Bertampang Bule, Ajudan Jenderal Ini Nyamar Jadi Turis Mata-Matai Inggris dan Malaysia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kapten Czi (Anumerta) Pierre Andries Tendean merupakan perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965. Ia wafat dalam usia yang masih muda 26 tahun.
Meski gugur dalam usia yang masih sangat muda, sepak terjang Ajudan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution ini patut diacungi jempol. Pria berwajah tampan bak "bule" ini merupakan seorang mata-mata.
Selepas menamatkan pendidikannya di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad), Pierre langsung menjalani tugasnya untuk menjadi komandan peleton di Batalion Zeni Tempur 2 Kodam II/Sriwijaya, Bukit Barisan, Sumatera Utara. Bukan hal baru karena sebelumnya ketika Pemberontakan PRRI meletus, Pierre juga menjalani tugas praktik lapangan untuk menumpas pemberontakan di wilayah Sumatera.
Kecakapan sebagai seorang komandan peleton dalam memimpin pasukan teruji selama ia memangku jabatan tersebut. Meskipun jauh, Pierre selalu membiasakan diri untuk berkabar dengan menuliskan surat untuk kedua orang tua dan kakak adiknya di Semarang.
"Dalam suratnya, Pierre menulis tentang suka-dukanya sebagai Perwira Muda menghadapi atasan dan bawahan. Ada kalanya Pierre diminta atasan untuk menjadi penerjemah dalam pembicaraan atasan dengan tamu asing yang kadang-kadang diadakan di atas kapal asing yang berlabuh di Belawan. Pierre yang senantiasa humoris pernah berkata, 'Lumayan juga aku mendapat tugas sebagai interpreter di samping tugas saya sebagai Dan Ton Zipur. Mendengar banyak, melihat banyak, dan last but not least makanan enak yang disuguhkan di atas kapal.' Begitulah Pierre selalu menyempatkan diri menulis surat kepada kami," ujar Mitzi, kakak Pierre tendean dalam buku "Pierre Tendean, Jejak Sang Ajudan" dikutip, Rabu (25/1/2023).
Ketika itu seruan Ganyang Malaysia begitu menggelora dan membuat berang rakyat Indonesia atas tindakan demonstran Malaysia yang meluruk KBRI, merobek foto Presiden dan menginjak-injak lambang Garuda. Dalam pidatonya, Presiden Soekarno seolah memberi penegasan atas ketegangan politik yang terjadi antara Indonesia-Malaysia.
Penyebabnya tak lain karena Bung Karno menentang berdirinya Negara Malaysia yang dinilai hanya akan menjadi boneka Inggris dan neo kolonialisme atau singkat kata berdirinya Negeri Jiran tersebut hanya akan menjadi pangkalan militer asing di Asia Tenggara. Bahkan, setelah diumumkan Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963, para sukarelawan rakyat mulai mengeksekusi dengan masuk ke wilayah Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda serta melakukan penyerangan dan sabotase.
Kebetulan yang tak disangka-sangka, pada tahun yang sama dengan seruan ganyang Malaysia dilancarkan, sepucuk surat diterima Pierre. Ia baru setahun lulus dengan menyandang pangkat letnan dua dan belum lama memangku jabatan sebagai komandan peleton. Isinya tak lain adalah perintah untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Bogor, sebagai persiapan menjalani tugas dan tanggung jawab yang telah diperhitungkan.
Pierre sadar betul sebagai seorang prajurit akan kesiapannya menghadapi segala kemungkinan termasuk tugas-tugas dan panggilan negara. Terlebih penunjukan dirinya sebagai salah satu perwira muda yang ikut dalam pendidikan intelijen merupakan kesempatan langka yang tak sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Tak main-main, Letda Pierre kala itu menjadi salah satu siswa termuda, baik dari segi usia maupun pengalamannya. Sementara siswa lain yang juga diberi kesempatan mengenyam pendidikan intelijen dengannya merupakan para prajurit yang notabene sudah memiliki jam terbang tinggi.
