Hari Koperasi dan Kontroversi Baru LPDB
loading...
A
A
A
Dr Iqbal Alan Abdullah, MSc
Ketua Umum Center of Excellent Management Indonesia (Cemindo)
SEMUA negara kini menghadapi kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 yang sudah terjadi hampir 6 bulan terakhir. Tak hanya Indonesia, wajah buram kita menutupi berbagai negara. Tidak mengherankan kalau Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi global minus yaitu -5,2% pada tahun 2020.
Sementara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberikan angka lebih buruk yaitu - 6-7,6%, Bahkan dalam skenario paling buruk OECD menyebut tingkat pengangguran global akan meningkat sebesar 10%, dan perdagangan internasional -11,4%. Kondisi ini menjadikan ekonomi dunia paling buruk sejak 1930.
Itu sebabnya OECD menilai dibutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat untuk mengatasi ketidakpastian dari Covid-19. OECD menilai diperlukan strategi khusus di masing-masing sektor agar kinerjanya tetap terjaga.
Sebuah pesan yang kita lihat sudah dengan cepat ditangkap oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dikabarkan meluapkan kemarahan dan kejengkelannya kepada para menteri/lembaga pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Kemarahan ini sangat bisa kita pahami karena sepertinya tidak ada sense of crisis di tengah kesulitan yang sangat dahsyat yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia usaha saat ini. Presiden Jokowi marah karena saat dunia membutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat serta adanya strategi khusus, para pejabat dan aparaturnya masih berpikir kaku, lambat dan tidak punya strategi khusus.
Rendahnya realisasi anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) menjadi bukti tidak adanya sense of crisis itu. Total anggaran terkait PEN sebesar Rp695,20 triliun yang dibagi untuk kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,90 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp106,11 triliun.
Sampai pertengahan Juni 2020, di bidang kesehatan realiasinya 1,54%, perlindungan sosial 28,63%, insentif dunia usaha, penyerapan masih 6,8%. Untuk UMKM realisasi juga masih sangat kecil yaitu 0,06%, untuk pembiayaan korporasi masih belum terealisasi atau 0%, sedangkan untuk bidang sektoral/Pemda, penyerapan sudah 3,65%.
Makin mengherankan lagi, karena Penjaminan Kredit Modal Kerja UMKM Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional baru diluncurkan Selasa, 7 Juli 2020, atau empat bulan setelah kasus pertama Covid-19 terdeteksi. Kenapa begitu lamban, kita tidak tahu, tapi jika alasan regulasi dan kehati-hatian menjadi topik utama yang dituduh sebagai penyebab, bukankah seharusnya itu bisa diantisipasi beberapa bulan sebelumnya?
Katakankah proses verifikasi terkait biaya klaim perawatan maupun tenaga kesehatan, masih adanya wajib pajak yang mengajukan permohonan insentif pajak, penyiapan data untuk UMKM dan koperasi? Sekali lagi semua persoalan ini bisa diantisipasi.
Mungkin terlalu kuatir? Mungkin ya, tapi ini lebih tepatnya antara kuatir terjerat masalah saat penggunaan anggaran dan berlambat-lambat. Dan betul, kalau ditarik kesimpulannya, benar kata Presiden Jokowi, kita memang masih menganggap kondisi yang ada normal-normal saja. Berikut ini saya kutipkan kalimat Presiden Jokowi saat sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020):
“Suasana dalam tiga bulan ke belakang ini dan ke depan, mestinya yang ada adalah suasana krisis. Kita juga mestinya juga semuanya yang hadir di sini, sebagai pimpinan, sebagai penanggung jawab, kita yang berada di sini ini bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Tolong garis bawahi, dan perasaan itu tolong kita sama, ada sense of crisis yang sama... Saya melihat masih banyak kita yang menganggap ini normal. Lah, kalau saya lihat, Bapak, Ibu, saudara-saudara masih ada yang lihat ini sebagai sebuah ini masih normal, berbahaya sekali. Kerja masih biasa-biasa saja. Ini kerjanya memang harus ekstra luar biasa, extraordinary. Perasaan ini tolong sama. Kita harus sama perasaannya, kalau ada yang berbeda satu saja, sudah berbahaya.”
Soal LPDB
Kondisi yang “normal-normal saja” tanpa perasaan ada krisis itu juga bisa kita temukan dalam penanganan koperasi dan UMKM. Pertama, jumlah pelaku usaha kelompok ini memang yang terbesar, dan paling terpukul saat Covid-19. Mereka juga menjadi tulang punggung bagi ekonomi kita untuk bisa bertahan dan bergerak.
