Pakar Hukum Soroti Mahalnya Biaya Sistem Proporsional Terbuka
Kamis, 05 Januari 2023 - 17:18 WIB
JAKARTA - Sistem proporsional terbuka dalam pemilihan legislatif (pileg) 2024 akan menimbulkan beberapa persoalan hingga memicu keresahan sosial di masyarakat. Salah satu keresahan tersebut lantaran tingginya surat suara tidak sah. Bahkan di 2019 lalu tercatat 17.503.953 suara tidak sah untuk Pileg DPR.
“Dengan fenomena ini, maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat dalam memilih pada Pemilu 2024 . Mereka khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya terbuang,” kata Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan kepada wartawan, Kamis (5/1/2023).
Tidak hanya itu, modal besar yang dikeluarkan masing-masing caleg juga akan meningkatkan ketegangan kompetisi. Bahkan berujung konflik dengan teman sendiri dalam satu partai. Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, adanya penganiayaan terhadap sesama calon satu partai.
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah maka akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi. Tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya,” ujarnya.
Keresahan sosial lainnya banyak lagi caleg yang gagal hingga mengalami depresi, gangguan jiwa bahkan bunuh diri. “Biaya politik menjadi makin besar menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan,” tandasnya.
Menurut Jimmy, secara faktual jika ditelusuri banyak anggota DPRD kabupaten/kota, anggota DPRD provinsi atau bahkan anggota DPR pusat telah menggadaikan SK jabatannya ke bank pascadilantik. “Coba saja dikonfirmasi para anggota DPR dan DPRD. Hal ini dilakukan demi membayar utang dari biaya yang telah dikeluarkan” tambahnya.
Sedangkan bagi pemilih, menurut Jimmy, mereka akan kembali kebingungan dalam pencoblosan karena adanya lima surat suara dalam waktu yang bersamaan. Surat suara presiden/wakil presiden, surat suara anggota DPR, surat suara anggota DPD, surat suara anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR/DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota berisikan nama-nama yang begitu banyak. Akibatnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih.
“Bisa saja akhirnya memilih karena melihat foto atau karena popular. Bisa juga pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah,” tuturnya.
“Dengan fenomena ini, maka akan memunculkan sikap apatisme masyarakat dalam memilih pada Pemilu 2024 . Mereka khawatir sudah menggunakan hak pilih, namun suaranya terbuang,” kata Pakar Hukum Tata Negara Universitas Udayana, Jimmy Z Usfunan kepada wartawan, Kamis (5/1/2023).
Tidak hanya itu, modal besar yang dikeluarkan masing-masing caleg juga akan meningkatkan ketegangan kompetisi. Bahkan berujung konflik dengan teman sendiri dalam satu partai. Seperti yang terjadi pada 2019 lalu, adanya penganiayaan terhadap sesama calon satu partai.
“Bayangkan saja, jika konflik itu melibatkan para pendukung, bukankah maka akan menimbulkan konflik sosial yang besar di masyarakat? Sementara saat ini, Indonesia memiliki 514 kabupaten/kota dan 38 provinsi. Tentunya ini bisa jadi masalah besar nantinya,” ujarnya.
Keresahan sosial lainnya banyak lagi caleg yang gagal hingga mengalami depresi, gangguan jiwa bahkan bunuh diri. “Biaya politik menjadi makin besar menjadikan para calon akhirnya rela berutang atau bahkan menggadaikan rumah dan barang-barang berharga lainnya demi kemenangan,” tandasnya.
Menurut Jimmy, secara faktual jika ditelusuri banyak anggota DPRD kabupaten/kota, anggota DPRD provinsi atau bahkan anggota DPR pusat telah menggadaikan SK jabatannya ke bank pascadilantik. “Coba saja dikonfirmasi para anggota DPR dan DPRD. Hal ini dilakukan demi membayar utang dari biaya yang telah dikeluarkan” tambahnya.
Sedangkan bagi pemilih, menurut Jimmy, mereka akan kembali kebingungan dalam pencoblosan karena adanya lima surat suara dalam waktu yang bersamaan. Surat suara presiden/wakil presiden, surat suara anggota DPR, surat suara anggota DPD, surat suara anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
Belum lagi masing-masing surat suara calon DPR/DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota berisikan nama-nama yang begitu banyak. Akibatnya pemilih tidak menggunakan rasionalitasnya dalam memilih.
“Bisa saja akhirnya memilih karena melihat foto atau karena popular. Bisa juga pemilih nantinya bertindak yang mengakibatkan surat suara itu tidak sah,” tuturnya.
(poe)
tulis komentar anda