Intervensi Remaja Menuju 'Zero New Stunting'

Jum'at, 04 November 2022 - 10:15 WIB
Berbagai alasan yang muncul di kalangan remaja putri untuk tidak minum TTD adalah karena rasa mual sehabis minum tablet, bau besi saat bersendawa, kurangnya edukasi sehingga TTD dianggap hanya cocok untuk wanita hamil, kurang optimalnya dukungan dari pihak sekolah, dll.

Sepertinya hanya sektor kesehatan yang selama ini sibuk dengan program ini. Sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pengadaan TTD dan distribusinya hingga puskesmas dan sekolah, dinas kesehatan telah berperan secara signifikan dalam program TTD Rematri ini. Padahal, sektor pendidikan dan agama yang memiliki siswi-siswi di tingkat SMP, SMA, dan madrasah harus juga mendorong terjaganya kepatuhan para siswi untuk minum TTD secara rutin.

Dalam praktiknya, ketika pihak sekolah tidak mendeklarasikan hari tertentu sebagai hari minum TTD di sekolah dan membiarkan tablet diminum di rumah, kegagalan program ini sudah tampak di depan mata. Banyak siswi yang kemudian membuang tablet, tidak meminumnya sesuai anjuran, dan uang negara untuk program TTD Rematri hilang percuma.

Kegiatan pemantauan kepatuhan minum TTD bersumber pada pihak sekolah. Bila pemantauan tidak dilakukan serius dan pelaporan hanya memenuhi kewajiban administratif, sesungguhnya program TTD Rematri menjadi tidak bisa diandalkan sebagai program hulu untuk atasi stunting. Akibatnya, zero new stunting akan sulit diraih apabila remaja-remajanya sudah mempunyai problem gizi sejak awal. Zero new stunting berarti ibu-ibu melahirkan anak tidak stunting dengan panjang badan lahir >48 cm.

Kewajiban ibu hamil untuk minum TTD selama tiga bulan dalam rentang kehamilannya adalah untuk menjaga agar ibu tidak menderita anemia dan kualitas bayi yang akan dilahirkan menjadi lebih baik. Ironisnya, angka anemia ibu hamil justru meningkat dari 37,1% (2013) menjadi 48,9% (2018).

Risiko yang mungkin muncul dari ibu hamil anemia adalah lahirnya bayi dengan berat badan lahir rendah (<2,5 kg) atau panjang badan lahir kurang (<48 cm). Ini, sekali lagi, menunjukkan bahwa persoalan di hulu sangatlah besar dan harus dibenahi terlebih dulu sebelum kita berharap pada penurunan angka stunting menjadi 14% pada 2024.

Periode balita yang sering disebut golden age menjadi titik rawan bagi seorang anak untuk mengalami gangguan gizi. Problem kemiskinan yang mendera 27 juta penduduk Indonesia akan menekan akses pangan keluarga. Anak balita termasuk kelompok rawan (vulnerable group) yang tumbuh kembangnya sangat dipengaruhi lingkungan sekitar, terutama ketersediaan pangan di tingkat keluarga. Kemiskinan, buruknya sanitasi lingkungan, dan pola asuh yang tidak optimal akan melahirkan generasi stunting.

Dengan pendekatan food-based approach Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah mengembangkan wadah Dashat (Dapur Sehat Atasi Stunting) berupa pemberdayaan masyarakat untuk bergotong-royong membantu anak-anak stunting atau berisiko stunting untuk mendapatkan makanan sesuai anjuran gizi.

Untuk mengisi Dashat, PT Nestle Indonesia dan LSM SPEAK (Strategi Pengkajian Edukasi Aletrantif Komunikasi) saat ini sedang melaksanakan program pemberian makanan pada balita stunting di Kabupaten Karawang. Dengan suplementasi makanan 3 kali/minggu selama 3 bulan diharapkan perbaikan gizi anak stunting dapat terwujud.

Generasi stunting akan mengalami keterbatasan wawasan karena secara intelektual mereka akan kalah dibandingkan anak-anak yang pertumbuhannya normal. Dengan kemampuan kognitif yang rendah, ini akan mengancam daya saing generasi yang akan datang.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More