Dana masih tertahan di berbagai lembaga penyalur, baik itu di Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (LPDB-KUMKM), PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Bahana Artha Ventura (BAV), Pegadaian, Himbara (Himpunan Bank Negara).
PNM dapat suntikan Rp2,5 triliun (relaksasi dan pembiayaan baru) terkait PEN atau selain target pembiayaan yang sudah direncanakan sebelumnya yaitu Rp28 triliun; LPDB dikucurkan Rp1 triliun LPDB di luar Rp1,85 triliun yang dialokasikan sebelumnya. Pegadaian dapat Rp1,2 triliun suntikan untuk pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Terakhir dana dikucurkan ke Himbara Rp30 triliun.
Informasi dari Kementerian Koperasi dan UKM anggaran Rp1 triliun terkait PEN ini akan disalurkan ke 266 koperasi, dan dipastikan tersalurkan September 2020. Sampai sekarang terserap 23% dan bulan Juli ini ditargekan terserap 50%, sementara masih meragukan apakah realisasi penyaluran dana bergulir ke koperasi-koperasi untuk anggaran 2020 di luar PEN bisa terlaksana dengan baik. Kenapa?
Karena kalau LPDB betul-betul konsisten memperlakukan kepada semua koperasi seperti yang diatur dalam regulasi yang mereka buat sendiri maka kemungkinan apa yang diharapkan oleh Presiden Jokowi agar realisasi penyaluran dana pemerintah untuk membantu koperasi dan UMKM akan sulit tercapai akibat rumitnya, sulitnya dan panjangnya proses yang harus dilalui koperasi untuk dapat menjadi penerima dan atau penyalur dana bergulir.
Sejauh ini ada sejumlah peraturan yang dipakai landasan penyaluran dana bergulir, antara lain Permenkop Nomor 6/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menkop UKM Nomor 08 Tahun 2018 tentang Penyaluran Pinjaman/ Pembiayaan Dana Bergulir oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM, dan sejumlah peraturan direksi LPDB.
Kriterianya tidak masalah, tapi dokumen yang harus diserahkan begitu banyak dan rumit. Lebih rumit dari persyaratan perbankan. Padahal, LPDB juga meminta jaminan material maupun imaterial.
Tapi segera angin sejukpun disampaikan Kementerian Koperasi dan UKM sehari sebelum peringatan Hari Koperasi 12 Juli 2020 lalu. yang menyebut Kemenkop UKM telah mengeluarkan Permenkop UKM No 4/2020 tentang Penyaluran Pinjaman Atau Pembiayaan Dana Bergulir oleh LPDB-KUMKM, yang menjadi pengganti Permenkop No 8/2018 sebagaimana telah diubah dengan Permenkop No 6/2019. Seperti disiarkan di berbagai media, Sekretaris KemenkopUKM Rully Indrawan mengklaim peraturan baru ini memberikan kemudahan kepada koperasi untuk mengakses dana LPDB dengan pencairan pembiayaan berubah drastis dari 16 proses yang rigid menjadi hanya 3 proses saja.
Syaratnya adalah penilaian legalitas, kapasitas pembayaran, dan pengikatan jaminan, serta pencairan dana. Peraturan baru ini mengedepankan risiko (risk based) yaitu legalitas dan kelembagaan, kelayakan usaha, dan kondisi keuangan serta jaminan untuk memastikan kemampuan mengembalikan.
Secara karakter LPDB diklaim berubah total operasionalnya dari model banking approach menjadi venture capital approach yang bisa memberi pembiayaan tanpa harus menunggu calon mitranya BEP dan surplus dua kali, tapi lebih mendasarkan kepada cashflow dan repayment capacity. Tak cukup hanya itu, Kemenkop UKM menyebut ini sebagai legacy dari Menkop UKM yang inginkan LPDB dikhususkan melayani koperasi.
Benarkah? Saya telah mengecek dengan apa yang ada dalam Permenkop No 4/2020 itu, jauh dari apa yang disebut kemudahan. Tidak ada perubahan drastis dari 16 proses menjadi 3 proses, tapi malah syaratnya ditambah dari aturan yang lama.
