Perempuan dalam Pusaran RUU Kekerasan Seksual
Kamis, 09 Juli 2020 - 07:27 WIB
R. Valentina Sagala
Senior Independent Advisor on Legal, Policy, Human Rights, Pendiri Institut Perempuan, dan Penulis Buku “Ketika Negara Mengatur Kekerasan Seksual”
DIKELUARKANNYA Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 mengundang kekecewaan publik, khususnya kelompok aktivis perempuan yang gigih mendorong lahirnya sebuah undang-undang yang bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual.
Perempuan dan Kekerasan Seksual
Mengapa perempuan sangat berkepentingan terhadap RUU PKS? Pertama, meski tidak melulu menimpa perempuan, fakta menunjukkan perempuanlah kelompok terbanyak yang menjadi korban. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan selama 2001– 2012 sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Tahun 2019 tercatat kekerasan seksual mencapai 4.898 kasus.
Kedua, dalam masyarakat patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai superordinat dan subjek, sedangkan perempuan subordinat dan objek, tubuh perempuan adalah sasaran kekerasan seksual. Hal ini karena kekerasan seksual merupakan wujud ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban. Belum lagi pengalaman perempuan rentan, seperti perempuan penyandang disabilitas ataupun anak perempuan.
Ketiga, kekerasan seksual merupakan kejahatan kompleks dan spesifik. Selain relasi kuasa gender pelaku dan korban, kekerasan seksual menyentuh ranah seksualitas yang penuh dengan nilai dan tafsir masyarakat. Ini mengapa misalnya, budaya victims’ blaming atau menyalahkan korban masih tumbuh, dan tentu membuat korban kesulitan melaporkan pengalamannya guna memperoleh keadilan hukum. Ini pula mengapa banyak pihak meyakini tidak pernah ada data sebenarnya tentang kekerasan seksual karena yang muncul hanya ibarat puncak gunung es saja.
Dengan berbagai masalah ini, bisa dipahami bahwa para penentang RUU PKS sesungguhnya adalah mereka yang berpandangan patriarki, tersebar dari tidak memahami makna kesetaraan gender hingga tahu dan menolaknya. Siapakah mereka, saya tak bisa menjawabnya dengan pasti.
Senior Independent Advisor on Legal, Policy, Human Rights, Pendiri Institut Perempuan, dan Penulis Buku “Ketika Negara Mengatur Kekerasan Seksual”
DIKELUARKANNYA Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 mengundang kekecewaan publik, khususnya kelompok aktivis perempuan yang gigih mendorong lahirnya sebuah undang-undang yang bisa melindungi perempuan dari kekerasan seksual.
Perempuan dan Kekerasan Seksual
Mengapa perempuan sangat berkepentingan terhadap RUU PKS? Pertama, meski tidak melulu menimpa perempuan, fakta menunjukkan perempuanlah kelompok terbanyak yang menjadi korban. Catatan Komnas Perempuan menunjukkan selama 2001– 2012 sedikitnya 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual setiap harinya. Tahun 2019 tercatat kekerasan seksual mencapai 4.898 kasus.
Kedua, dalam masyarakat patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai superordinat dan subjek, sedangkan perempuan subordinat dan objek, tubuh perempuan adalah sasaran kekerasan seksual. Hal ini karena kekerasan seksual merupakan wujud ketimpangan kuasa antara pelaku dan korban. Belum lagi pengalaman perempuan rentan, seperti perempuan penyandang disabilitas ataupun anak perempuan.
Ketiga, kekerasan seksual merupakan kejahatan kompleks dan spesifik. Selain relasi kuasa gender pelaku dan korban, kekerasan seksual menyentuh ranah seksualitas yang penuh dengan nilai dan tafsir masyarakat. Ini mengapa misalnya, budaya victims’ blaming atau menyalahkan korban masih tumbuh, dan tentu membuat korban kesulitan melaporkan pengalamannya guna memperoleh keadilan hukum. Ini pula mengapa banyak pihak meyakini tidak pernah ada data sebenarnya tentang kekerasan seksual karena yang muncul hanya ibarat puncak gunung es saja.
Dengan berbagai masalah ini, bisa dipahami bahwa para penentang RUU PKS sesungguhnya adalah mereka yang berpandangan patriarki, tersebar dari tidak memahami makna kesetaraan gender hingga tahu dan menolaknya. Siapakah mereka, saya tak bisa menjawabnya dengan pasti.
tulis komentar anda