Mendefinisikan Muslim Moderat di Indonesia
Kamis, 22 Desember 2022 - 20:15 WIB
Ridwan
Dosen Pengajar Islam Wasathiyyah di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Ketua Lakpesdam PCINU Australia dan New Zealand.
DEWASA ini, seminar-seminar dan pelatihan moderasi beragama sedang giat-giatnya dilakukan di beberapa institusi/organisasi dan unit, termasuk universitas dan Litbang, di bawah Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Sejatinya, moderasi beragama adalah satu kegiatan yang telah digagas Kemenag pada 2019 dan konsep tersebut sedang menyebar luas di tanah air dan telah menjadi kosakata baru “politik agama”, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama masa pemerintahan Jokowi.
Moderasi beragama telah menjadi sebuah fenomena global dengan mana para akademisi dan aktivis kerukunan menyebutnya sebagai “kebangkitan agama”. Di dunia global, kajian moderasi beragama, khususnya muslim moderat banyak dikaji dalam hal tema dan tempat kajian, termasuk di Amerika Serikat, misalnya.
Sebagai konsep, moderasi beragama, terutama muslim moderat, bukanlah suatu konsep yang sudah selesai. Karenanya, kajian tentang moderasi beragama tampaknya perlu terus didiskusikan untuk membuatnya relevan dan membumi dengan konsteks sosial politik di tanah air. Moderasi beragama sebagai sebuah konsep diadang batu ujian kesangsian dengan pelbagai aksi kekerasan dan terorisme berinspirasikan agama yang masih berlaku, dan juga meningkatnya polarisasi politik beberapa tahun terakhir. Menjelang Pemilu 2024, polarisasi di tengah masyarakat dibentuk oleh politik identitas, yang membelah masyarakat dalam dua kamp, yang menjadikan agama sebagai senjata untuk mendefinisikan batasan antara kita dan mereka.
Sejauh ini, siapa muslim moderat tersebut menjadi konsep yang belum tuntas. Ada berbagai penafsiran dan konsepnya telah dan sedang dipahami secara berbeda oleh berbagai grup yang beragam. Acap muslim moderat dikontraskan dengan Islam radikal. Sesuatu yang tampaknya tidak salah, namun perlu dikaji lebih jauh. Banyak yang berpandangan bahwa kebanyakan survei dan studi tentang muslim radikal bersandar pada instrumen dari kerangka kerja Barat terkait dengan persetujuan dan pandangan terhadap demokrasi, jihad, pluralisme dan keadilan gender. Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan siapa muslim moderat tersebut sehingga kita memiliki gambaran dan perspektif yang lebih luas.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837) "Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses pembangunan identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam". Siapakah Muslim moderat? Dan apa yang merupakan pandangan moderat mereka terhadap agama? Memang, istilah "Muslim moderat" secara akademis menantang dan, pada kenyataannya, acap diperebutkan. Maknanya dapat bervariasi, tergantung pada siapa yang mendefinisikan ide-ide tersebut dan juga preferensi mereka. Singkatnya, tidak ada konsensus tentang istilah Muslim moderat. Namun, secara umum, umat Islam moderat dikaitkan dengan masyarakat muslim berdasarkan semangat moderasi Islam atau ummatan washatan sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an (Q.S. Al Baqarah, 2: 143) Sebaiknya, pengertian ummatan washatan mengacu pada masyarakat yang selalu menjunjung tinggi keseimbangan hidup dan aktivitasnya, tidak jatuh ke dalam ekstremisme, radikalisme, dan aksi kekerasan. Namun, pemikiran Islam klasik dulu berkaitan dengan beberapa terminologi Arab yang merujuk pada gagasan tawasuth (moderasi), Al Qist (keadilan), Al' I'tidal (harmoni), tasamuh (toleransi). Dalam hal ini, umat Islam sangat dianjurkan untuk menerapkan roh-roh itu dalam kehidupan perilaku mereka serta mempraktikkan mode religiusitas tanpa kekerasan.
