Anggota DPD RI: Sistem Bikameral Amanat Reformasi, Harus Diperkuat Fungsinya

Sabtu, 21 Januari 2023 - 20:13 WIB
loading...
Anggota DPD RI: Sistem Bikameral Amanat Reformasi, Harus Diperkuat Fungsinya
Anggota DPD RI dari Papua Barat Filep Wamafma menekankan pentingnya penguatan sistem bikameral. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Anggota DPD RI dari Papua Barat Filep Wamafma menekankan pentingnya penguatan sistem bikameral sebagai upaya mencegah sentralisasi kekuasaan. Apalagi, bikameral merupakan bagian dari amanat Reformasi yang harus dijalankan.

“Perjuangan Reformasi ialah menghilangkan sentralisasi kekuasaan pada satu lembaga dan menegasikan lembaga yang lain. Selain itu juga menghindari power tends to corrupt. Untuk mencegah pemutlakan kekuasaan maka perlu ada mekanisme saling mengawasi, termasuk dalam legislatif. Ini juga supaya UU yang dihasilkan di kamar DPR tidak menjadi sewenang-wenang,” ungkap Filep, Sabtu (21/1/2023).

Filep menilai, wacana kembali kepada UUD 1945 yang asli tidak tepat. Sebab hal itu akan mengembalikan kepada sistem Orde Baru (Orba). “Semestinya yang diperjuangkan ialah penguatan fungsi bikameral bukan melemahkannya. Penguatannya melalui upaya afirmasi terhadap kewenangan DPD di bidang legislatif. Contoh saja, di Prancis, posisi Senat dan National Assembly di Prancis sebagai lembaga bikameral adalah sama kuat dan sejajar. Senat dan National Assembly sama-sama memiliki kewenangan mengajukan mosi tidak percaya kepada kebijakan pemerintah,” tegas Filep.



Senator Papua Barat ini menyebut, apabila tidak ada sistem bikameral maka tidak akan dikenal perwakilan dari daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. “Jika bikameral itu tidak ada, maka provinsi-provinsi DOB seperti Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, Papua Selatan, tidak akan diwakili hak-hak kedaerahannya. Bikameral bukan penyimpangan karena amendemen konstitusi pun bukan hal yang tabu dan diperbolehkan secara hukum,” ungkap Filep.



Mantan anggota Pansus Papua ini menyebut, apabila anggota MPR diisi oleh anggota DPR yang dipilih, utusan daerah yang diidealkan berasal dari raja-raja Nusantara dan utusan golongan diisi dari para profesional dari organisasi-organisasi maka dikhawatirkan akan melahirkan transaksi politik.

“Bayangkan saja jika utusan daerah berasal dari raja-raja Nusantara, dan utusan golongan dari kaum profesional, bukankah justru akan melahirkan politik transaksional yang besar di sana? Akan ada kepentingan-kepentingan tertentu di sana, dan hak-hak konstitusional masyarakat di luar para raja dan para profesional dikhawatirkan justru akan dikebiri dan sangat tidak demokratis,” ujarnya.

Filep menambahkan, DPD RI dilahirkan dari rahim Reformasi. Potret perubahan konstitusi yang melahirkan DPD sejatinya bertujuan agar memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah, serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang,” katanya.

Filep juga menekankan bahwa para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas di daerah yang berbasis ideologi atau parpol ataupun keturunan tertentu. Menurutnya, wakil daerah adalah figur-figur yang dapat mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

“Jangankan DPD RI, persoalan otonomi daerah, termasuk otsus, juga merupakan hasil amendemen dari Pasal 18 konstitusi. Dulu pasal ini lebih menekankan streek and locale rechtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi. Dengan amendemen Pasal 18, maka beberapa prinsp baru dapat diterapkan dan diakui, yaitu prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya dan bukan sekadar administratif, prinsip kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya,” jelas Filep.

Dengan prinsip itu pula, kata Filep, maka masyarakat adat Papua bisa meminta hak atas Dana Bagi Hasil (DBH) Sumber Daya Alam, Hak atas tanah adat, hak atas pemberdayaan masyarakat adat dan lainnya.

”Jadi, mari berpikir ke depan. Jangan sampai DPD yang sudah berdiri ini dan juga seluruh sistem lainnya dikembalikan ke masa lalu. Kecuali kalau memang ada kepentingan lain di balik itu, ya jelas harus dilawan,” ucapnya.
(cip)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1846 seconds (0.1#10.140)