Sebagai contoh di Pasal 7, kalau dalam Permenkop yang lama dokumen yang harus dilampirkan itu 12 item, maka di Permenkop yang baru ditambah menjadi 15 item. Kemudian persoalan jaminan makin ditegaskan sebagai tekanan risk based. Di bagian mana ada disebut
Permenkop baru ini ingin mengesankan dibuat sebagai jawaban atas keinginan Presiden Jokowi agar proses bantuan untuk koperasi dan UMKM dipercepat dan dipermudah, tapi pada kenyataannya Permenkop ini malah mempersulit koperasi. Bahkan kalau dikatakan Pemenkop ini menegaskan bahwa LPDB itu hanya untuk koperasi, faktanya tidak benar karena di Pasal 3 jelas-jelas bahwa dana bergulir di LPDB itu bukan hanya untuk koperasi tapi juga UMKM.
Kita sepakat bahwa dalam penyaluran dana bergulir harus ada prinsip kehati-hatian. Kita sepakat bahwa aspek risiko harus menjadi pertimbangan besar. Itulah sebabnya ada analisis repayment capacity dan juga jaminan.
Tapi, sekali lagi, Permenkop malah tidak sesuai antara yang diucapkan dengan yang diatur. Bahkan dari pengalaman yang kita dengar dari koperasi, LPDB meminta untuk memeriksa sistem komputer untuk validasi, sesuatu yang aneh dan kalau tidak ada komunikasi yang baik akan terkesan diskriminatif dan menempatkan koperasi sebagai pihak “pesakitan” yang terlibat kasus pidana.
Inilah yang saya sebut sebagai kontroversi. Dikesankan seakan taat kepada perintah Presiden Jokowi, dan seakan pro kepada koperasi, tapi kenyataannya tidak. Pendekatan Kemenkop UKM masih banking, tidak sense of crisis, dan plin-plan.
Itulah yang sangat kita sayangkan di tengah krisis hebat akibat pandemi Covid-19 ini. Tapi, ngomong-ngomong, apakah Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki benar-benar telah membaca Permenkop UKM ini sebelum ditandatangani?
Selamat Hari Koperasi!
Ketua Umum Center of Excellent Management Indonesia (Cemindo)
SEMUA negara kini menghadapi kesulitan menghadapi pandemi Covid-19 yang sudah terjadi hampir 6 bulan terakhir. Tak hanya Indonesia, wajah buram kita menutupi berbagai negara. Tidak mengherankan kalau Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi global minus yaitu -5,2% pada tahun 2020.
Sementara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memberikan angka lebih buruk yaitu - 6-7,6%, Bahkan dalam skenario paling buruk OECD menyebut tingkat pengangguran global akan meningkat sebesar 10%, dan perdagangan internasional -11,4%. Kondisi ini menjadikan ekonomi dunia paling buruk sejak 1930.
Itu sebabnya OECD menilai dibutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat untuk mengatasi ketidakpastian dari Covid-19. OECD menilai diperlukan strategi khusus di masing-masing sektor agar kinerjanya tetap terjaga.
Sebuah pesan yang kita lihat sudah dengan cepat ditangkap oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dikabarkan meluapkan kemarahan dan kejengkelannya kepada para menteri/lembaga pada sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020).
Kemarahan ini sangat bisa kita pahami karena sepertinya tidak ada sense of crisis di tengah kesulitan yang sangat dahsyat yang dihadapi oleh masyarakat dan dunia usaha saat ini. Presiden Jokowi marah karena saat dunia membutuhkan kebijakan yang fleksibel dan cepat serta adanya strategi khusus, para pejabat dan aparaturnya masih berpikir kaku, lambat dan tidak punya strategi khusus.
Rendahnya realisasi anggaran untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) menjadi bukti tidak adanya sense of crisis itu. Total anggaran terkait PEN sebesar Rp695,20 triliun yang dibagi untuk kesehatan sebesar Rp87,55 triliun, perlindungan sosial Rp203,90 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, UMKM Rp123,46 triliun, pembiayaan korporasi Rp53,57 triliun, sektoral K/L dan Pemda Rp106,11 triliun.
Sampai pertengahan Juni 2020, di bidang kesehatan realiasinya 1,54%, perlindungan sosial 28,63%, insentif dunia usaha, penyerapan masih 6,8%. Untuk UMKM realisasi juga masih sangat kecil yaitu 0,06%, untuk pembiayaan korporasi masih belum terealisasi atau 0%, sedangkan untuk bidang sektoral/Pemda, penyerapan sudah 3,65%.
