Kasus Perlindungan Saksi Eliezer sebagai Justice Collaborator

Sabtu, 21 Januari 2023 - 09:25 WIB
loading...
Kasus Perlindungan Saksi Eliezer sebagai Justice Collaborator
Romli Atmasasmita. FOTO/DOK.KORAN SINDO
A A A
Romli Atmasasmita
Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

PENGUNJUNG sidang seketika riuh protes setelah mendengar tuntutan 12 tahun penjara untuk terdakwa kasus pembunuhan Brigadir J, Richard Eliezer alias Bharada E yang ditetapkan sebagai saksi pembuka kasus atau justice collaborator oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Tuntutan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Rabu (18/1/2023), itu dinilai tidak adil karena tiga terdakwa lain yakni Kuat Ma'ruf, Ricky Rizal Wibowo, dan Putri Candrawathi hanya dituntut 8 tahun penjara.

Selain karena perbedaan tuntutan yang berbeda jauh, 4 tahun, kegaduhan dan protes terhadap tuntutan JPU juga dipicu kekeliruan informasi mengenai apa, siapa, seberapa jauh seorang justice collaborator dapat dilindungi negara. Di dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dinyatakan bahwa seorang saksi pembuka kasus dibatasi hanya dibolehkan terhadap saksi, bukan pelaku utama dalam peristiwa pidana.

Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban di Amerika Serikat justice collaborator adalah saksi yang tidak memiliki peranan utama dalam peristiwa kejahatan. Begitu pula UU yang sama menyatakan jelas bahwa saksi pelapor bukan terdakwa pelaku utama dalam kejahatan.

Sesungguhnya kekeliruan penetapan Eliezer sebagai JC telah dimulai oleh LPSK yang tidak jeli dan tegas menyikapi permohonan perlindungan saksi oleh Elizer melalui kuasa hukummya. Sebab, permohonan tersebut tidak memenuhi dua hal yang menjadi syarat pemberian perlindungan.

Pertama, tindak pidana pembunuhan berencana tidak termasuk tindak pidana yang wajib diberikan perlindungan, kecuali untuk kasus terorisme, narkoba, dan korupsi dan tindak pidana terorganisasi lain seperti perdagangan manusia khusus perempuan dan anak.

Alasan kedua, dalam Peraturan MARI Nomor 04 Tahun 2011 yang merupakan pedoman untuk menentukan seseorang sebagai pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), yang bersangkutan mengakui kejahatan yang dilakukan, bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan.

Jika Eliezer memenuhi persyaratan sebagai justice collaborator, maka yang bersangkutan memperoleh hak dan fasilitas yang bertujuan memberikan perlindungan keamanan, baik secara fisik maupun secara psikis. Selain itu, seorang justice collaborator memperoleh keringanan hukuman, dan hakim diwajibkan dapat menjatuhkan pidana bersyarat khusus, dan/atau menjatuhkan pidana penjara berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara pembunuhan Brigadir J tersebut.

Berdasarkan uraian ini diharapkan semakin jelas kekeliruan yang telah terjadi dalam pemberian JC kepada Bharada Eliezer oleh LPSK. Seyogyanya status Eliezer yang memperoleh status JC disampaikan sejak awal sidang setelah kuasa hukum menyatakan telah menyampaikan surat LPSK kepada Hakim Ketua. Kemudian Hakim Ketua menyampaikan kepada JPU hal-hal yang perlu disampaikan dan dipertanyakan merujuk kepada UU PSK dan Peraturan MARI. Jika itu dilakukan, tentu tuntutan Jaksa terhadap Eliezer tidak akan menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu.

Hukum pidana bertujuan menemukan kepastian hukum dengan mengungkap kebenaran materiil di persidangan yang terbuka dan dibuka untuk umum. Di dalam menemukan kebenaran materiil hukum pidana, tidak lagi menggunakan perasaan terdakwa atau keluarga terdakwa atau pengunjung sidang, melainkan dengan metode deduktif-abstraksi logis (deductive-abtractio logis), menggunakan logika yuridis semata-mata atau rasio para pihak selama persidangan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1409 seconds (0.1#10.140)