Menteri LHK Sebut Presiden Setuju Segera Diatur tentang NEK
Selasa, 07 Juli 2020 - 19:01 WIB
JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya menyatakan, dirinya telah melaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kepentingan pemerintah mengatur tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK)/Carbon Pricing dengan sebuah kebijakan resmi.
Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK ini akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia. Dalam kaitan ini Presiden Joko Widodo setuju segera diatur nilai ekonomi karbon.
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada 2030, yang kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement tahun 2015 menjadi 29% pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan kerja sama internasional, termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation).
Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia. Kebijakan pengaturan Instrumen NEK akan menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia serta untuk mendukung pembangunan rendah karbon.
"Dalam Ratas tadi saya laporkan kepada Bapak Presiden terkait perkembangan kerja sama Indonesia - Norwegia dalam menurunkan emisi karbon, serta pentingnya Indonesia memiliki aturan pemerintah yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon," ujar Menteri LHK, Siti Nurbaya, di Jakarta, Selasa (7/7/2020).
Siti menjelaskan, jika potensi karbon Indonesia sangatlah besar. Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal Indonesia menetapkan NEK, maka akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan Siti berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (Mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi).
"Jika Perpres ini telah disetujui maka KLHK akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang," kata Siti.
Menteri Siti mengungkapkan, jika saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha. Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas, yaitu di Sumatera dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha.
Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK ini akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia. Dalam kaitan ini Presiden Joko Widodo setuju segera diatur nilai ekonomi karbon.
Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% pada 2030, yang kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris/Paris Agreement tahun 2015 menjadi 29% pada tahun 2030 dan 41% dengan dukungan kerja sama internasional, termasuk dengan skema REDD+ (Reduction Emission Deforestation and Degradation).
Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia. Kebijakan pengaturan Instrumen NEK akan menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia serta untuk mendukung pembangunan rendah karbon.
"Dalam Ratas tadi saya laporkan kepada Bapak Presiden terkait perkembangan kerja sama Indonesia - Norwegia dalam menurunkan emisi karbon, serta pentingnya Indonesia memiliki aturan pemerintah yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon," ujar Menteri LHK, Siti Nurbaya, di Jakarta, Selasa (7/7/2020).
Siti menjelaskan, jika potensi karbon Indonesia sangatlah besar. Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal Indonesia menetapkan NEK, maka akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan Siti berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), Result Based Payment (RBP) dan Pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (Mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan Instrumen Pengendalian dan Pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi).
"Jika Perpres ini telah disetujui maka KLHK akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang," kata Siti.
Menteri Siti mengungkapkan, jika saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta ha, dengan luas tutupan dominan di Sumatera sebesar 13,5 juta ha, Kalimantan sebesar 26,7 juta ha, dan Papua sebesar 34 juta ha. Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas, yaitu di Sumatera dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta ha dan 5,36 juta ha, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,40 juta ha dan 4,68 juta ha.
Lihat Juga :
tulis komentar anda