Makin mengherankan lagi, karena Penjaminan Kredit Modal Kerja UMKM Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional baru diluncurkan Selasa, 7 Juli 2020, atau empat bulan setelah kasus pertama Covid-19 terdeteksi. Kenapa begitu lamban, kita tidak tahu, tapi jika alasan regulasi dan kehati-hatian menjadi topik utama yang dituduh sebagai penyebab, bukankah seharusnya itu bisa diantisipasi beberapa bulan sebelumnya?
Katakankah proses verifikasi terkait biaya klaim perawatan maupun tenaga kesehatan, masih adanya wajib pajak yang mengajukan permohonan insentif pajak, penyiapan data untuk UMKM dan koperasi? Sekali lagi semua persoalan ini bisa diantisipasi.
Mungkin terlalu kuatir? Mungkin ya, tapi ini lebih tepatnya antara kuatir terjerat masalah saat penggunaan anggaran dan berlambat-lambat. Dan betul, kalau ditarik kesimpulannya, benar kata Presiden Jokowi, kita memang masih menganggap kondisi yang ada normal-normal saja. Berikut ini saya kutipkan kalimat Presiden Jokowi saat sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Kamis (18/6/2020):
“Suasana dalam tiga bulan ke belakang ini dan ke depan, mestinya yang ada adalah suasana krisis. Kita juga mestinya juga semuanya yang hadir di sini, sebagai pimpinan, sebagai penanggung jawab, kita yang berada di sini ini bertanggung jawab kepada 260 juta penduduk Indonesia. Tolong garis bawahi, dan perasaan itu tolong kita sama, ada sense of crisis yang sama... Saya melihat masih banyak kita yang menganggap ini normal. Lah, kalau saya lihat, Bapak, Ibu, saudara-saudara masih ada yang lihat ini sebagai sebuah ini masih normal, berbahaya sekali. Kerja masih biasa-biasa saja. Ini kerjanya memang harus ekstra luar biasa, extraordinary. Perasaan ini tolong sama. Kita harus sama perasaannya, kalau ada yang berbeda satu saja, sudah berbahaya.”
Soal LPDB
Kondisi yang “normal-normal saja” tanpa perasaan ada krisis itu juga bisa kita temukan dalam penanganan koperasi dan UMKM. Pertama, jumlah pelaku usaha kelompok ini memang yang terbesar, dan paling terpukul saat Covid-19. Mereka juga menjadi tulang punggung bagi ekonomi kita untuk bisa bertahan dan bergerak.
Dana masih tertahan di berbagai lembaga penyalur, baik itu di Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (LPDB-KUMKM), PT Permodalan Nasional Madani (PNM), Bahana Artha Ventura (BAV), Pegadaian, Himbara (Himpunan Bank Negara).
PNM dapat suntikan Rp2,5 triliun (relaksasi dan pembiayaan baru) terkait PEN atau selain target pembiayaan yang sudah direncanakan sebelumnya yaitu Rp28 triliun; LPDB dikucurkan Rp1 triliun LPDB di luar Rp1,85 triliun yang dialokasikan sebelumnya. Pegadaian dapat Rp1,2 triliun suntikan untuk pembiayaan Ultra Mikro (UMi). Terakhir dana dikucurkan ke Himbara Rp30 triliun.
Informasi dari Kementerian Koperasi dan UKM anggaran Rp1 triliun terkait PEN ini akan disalurkan ke 266 koperasi, dan dipastikan tersalurkan September 2020. Sampai sekarang terserap 23% dan bulan Juli ini ditargekan terserap 50%, sementara masih meragukan apakah realisasi penyaluran dana bergulir ke koperasi-koperasi untuk anggaran 2020 di luar PEN bisa terlaksana dengan baik. Kenapa?
Karena kalau LPDB betul-betul konsisten memperlakukan kepada semua koperasi seperti yang diatur dalam regulasi yang mereka buat sendiri maka kemungkinan apa yang diharapkan oleh Presiden Jokowi agar realisasi penyaluran dana pemerintah untuk membantu koperasi dan UMKM akan sulit tercapai akibat rumitnya, sulitnya dan panjangnya proses yang harus dilalui koperasi untuk dapat menjadi penerima dan atau penyalur dana bergulir.
Sejauh ini ada sejumlah peraturan yang dipakai landasan penyaluran dana bergulir, antara lain Permenkop Nomor 6/2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Menkop UKM Nomor 08 Tahun 2018 tentang Penyaluran Pinjaman/ Pembiayaan Dana Bergulir oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi dan UMKM, dan sejumlah peraturan direksi LPDB.
