Seminar UI di Bandung, Ini Catatan Masalah Institusionalisasi Parpol di Indonesia
loading...
A
A
A
“Kalau parpol makin tak tergantung dengan sumbangan anggota dan warga negara, jangan salahkan partai kalau tak ada perasaan bertanggung jawab parpol kepada publik karena seluruh pembiayaan partai dicari sendiri,” kata Burhan.
Burhan juga menyinggung realitas politik Indonesia saat ini dimana identifikasi masyarakat dengan partai politik atau party id semakin menurun. Pada tahun 1999, party id mencapai 83%. Survei terbaru menunjukkan angkanya tersisa 6,8%, dimana dari itu yang paling besar adalah PDIP dan PKS. “Orang yang mau menjadi anggota parpol juga semakin menurun,” imbuh Burhan.
Dari sisi ideologi partai politik di Indonesia, Burhanuddin menjelaskan nyaris tidak ada perbedaan karakter ideologi partai politik. Dari sisi ideologi ekonomi, hasil riset menemukan semua parpol cenderung berideologi ekonomi tengah, yakni berusaha berposisi seimbang dalam isu kesetaraan dan isu pembangunan ekonomi.
Perbedaan ideologi hanya berbeda terkait isu agama dan Pancasila. Parpol seperti PDIP dan Nasdem cenderung menegaskan agama jangan masuk terlalu dalam ke isu politik, berbeda dengan PPP dan PKS yang menyatakan ideologi sebaliknya.
“Artinya kalau jualan isu ekonomi, semua parpol hampir sama. Irisan ideologi nyaris sama. Perbedaaanya diisi agama,” kata Burhan.
Dalam hal fungsi intermediasi partai, umumnya selain tingkat kedekatan pemilih dengan partai juga rendah, partai juga dinilai kurang bagus kinerjanya. “Berarti secara efektif rendah, secara intermediasi juga dipersoalkan perannya. Padahal partai penting dalam kehidupan demokrasi,” paparnya.
Riset juga menemukan bahwa trust masyarakat terhadap parpol paling rendah dibanding institusi-institusi lain. “Jadi PR para tokoh termasuk Mas Hasto banyak ini. Saya termasuk orang yang tidak pernah mau nyinyir dengan politisi dan aktivis partai. Kalau ada orang baik masuk partai politik, kita harus dorong. Jangan sampai partai diisi sama orang yang bermasalah, karena masalah partai sudah banyak. Trust rendah, fungsi intermediasi dipersepsi rendah, makin lama pemilih makin jauh dengan partai. Tapi kita tidak ada pilihan lagi berdemokrasi tanpa partai,” pungkas Burhan.
Hanief Saka Ghafur berbicara tentang ketangguhan partai politik dari guncangan politik, yang menurutnya penting bagi institusi partai politik demi mewujudkan kehidupan demokrasi dan masyarakat yang madani (civilized). Artinya, parpol perlu membangun kesadaran tentang arti pentingnya ketahanan dan ketangguhan partai menghadapi masalah internal dan eksternal.
“Banyak partai sering kali abai tentang pentingnya ketahanan dan keberlanjutan. Terutama partai yang sedang berada di zona nyaman atau partai sedang menjadi ruling party. Banyaknya pengurus partai yang partainya lolos parliamentary threshold atau kadernya menjadi pejabat pemerintah lupa atau lalai memikirkan ketahanan dan ketangguhan organisasinya. Banyak partai yang lupa berinvestasi jangka panjang dan lalai meregenerasi kadernya,” urai Ghafur.
“Pilihannya ada dua, apakah partai akan sekedar menjadi partai massa atau akan menjadi partai kader. Partai hanya sekedar mampu menghimpun buih-buih massa, tanpa adanya kaderisasi dan keberlanjutan para kadernya dalam jangka panjang,” sambungnya.
Burhan juga menyinggung realitas politik Indonesia saat ini dimana identifikasi masyarakat dengan partai politik atau party id semakin menurun. Pada tahun 1999, party id mencapai 83%. Survei terbaru menunjukkan angkanya tersisa 6,8%, dimana dari itu yang paling besar adalah PDIP dan PKS. “Orang yang mau menjadi anggota parpol juga semakin menurun,” imbuh Burhan.
Dari sisi ideologi partai politik di Indonesia, Burhanuddin menjelaskan nyaris tidak ada perbedaan karakter ideologi partai politik. Dari sisi ideologi ekonomi, hasil riset menemukan semua parpol cenderung berideologi ekonomi tengah, yakni berusaha berposisi seimbang dalam isu kesetaraan dan isu pembangunan ekonomi.
Perbedaan ideologi hanya berbeda terkait isu agama dan Pancasila. Parpol seperti PDIP dan Nasdem cenderung menegaskan agama jangan masuk terlalu dalam ke isu politik, berbeda dengan PPP dan PKS yang menyatakan ideologi sebaliknya.
“Artinya kalau jualan isu ekonomi, semua parpol hampir sama. Irisan ideologi nyaris sama. Perbedaaanya diisi agama,” kata Burhan.
Dalam hal fungsi intermediasi partai, umumnya selain tingkat kedekatan pemilih dengan partai juga rendah, partai juga dinilai kurang bagus kinerjanya. “Berarti secara efektif rendah, secara intermediasi juga dipersoalkan perannya. Padahal partai penting dalam kehidupan demokrasi,” paparnya.
Riset juga menemukan bahwa trust masyarakat terhadap parpol paling rendah dibanding institusi-institusi lain. “Jadi PR para tokoh termasuk Mas Hasto banyak ini. Saya termasuk orang yang tidak pernah mau nyinyir dengan politisi dan aktivis partai. Kalau ada orang baik masuk partai politik, kita harus dorong. Jangan sampai partai diisi sama orang yang bermasalah, karena masalah partai sudah banyak. Trust rendah, fungsi intermediasi dipersepsi rendah, makin lama pemilih makin jauh dengan partai. Tapi kita tidak ada pilihan lagi berdemokrasi tanpa partai,” pungkas Burhan.
Hanief Saka Ghafur berbicara tentang ketangguhan partai politik dari guncangan politik, yang menurutnya penting bagi institusi partai politik demi mewujudkan kehidupan demokrasi dan masyarakat yang madani (civilized). Artinya, parpol perlu membangun kesadaran tentang arti pentingnya ketahanan dan ketangguhan partai menghadapi masalah internal dan eksternal.
“Banyak partai sering kali abai tentang pentingnya ketahanan dan keberlanjutan. Terutama partai yang sedang berada di zona nyaman atau partai sedang menjadi ruling party. Banyaknya pengurus partai yang partainya lolos parliamentary threshold atau kadernya menjadi pejabat pemerintah lupa atau lalai memikirkan ketahanan dan ketangguhan organisasinya. Banyak partai yang lupa berinvestasi jangka panjang dan lalai meregenerasi kadernya,” urai Ghafur.
“Pilihannya ada dua, apakah partai akan sekedar menjadi partai massa atau akan menjadi partai kader. Partai hanya sekedar mampu menghimpun buih-buih massa, tanpa adanya kaderisasi dan keberlanjutan para kadernya dalam jangka panjang,” sambungnya.