Meski gugur dalam usia yang masih sangat muda, sepak terjang Ajudan Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal Abdul Haris (AH) Nasution ini patut diacungi jempol. Pria berwajah tampan bak "bule" ini merupakan seorang mata-mata.
Baca Juga
Selepas menamatkan pendidikannya di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad), Pierre langsung menjalani tugasnya untuk menjadi komandan peleton di Batalion Zeni Tempur 2 Kodam II/Sriwijaya, Bukit Barisan, Sumatera Utara. Bukan hal baru karena sebelumnya ketika Pemberontakan PRRI meletus, Pierre juga menjalani tugas praktik lapangan untuk menumpas pemberontakan di wilayah Sumatera.
Kecakapan sebagai seorang komandan peleton dalam memimpin pasukan teruji selama ia memangku jabatan tersebut. Meskipun jauh, Pierre selalu membiasakan diri untuk berkabar dengan menuliskan surat untuk kedua orang tua dan kakak adiknya di Semarang.
"Dalam suratnya, Pierre menulis tentang suka-dukanya sebagai Perwira Muda menghadapi atasan dan bawahan. Ada kalanya Pierre diminta atasan untuk menjadi penerjemah dalam pembicaraan atasan dengan tamu asing yang kadang-kadang diadakan di atas kapal asing yang berlabuh di Belawan. Pierre yang senantiasa humoris pernah berkata, 'Lumayan juga aku mendapat tugas sebagai interpreter di samping tugas saya sebagai Dan Ton Zipur. Mendengar banyak, melihat banyak, dan last but not least makanan enak yang disuguhkan di atas kapal.' Begitulah Pierre selalu menyempatkan diri menulis surat kepada kami," ujar Mitzi, kakak Pierre tendean dalam buku "Pierre Tendean, Jejak Sang Ajudan" dikutip, Rabu (25/1/2023).
Ketika itu seruan Ganyang Malaysia begitu menggelora dan membuat berang rakyat Indonesia atas tindakan demonstran Malaysia yang meluruk KBRI, merobek foto Presiden dan menginjak-injak lambang Garuda. Dalam pidatonya, Presiden Soekarno seolah memberi penegasan atas ketegangan politik yang terjadi antara Indonesia-Malaysia.
Penyebabnya tak lain karena Bung Karno menentang berdirinya Negara Malaysia yang dinilai hanya akan menjadi boneka Inggris dan neo kolonialisme atau singkat kata berdirinya Negeri Jiran tersebut hanya akan menjadi pangkalan militer asing di Asia Tenggara. Bahkan, setelah diumumkan Menteri Luar Negeri Indonesia Soebandrio pada 20 Januari 1963, para sukarelawan rakyat mulai mengeksekusi dengan masuk ke wilayah Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda serta melakukan penyerangan dan sabotase.
Kebetulan yang tak disangka-sangka, pada tahun yang sama dengan seruan ganyang Malaysia dilancarkan, sepucuk surat diterima Pierre. Ia baru setahun lulus dengan menyandang pangkat letnan dua dan belum lama memangku jabatan sebagai komandan peleton. Isinya tak lain adalah perintah untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) Bogor, sebagai persiapan menjalani tugas dan tanggung jawab yang telah diperhitungkan.
Pierre sadar betul sebagai seorang prajurit akan kesiapannya menghadapi segala kemungkinan termasuk tugas-tugas dan panggilan negara. Terlebih penunjukan dirinya sebagai salah satu perwira muda yang ikut dalam pendidikan intelijen merupakan kesempatan langka yang tak sembarangan orang bisa mendapatkannya.
Tak main-main, Letda Pierre kala itu menjadi salah satu siswa termuda, baik dari segi usia maupun pengalamannya. Sementara siswa lain yang juga diberi kesempatan mengenyam pendidikan intelijen dengannya merupakan para prajurit yang notabene sudah memiliki jam terbang tinggi.