Kamali (2015), dalam sebuah bukunya yang berjudul Jalan Tengah Moderasi dalam Islam, menjelaskan konsep moderasi dalam kerangka acuan Islam. Menurut Kamali (hlm. 24), Moderasi, atau Wasathiyyah (dalam bahasa Arab) terkait dengan keadilan, yang menyiratkan memilih jalan tengah di antara berbagai ekstremitas. Kebalikannya adalah tatarruf yang berarti "kecenderungan ke arah pinggiran" yang dikenal sebagai "ekstremisme", "radikalisme" dan "kelebihan". Oleh karena itu, Wasathiyyah didefinisikan sebagai "postur yang direkomendasikan yang terjadi pada orang-orang yang memiliki sifat dan kecerdasan yang sehat, dibedakan oleh keengganannya terhadap ekstremisme dan pengabaian nyata". Singkatnya, Wasathiyyah merupakan aspek penting dalam Islam yang diabaikan oleh sebagian umat Islam, padahal itu adalah esensi dari ajaran Islam.
Dalam mendefinisikan Islam "moderat", beberapa sarjana mempertahankan beberapa sifat dan karakter seperti menerima pemerintahan demokratis, mendukung kebebasan sipil, mengakomodasi hukum Syari'at dan sekuler, dan memiliki pandangan terbuka dan toleran terhadap perspektif alternatif. Secara umum, muslim moderat dimaknai tidak radikal, dapat bekerja sama dengan pemerintah dan kelompok sosial dan politik lainnya untuk melawan radikalisme. Muslim moderat menganut kecocokan Islam dan demokrasi dan kebebasan individu yang kita semua hargai di Barat. Dengan nada yang sama, Schmid (2017) berpendapat bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang toleran, tidak menggunakan kekerasan dan menerima nilai-nilai demokrasi. Selain itu, literatur ulasan tentang Muslim moderat juga menunjukkan bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang mempraktikkan atau percaya pada "non-kekerasan dan liberalisme, diikuti oleh kepercayaan pada metode demokratis dan pluralis ditambah dengan semangat toleransi" (Rashid, 2020, hlm. 837).
Dosen Pengajar Islam Wasathiyyah di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan Ketua Lakpesdam PCINU Australia dan New Zealand.
DEWASA ini, seminar-seminar dan pelatihan moderasi beragama sedang giat-giatnya dilakukan di beberapa institusi/organisasi dan unit, termasuk universitas dan Litbang, di bawah Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia. Sejatinya, moderasi beragama adalah satu kegiatan yang telah digagas Kemenag pada 2019 dan konsep tersebut sedang menyebar luas di tanah air dan telah menjadi kosakata baru “politik agama”, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia selama masa pemerintahan Jokowi.
Moderasi beragama telah menjadi sebuah fenomena global dengan mana para akademisi dan aktivis kerukunan menyebutnya sebagai “kebangkitan agama”. Di dunia global, kajian moderasi beragama, khususnya muslim moderat banyak dikaji dalam hal tema dan tempat kajian, termasuk di Amerika Serikat, misalnya.
Sebagai konsep, moderasi beragama, terutama muslim moderat, bukanlah suatu konsep yang sudah selesai. Karenanya, kajian tentang moderasi beragama tampaknya perlu terus didiskusikan untuk membuatnya relevan dan membumi dengan konsteks sosial politik di tanah air. Moderasi beragama sebagai sebuah konsep diadang batu ujian kesangsian dengan pelbagai aksi kekerasan dan terorisme berinspirasikan agama yang masih berlaku, dan juga meningkatnya polarisasi politik beberapa tahun terakhir. Menjelang Pemilu 2024, polarisasi di tengah masyarakat dibentuk oleh politik identitas, yang membelah masyarakat dalam dua kamp, yang menjadikan agama sebagai senjata untuk mendefinisikan batasan antara kita dan mereka.
Sejauh ini, siapa muslim moderat tersebut menjadi konsep yang belum tuntas. Ada berbagai penafsiran dan konsepnya telah dan sedang dipahami secara berbeda oleh berbagai grup yang beragam. Acap muslim moderat dikontraskan dengan Islam radikal. Sesuatu yang tampaknya tidak salah, namun perlu dikaji lebih jauh. Banyak yang berpandangan bahwa kebanyakan survei dan studi tentang muslim radikal bersandar pada instrumen dari kerangka kerja Barat terkait dengan persetujuan dan pandangan terhadap demokrasi, jihad, pluralisme dan keadilan gender. Tulisan ini akan mencoba mendiskusikan siapa muslim moderat tersebut sehingga kita memiliki gambaran dan perspektif yang lebih luas.
