paksaan dan seragam bukanlah salah satu indikator untuk menilai kesuksesan pekerjaan seseorang. Formula daring yang egaliter semoga terbawa dalam situasi kerja birokrasi sehingga ide-ide kreatif dan inovatif dari bawah ke atas atau atas ke bawah menjadi lebih banyak ditemui dalam kehidupan birokrasi.
Era pandemi ini telah menyediakan banyak waktu dan kurikulum bagi birokrasi untuk cepat belajar dan beradaptasi. Inilah titik kritis birokrasi di era new normal. Minimal ada dua pelajaran penting di masa pandemi ini, yaitu mengidentifikasi pekerjaan yang tidak lagi dibutuhkan dan mengidentifikasi pegawai yang tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan adaptasi kepada teknologi secara cepat. Pertama, tentang mengidentifikasi pekerjaan yang dibutuhkan. Hal ini menunjuk bahwa pandemi korona yang memaksa birokrat harus WFH, ternyata memang ada suatu posisi atau jabatan yang sebenarnya memang tidak ada pekerjaannya. Banyak posisi yang ditinggalkan dan birokrasi tetap dapat bekerja dengan normal.
Kedua, tentang mengidentifikasi pegawai yang tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan adaptasi teknologi menunjuk bahwa banyak pegawai, termasuk para pejabat yang tidak memiliki kecakapan untuk mengoperasikan teknologi. Pejabat yang gagap teknologi memang tidaklah sepenuhnya buruk. Namun, pada situasi lingkungan berubah dengan cepat dibutuhkan pejabat yang dapat mengikuti perubahan lingkungan dengan cepat pula. Pemanfaatan teknologi memang hanya sebagai alat untuk mengintroduksi perubahan, tetapi tanpa menguasai teknologi bagaimana mungkin seorang pejabat dapat beradaptasi? Selain itu, karakter yang dibutuhkan oleh birokrasi adalah karakter pejabat yang selalu ingin belajar. Jika seorang pejabat gagap teknologi, kemudian dia menyerah untuk tidak meningkatkan kapasitasnya, bagaimana mungkin dia akan bisa menjadi teladan dalam mendorong proses belajar birokrasi?
Birokrasi ke depan adalah birokrasi yang cerdas dan gesit. Birokrat yang ramah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu keniscayaan, tetapi birokrat juga harus mendorong terciptanya keadilan sosial dalam kebijakan dan manajemen publik. Birokrat harus terus belajar untuk meningkatkan kualitas diri dan organisasinya dan masa pandemi korona bisa menjadi pemantik bagi birokrasi untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar sehingga birokrasi dapat bergerak secara cerdas dan gesit.
Dosen Kebijakan Publik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Pegiat Indonesia for Bureaucratic Reform [INBREAF]
PANDEMI Covid-19 selama beberapa bulan ini memang telah banyak membawa perubahan: perubahan cara belajar, cara kerja, dan cara beribadah. Fenomena ini sebenarnya membuktikan bahwa manusia merupakan makhluk canggih yang memiliki tingkat adaptasi tinggi terhadap perubahan lingkungan. Cara kerja sektor privat dan publik pada era ini dipaksa berubah. Pekerjaan yang biasanya dikerjakan di kantor atau work from office (WFO) dengan cepat berubah berbasis pekerjaan yang bisa diselesaikan di rumah atau work from home (WFH). Fase ini identik dengan menggerakkan seluruh pekerjaan manual menjadi berbasis daring. Apakah perubahan berbasis daring ini benar-benar dibutuhkan pada seluruh urusan sektor publik? Apakah keuntungan yang dapat diambil dari WFH bagi birokrasi?
Pendekatan Postmodernisme pada kajian Administrasi Publik mengkritik birokrasi yang berlaku seakan-akan selalu ingin efektif-efisien berbasis mesin dan teknologi kemudian menjadikan masalah birokrasi seakan-akan selesai dengan tuntas. Masalah birokrasi pada aspek kebijakan publik dan manajemen publik seharusnya bukan hanya terkait dengan penyelesaian urusan dalam bentuk kertas atau digital, tetapi juga bagaimana sistem yang dibangun mampu mengejawantahkan keadilan sosial dan memanusiakan manusia (Frederickson dkk, 2012, dan Raksnys dkk, 2015). Rasa keadilan sosial itu harus masuk pada relung-relung aktivitas birokrasi bukan hanya pada penyelesaian urusan yang bersifat mekanik.
Pada aspek formulasi kebijakan publik, penyerapan aspirasi tidaklah cukup hanya dengan membuat aplikasi yang dapat digunakan menjadi sensor penyerap aspirasi. Pada aspek legitimasi kebijakan, proses public hearing tidaklah cukup dengan membagikan naskah secara digital kemudian meminta publik memberikan catatan dalam naskah dan dikirim melalui aplikasi. Pada aspek implementasi kebijakan, pekerjaan-pekerjaan daring justru menjadi hal yang persentasenya relatif kecil. Ada banyak pekerjaan lapangan yang harus dilakukan. Dengan demikian, konsep WFH pada aspek implementasi kebijakan juga masih harus dikaji dengan seksama.
