Mendidik Generasi Milenial dengan Pendekatan Baru

Jum'at, 28 Oktober 2022 - 16:27 WIB
Guru Besar Psikologi Pendidikan dan Dekan Fakultas Psikologi, Abdul Muhid. FOTO/IST
Abdul Muhid

Guru Besar Psikologi Pendidikan dan Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya

MESKIPUNtelah hampir seabad yang lalu dicetuskan, teori operant conditioning masih mendapat tempat utama sebagai pendekatan yang dominan dalam pembelajaran. Bahkan di negeri ini sepertinya belum ada tanda-tanda bahwa para guru atau dosen meninggalkan teori yang diperkenalkan oleh BF Skinner tersebut.

Reward dan punishment masih menjadi kebiasaan yang banyak diadopsi oleh para pendidik untuk meningkatkan prestasi peserta didik terutama prestasi akademik. Punishment diberikan untuk peserta didik yang tidak mengumpulkan tugas tepat waktu, datang terlambat ke kelas, maupun tindakan indisipliner lainnya. Sebaliknya reward diberikan untuk mereka yang memiliki performa di kelas sesuai atau melebihi ekspektasi. Tujuannya sama, agar mereka lebih giat dan serius dalam belajar, dengan kata lain motivasi belajar meningkat, dan harapannya prestasi akademik semakin melejit.

Pertanyaannya kemudian, masihkah pendekatan reward dan punishment ini relevan untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik generasi milenial sekarang ini? Generasi milenial dikenal dengan generasi yang independen dan susah diatur atau disetir. Guru atau dosen yang terbiasa menerapkan pendekatan didaktif dan direktif dalam pembelajaran kemungkinan akan frustasi menghadapi gaya belajar peserta didik generasi milenial.



Generasi milenial dikenal juga dengan generasi yang pilih-pilih, generasi yang bebas dan berani mengambil risiko. Punishment kadang tidak efektif untuk membuat mereka datang ke kelas tepat waktu. Begitu pula, reward juga tidak membuat mereka lebih semangat dalam belajar dan berprestasi. Mereka ingin benar-benar serius belajar terhadap sesuatu yang disukai dan menjadi minat atau passion mereka saja.

Sebenarnya, sekitar dua dekade sebelum era millennium, Edward L Deci dan Richard M Ryan dua orang peneliti dari Universitas Rochester Amerika Serikat telah mewanti-wanti para pendidik untuk tidak tergantung pada paradigma reward dan punishment dalam memotivasi peserta didik.

Menurut pandangan dua peneliti tersebut, reward dan punishment memang dapat memotivasi seseorang untuk bertindak seperti yang diinginkan, tetapi efeknya hanya jangka pendek dan motivasi seseorang untuk melakukannya relatif lemah seiring perjalanan waktu. Memberikan punishment ketika peserta didik tidak mampu menyelesaikan tugas tepat waktu memang akan membuat mereka takut dan berusaha memenuhi deadline. Tetapi secara tidak langsung 'menghindari hukuman' akan menjadi motif atau dorongan utama peserta didik untuk belajar dan hal ini akan mendistorsi tujuan utama belajar. Mereka juga akan menjadi tergantung pada punishment, jika tidak ada punishment maka mereka tidak perlu belajar. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap perilaku dan kehidupan mereka di masa depan, karena reward dan punishment menjadi penggerak utama dalam bertindak.

Deci dan Ryan mengajak para pendidik untuk memahami motivasi dari dalam individu atau motivasi intrinsik. Mereka memperkenalkan teori motivasi yang revolusioner sekitar tahun 1970an yang mereka namakan self-determination theory (SDT). Menurut teori ini individu pada hakikatnya memiliki dorongan untuk tumbuh, serta secara alami individu memiliki rasa ingin tahu, mengembangkan pengetahuan, dan bertindak.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More