Menurut Rashid (2020, hlm. 837) "Islam Moderat atau Muslim Moderat adalah proses pembangunan identitas yang sedang berlangsung, khususnya, identitas Islam yang dapat menjadi cetak biru untuk reformasi moral, sosial, ekonomi, dan politik berdasarkan ajaran agama Islam". Siapakah Muslim moderat? Dan apa yang merupakan pandangan moderat mereka terhadap agama? Memang, istilah "Muslim moderat" secara akademis menantang dan, pada kenyataannya, acap diperebutkan. Maknanya dapat bervariasi, tergantung pada siapa yang mendefinisikan ide-ide tersebut dan juga preferensi mereka. Singkatnya, tidak ada konsensus tentang istilah Muslim moderat. Namun, secara umum, umat Islam moderat dikaitkan dengan masyarakat muslim berdasarkan semangat moderasi Islam atau ummatan washatan sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an (Q.S. Al Baqarah, 2: 143) Sebaiknya, pengertian ummatan washatan mengacu pada masyarakat yang selalu menjunjung tinggi keseimbangan hidup dan aktivitasnya, tidak jatuh ke dalam ekstremisme, radikalisme, dan aksi kekerasan. Namun, pemikiran Islam klasik dulu berkaitan dengan beberapa terminologi Arab yang merujuk pada gagasan tawasuth (moderasi), Al Qist (keadilan), Al' I'tidal (harmoni), tasamuh (toleransi). Dalam hal ini, umat Islam sangat dianjurkan untuk menerapkan roh-roh itu dalam kehidupan perilaku mereka serta mempraktikkan mode religiusitas tanpa kekerasan.
Kamali (2015), dalam sebuah bukunya yang berjudul Jalan Tengah Moderasi dalam Islam, menjelaskan konsep moderasi dalam kerangka acuan Islam. Menurut Kamali (hlm. 24), Moderasi, atau Wasathiyyah (dalam bahasa Arab) terkait dengan keadilan, yang menyiratkan memilih jalan tengah di antara berbagai ekstremitas. Kebalikannya adalah tatarruf yang berarti "kecenderungan ke arah pinggiran" yang dikenal sebagai "ekstremisme", "radikalisme" dan "kelebihan". Oleh karena itu, Wasathiyyah didefinisikan sebagai "postur yang direkomendasikan yang terjadi pada orang-orang yang memiliki sifat dan kecerdasan yang sehat, dibedakan oleh keengganannya terhadap ekstremisme dan pengabaian nyata". Singkatnya, Wasathiyyah merupakan aspek penting dalam Islam yang diabaikan oleh sebagian umat Islam, padahal itu adalah esensi dari ajaran Islam.
Dalam mendefinisikan Islam "moderat", beberapa sarjana mempertahankan beberapa sifat dan karakter seperti menerima pemerintahan demokratis, mendukung kebebasan sipil, mengakomodasi hukum Syari'at dan sekuler, dan memiliki pandangan terbuka dan toleran terhadap perspektif alternatif. Secara umum, muslim moderat dimaknai tidak radikal, dapat bekerja sama dengan pemerintah dan kelompok sosial dan politik lainnya untuk melawan radikalisme. Muslim moderat menganut kecocokan Islam dan demokrasi dan kebebasan individu yang kita semua hargai di Barat. Dengan nada yang sama, Schmid (2017) berpendapat bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang toleran, tidak menggunakan kekerasan dan menerima nilai-nilai demokrasi. Selain itu, literatur ulasan tentang Muslim moderat juga menunjukkan bahwa Muslim moderat adalah Muslim yang mempraktikkan atau percaya pada "non-kekerasan dan liberalisme, diikuti oleh kepercayaan pada metode demokratis dan pluralis ditambah dengan semangat toleransi" (Rashid, 2020, hlm. 837).
Lihat Juga :
tulis komentar anda