Publik yang masih tinggal di pedesaan harus menjadi perhatian secara khusus. Cobalah tengok masalah kebijakan dan manajemen publik itu bukan hanya urusan kertas, urusan digitalisasi dan mengubah pertemuan fisik menjadi daring. Urusan publik itu sangat kompleks. Jika masalah tersebut bisa diselesaikan dengan daring itu lebih baik, tetapi jika memang ada organ pemerintah yang dibutuhkan secara fisik oleh publik dan publik memiliki nir-akses kepada fasilitas daring, pemerintah harus memenuhinya. Pemerintah jangan hanya bisa menawarkan semuanya secara daring, tanpa melihat kapasitas publik untuk mengaksesnya.
Titik Kritis New Normal Birokrasi
WFH yang dilakukan oleh birokrasi pada era pandemi ini menunjukkan bahwa ada banyak pekerjaan birokrasi yang dapat diselesaikan tanpa kehadiran pegawai di kantor. Birokrasi harus belajar bahwa bekerja itu harus dibedakan dengan kehadiran. Kehadiran (presensi) bukanlah salah satu indikator utama untuk menilai pekerjaan seseorang sehingga pengukuran kinerja seorang pegawai pemerintah dengan demikian harus diubah berbasis indikator kinerja yang sesungguhnya. Indikator kinerja yang sesungguhnya itu harus dicari dan bisa jadi memang spesifik atau spesialis. Satu jenis pekerjaan berbeda dengan jenis pekerjaan yang lain dan ini membutuhkan pemikiran ekstrakeras. Fase pandemi korona telah memberi celah untuk mendesain indikator kinerja pekerjaan seseorang secara lebih baik.
Selain itu, birokrasi juga harus belajar bahwa formalitas seperti upacara dan seragam ternyata tidaklah diperlukan lagi dalam birokrasi. Upacara dapat digantikan dengan forum berbagi bersama antara atasan dan bawahan. Seragam dapat ditentukan beragam tanpa paksaan dan seragam bukanlah salah satu indikator untuk menilai kesuksesan pekerjaan seseorang. Formula daring yang egaliter semoga terbawa dalam situasi kerja birokrasi sehingga ide-ide kreatif dan inovatif dari bawah ke atas atau atas ke bawah menjadi lebih banyak ditemui dalam kehidupan birokrasi.
Era pandemi ini telah menyediakan banyak waktu dan kurikulum bagi birokrasi untuk cepat belajar dan beradaptasi. Inilah titik kritis birokrasi di era new normal. Minimal ada dua pelajaran penting di masa pandemi ini, yaitu mengidentifikasi pekerjaan yang tidak lagi dibutuhkan dan mengidentifikasi pegawai yang tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan adaptasi kepada teknologi secara cepat. Pertama, tentang mengidentifikasi pekerjaan yang dibutuhkan. Hal ini menunjuk bahwa pandemi korona yang memaksa birokrat harus WFH, ternyata memang ada suatu posisi atau jabatan yang sebenarnya memang tidak ada pekerjaannya. Banyak posisi yang ditinggalkan dan birokrasi tetap dapat bekerja dengan normal.
Kedua, tentang mengidentifikasi pegawai yang tidak dapat bekerja pada pekerjaan yang membutuhkan kemampuan adaptasi teknologi menunjuk bahwa banyak pegawai, termasuk para pejabat yang tidak memiliki kecakapan untuk mengoperasikan teknologi. Pejabat yang gagap teknologi memang tidaklah sepenuhnya buruk. Namun, pada situasi lingkungan berubah dengan cepat dibutuhkan pejabat yang dapat mengikuti perubahan lingkungan dengan cepat pula. Pemanfaatan teknologi memang hanya sebagai alat untuk mengintroduksi perubahan, tetapi tanpa menguasai teknologi bagaimana mungkin seorang pejabat dapat beradaptasi? Selain itu, karakter yang dibutuhkan oleh birokrasi adalah karakter pejabat yang selalu ingin belajar. Jika seorang pejabat gagap teknologi, kemudian dia menyerah untuk tidak meningkatkan kapasitasnya, bagaimana mungkin dia akan bisa menjadi teladan dalam mendorong proses belajar birokrasi?
Birokrasi ke depan adalah birokrasi yang cerdas dan gesit. Birokrat yang ramah dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu keniscayaan, tetapi birokrat juga harus mendorong terciptanya keadilan sosial dalam kebijakan dan manajemen publik. Birokrat harus terus belajar untuk meningkatkan kualitas diri dan organisasinya dan masa pandemi korona bisa menjadi pemantik bagi birokrasi untuk melakukan perubahan-perubahan yang mendasar sehingga birokrasi dapat bergerak secara cerdas dan gesit.
(ras)