Demokrat Tolak Sistem Pemilu Proporsional Tertutup: Masyarakat Susah Mengadu

Selasa, 17 Januari 2023 - 16:21 WIB
Kepala Badan Hukum dan Pengamanan Partai Demokrat DKI Jakarta, Yunus Adhi Prabowo. FOTO/IST
JAKARTA - Partai Demokrat meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi pasal yang mengatur sistem pemilu proporsional terbuka dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu. Uji materi ini diajukan untuk mengubah sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup .

"Sistem proporsional tertutup seperti membeli kucing dalam karung, karena yang menentukan adalah partai politik. Nanti masyarakat tidak tahu harus mengadu ke siapa, selama ini mereka mengadu ke anggota legislatifnya yang terpilih," kata Kepala Badan Hukum dan Pengamanan Partai Demokrat DKI Jakarta, Yunus Adhi Prabowo, Selasa (17/1/2023).

Yunus menjelaskan, dengan sistem pemilu proporsional tertutup, masyarakat tidak akan mengetahui kualitas anggota legislatif yang dipilih karena yang menentukan adalah partai politik. Situasi ini akan memunculkan dominasi elite partai politik di kursi parlemen.



"Partai akan mendahulukan elite untuk parlemen. Berbeda dengan sistem terbuka, kualitas orang menjadi sangat penting. Legislatif benar-benar pilihan rakyat, karena setelah melewati proses penyaringan/verifikasi dan orang-orang bekerja keras mencari suara agar lolos ke parlemen," katanya.

Menurutnya, kekurangan sistem pemilu proporsional tertutup adalah adanya pengkondisian mekanisme pencalonan wakil rakyat yang tertutup. Selain itu, akan menguatnya oligarki dan nepotisme di internal partai politik dan terbukanya potensi politik uang di internal partai dalam bentuk jual-beli nomor urut.

"Sekali lagi melihat kekurangan kekurangan tersebut, maka sebaiknya MK menolak uji materi UU Pemilu," katanya.

"Untuk mereka yang mengusulkan sistem proporsional tertutup, baca pasal 22E ayat (2): Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPRD, Presiden, Wakil Presiden, dan DPD. Sekali lagi, memilih anggota DPR, bukan memilih partai politik," katanya.

Pemilihan sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup seharusnya menjadi kewenangan penuh dari pembentuk UU yakni Presiden dan DPR atau disebut Open Legal Policy (OLP) pembentuk UU. Karena itu, MK tidak boleh mengambil alih kewenangan law maker karena penyelenggara pemilu harus fokus menyelamatkan hak-hak konstitusi rakyat.

Pada 2008, MK mengabulkan tuntutan pemohon tentang pengujian UU 10 Tahun 2008 tentang pemilihan anggota DPR, DPRD terhadap UU 1945 dan Putusan MK No 22-24/PUU-VII/2008. Keputusan ini membawa Indonesia dalam sistem proporsional terbuka yang sampai saat ini masih diterapkan.

"Sistem proporsional tertutup pernah berlaku di Indonesia di zaman Orde Baru. Masak sudah melewati reformasi, kita kembali ke era Orde Baru lagi. Pemilu sistem proporsional terbuka ini mendorong kandidat bersaing dalam memobilisasi dukungan massa untuk kemenangan. Terbangunnya kedekatan antara pemilih dengan yang dipilih," katanya.
(abd)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More