Kriterianya tidak masalah, tapi dokumen yang harus diserahkan begitu banyak dan rumit. Lebih rumit dari persyaratan perbankan. Padahal, LPDB juga meminta jaminan material maupun imaterial.
Tapi segera angin sejukpun disampaikan Kementerian Koperasi dan UKM sehari sebelum peringatan Hari Koperasi 12 Juli 2020 lalu. yang menyebut Kemenkop UKM telah mengeluarkan Permenkop UKM No 4/2020 tentang Penyaluran Pinjaman Atau Pembiayaan Dana Bergulir oleh LPDB-KUMKM, yang menjadi pengganti Permenkop No 8/2018 sebagaimana telah diubah dengan Permenkop No 6/2019. Seperti disiarkan di berbagai media, Sekretaris KemenkopUKM Rully Indrawan mengklaim peraturan baru ini memberikan kemudahan kepada koperasi untuk mengakses dana LPDB dengan pencairan pembiayaan berubah drastis dari 16 proses yang rigid menjadi hanya 3 proses saja.
Syaratnya adalah penilaian legalitas, kapasitas pembayaran, dan pengikatan jaminan, serta pencairan dana. Peraturan baru ini mengedepankan risiko (risk based) yaitu legalitas dan kelembagaan, kelayakan usaha, dan kondisi keuangan serta jaminan untuk memastikan kemampuan mengembalikan.
Secara karakter LPDB diklaim berubah total operasionalnya dari model banking approach menjadi venture capital approach yang bisa memberi pembiayaan tanpa harus menunggu calon mitranya BEP dan surplus dua kali, tapi lebih mendasarkan kepada cashflow dan repayment capacity. Tak cukup hanya itu, Kemenkop UKM menyebut ini sebagai legacy dari Menkop UKM yang inginkan LPDB dikhususkan melayani koperasi.
Benarkah? Saya telah mengecek dengan apa yang ada dalam Permenkop No 4/2020 itu, jauh dari apa yang disebut kemudahan. Tidak ada perubahan drastis dari 16 proses menjadi 3 proses, tapi malah syaratnya ditambah dari aturan yang lama.
Sebagai contoh di Pasal 7, kalau dalam Permenkop yang lama dokumen yang harus dilampirkan itu 12 item, maka di Permenkop yang baru ditambah menjadi 15 item. Kemudian persoalan jaminan makin ditegaskan sebagai tekanan risk based. Di bagian mana ada disebut
Permenkop baru ini ingin mengesankan dibuat sebagai jawaban atas keinginan Presiden Jokowi agar proses bantuan untuk koperasi dan UMKM dipercepat dan dipermudah, tapi pada kenyataannya Permenkop ini malah mempersulit koperasi. Bahkan kalau dikatakan Pemenkop ini menegaskan bahwa LPDB itu hanya untuk koperasi, faktanya tidak benar karena di Pasal 3 jelas-jelas bahwa dana bergulir di LPDB itu bukan hanya untuk koperasi tapi juga UMKM.
Kita sepakat bahwa dalam penyaluran dana bergulir harus ada prinsip kehati-hatian. Kita sepakat bahwa aspek risiko harus menjadi pertimbangan besar. Itulah sebabnya ada analisis repayment capacity dan juga jaminan.
Tapi, sekali lagi, Permenkop malah tidak sesuai antara yang diucapkan dengan yang diatur. Bahkan dari pengalaman yang kita dengar dari koperasi, LPDB meminta untuk memeriksa sistem komputer untuk validasi, sesuatu yang aneh dan kalau tidak ada komunikasi yang baik akan terkesan diskriminatif dan menempatkan koperasi sebagai pihak “pesakitan” yang terlibat kasus pidana.
Inilah yang saya sebut sebagai kontroversi. Dikesankan seakan taat kepada perintah Presiden Jokowi, dan seakan pro kepada koperasi, tapi kenyataannya tidak. Pendekatan Kemenkop UKM masih banking, tidak sense of crisis, dan plin-plan.
Itulah yang sangat kita sayangkan di tengah krisis hebat akibat pandemi Covid-19 ini. Tapi, ngomong-ngomong, apakah Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki benar-benar telah membaca Permenkop UKM ini sebelum ditandatangani?
Selamat Hari Koperasi!
(poe)