5 Terdakwa Korupsi Ekspor Minyak Goreng Divonis Hari Ini
Rabu, 04 Januari 2023 - 10:44 WIB
JAKARTA - Lima terdakwa perkara dugaan korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng tahun 2021-2022, akan menjalani sidang putusan, Rabu (4/1/2023). Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) PN Jakarta Pusat.
Kelima terdakwa adalah mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor. Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA; General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; serta Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
"Agenda untuk putusan. Pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai. Ruangan Prof Dr H Muhammad Hatta Ali," demikian dikutip dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus, Rabu (4/1/2023).
Berdasarkan hasil ulasan, kasus tersebut bermula saat Indonesia sedang mengalami krisis minyak goreng di pasaran. Krisis minyak disebut-sebut dipicu oleh melonjaknya harga minyak sawit di pasar internasional.
Merespons kondisi itu, Menteri Perdagangan (Mendag) waktu itu Muhammad Lutfi mengajak Lin Che Wei untuk memecahkan masalah krisis minyak goreng. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta Domestic Price Obligation (DPO).
Melalui kebijakan itu, setiap perusahaan yang berniat memperoleh Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah dan sejumlah turunannya, wajib menyisihkan sebagian untuk kebutuhan pasar dalam negeri, atau DMO. Adapun, minyak yang disisihkan untuk kebutuhan dalam negeri harganya harus sesuai dengan aturan pemerintah atau DPO. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengakhiri krisis minyak goreng yang terbuat dari minyak sawit.
PT Wilmar Nabati Indonesia, Victorindo Alam Lestari, serta PT Musim adalah sebagian perusahaan yang mengajukan PE ke Kemendag melalui sistem daring. Dalam pengajuan PE, perusahaan-perusahaan tersebut juga menyertakan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan DMO dan DPO.
Kemudian, pengajuan oleh perusahaan-perusahaan tersebut disetujui oleh Indra Sari Wisnu Wardhana. Setelah ekspor dilakukan, ternyata krisis minyak goreng di dalam negeri tak kunjung berakhir. Minyak goreng masih langka di pasaran.
Belakangan, diketahui perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dokumen yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Alhasil, pemerintah terpaksa menggelontorkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang nilainya mencapai lebih dari Rp6 triliun.
Kejaksaan kemudian menetapkan lima orang tersangka dampak dari kelangkaan minyak goreng tersebut. Kelima terdakwa didakwa telah merugikan negara atas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng tahun 2021-2022.
Atas perbuatannya, kelima terdakwa dituntut antara 7 sampai 12 tahun penjara. Selain para terdakwa dituntut mengganti kerugian negara akibat korupsi PE, mereka juga diminta mengganti anggaran BLT pemerintah, yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp6 triliun. Master Parulian terdakwa yang dituntut mengganti kerugian negara paling besar, yakni Rp10.980.601.063.037.
Kelima terdakwa adalah mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag), Indra Sari Wisnu Wardhana dan Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor. Kemudian, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA; General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; serta Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei.
"Agenda untuk putusan. Pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai. Ruangan Prof Dr H Muhammad Hatta Ali," demikian dikutip dari laman resmi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus, Rabu (4/1/2023).
Berdasarkan hasil ulasan, kasus tersebut bermula saat Indonesia sedang mengalami krisis minyak goreng di pasaran. Krisis minyak disebut-sebut dipicu oleh melonjaknya harga minyak sawit di pasar internasional.
Merespons kondisi itu, Menteri Perdagangan (Mendag) waktu itu Muhammad Lutfi mengajak Lin Che Wei untuk memecahkan masalah krisis minyak goreng. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) serta Domestic Price Obligation (DPO).
Melalui kebijakan itu, setiap perusahaan yang berniat memperoleh Persetujuan Ekspor (PE) minyak sawit mentah dan sejumlah turunannya, wajib menyisihkan sebagian untuk kebutuhan pasar dalam negeri, atau DMO. Adapun, minyak yang disisihkan untuk kebutuhan dalam negeri harganya harus sesuai dengan aturan pemerintah atau DPO. Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengakhiri krisis minyak goreng yang terbuat dari minyak sawit.
PT Wilmar Nabati Indonesia, Victorindo Alam Lestari, serta PT Musim adalah sebagian perusahaan yang mengajukan PE ke Kemendag melalui sistem daring. Dalam pengajuan PE, perusahaan-perusahaan tersebut juga menyertakan sejumlah dokumen yang membuktikan bahwa mereka telah memenuhi persyaratan DMO dan DPO.
Kemudian, pengajuan oleh perusahaan-perusahaan tersebut disetujui oleh Indra Sari Wisnu Wardhana. Setelah ekspor dilakukan, ternyata krisis minyak goreng di dalam negeri tak kunjung berakhir. Minyak goreng masih langka di pasaran.
Belakangan, diketahui perusahaan-perusahaan tersebut memberikan dokumen yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Alhasil, pemerintah terpaksa menggelontorkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang nilainya mencapai lebih dari Rp6 triliun.
Kejaksaan kemudian menetapkan lima orang tersangka dampak dari kelangkaan minyak goreng tersebut. Kelima terdakwa didakwa telah merugikan negara atas ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng tahun 2021-2022.
Atas perbuatannya, kelima terdakwa dituntut antara 7 sampai 12 tahun penjara. Selain para terdakwa dituntut mengganti kerugian negara akibat korupsi PE, mereka juga diminta mengganti anggaran BLT pemerintah, yang jumlahnya mencapai lebih dari Rp6 triliun. Master Parulian terdakwa yang dituntut mengganti kerugian negara paling besar, yakni Rp10.980.601.063.037.
(abd)
tulis komentar anda