Subsidi BBM dan Moralitas Kita
Sabtu, 08 Oktober 2022 - 09:14 WIB
Bawono Kumoro
Peneliti Indikator Politik Indonesia
KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi meletupkan polemik di ruang publik. Berbagai elemen kelompok melakukan aksi unjuk rasa demonstrasi menentang hal tersebut. Narasi-narasi mengenai ketidakberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah bawah pun digaungkan secara terus-menerus di ruang publik.
Sebagaimana diketahui, harga solar mengalami kenaikan dari semula Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Harga pertalite naik dari semula Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Adapun pertamax naik dari semula Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
Baca Juga: koran-sindo.com
Keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi memang bukan kebijakan populis, tetapi langkah tidak mudah tersebut harus ditempuh demi meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Beberapa hari sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah telah memberikan tanda-tanda akan menaikkan harga BBM bersubsidi melalui pengurangan jumlah alokasi anggaran subsidi energi dalam APBN 2023. Pemerintah memangkas nilai subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp336,7 triliun.
Nilai itu jauh lebih rendah apabila dibandingkan nilai subsidi dan kompensasi dalam APBN 2022 senilai Rp502,4 triliun. Pemerintah memutuskan langkah kebijakan pengurangan subsidi energi atas dasar pertimbangan apabila tidak dilakukan, besar kemungkinan alokasi anggaran subsidi akan jebol.
Sebelum mengalami kenaikan harga, pertalite Rp7.650 jauh dari harga keekonomian Rp13.150. Sedangkan harga solar sebelum mengalami kenaikan Rp5.150, sangat jauh di bawah harga keekonomian Rp18.000. Selama ini selisih harga tersebut ditanggung oleh negara dijaga agar tetap rendah melalui mekanisme subsidi. Namun, seberapa jauh APBN mampu terus bertahan dengan kebijakan subsidi sangat membebani anggaran negara tersebut?
Peneliti Indikator Politik Indonesia
KEPUTUSAN pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi meletupkan polemik di ruang publik. Berbagai elemen kelompok melakukan aksi unjuk rasa demonstrasi menentang hal tersebut. Narasi-narasi mengenai ketidakberpihakan pemerintah terhadap kelompok menengah bawah pun digaungkan secara terus-menerus di ruang publik.
Sebagaimana diketahui, harga solar mengalami kenaikan dari semula Rp5.150 per liter menjadi Rp6.800 per liter. Harga pertalite naik dari semula Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter. Adapun pertamax naik dari semula Rp12.500 per liter menjadi Rp14.500 per liter.
Baca Juga: koran-sindo.com
Keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi memang bukan kebijakan populis, tetapi langkah tidak mudah tersebut harus ditempuh demi meringankan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Beberapa hari sebelum mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi, pemerintah telah memberikan tanda-tanda akan menaikkan harga BBM bersubsidi melalui pengurangan jumlah alokasi anggaran subsidi energi dalam APBN 2023. Pemerintah memangkas nilai subsidi dan kompensasi energi menjadi Rp336,7 triliun.
Nilai itu jauh lebih rendah apabila dibandingkan nilai subsidi dan kompensasi dalam APBN 2022 senilai Rp502,4 triliun. Pemerintah memutuskan langkah kebijakan pengurangan subsidi energi atas dasar pertimbangan apabila tidak dilakukan, besar kemungkinan alokasi anggaran subsidi akan jebol.
Sebelum mengalami kenaikan harga, pertalite Rp7.650 jauh dari harga keekonomian Rp13.150. Sedangkan harga solar sebelum mengalami kenaikan Rp5.150, sangat jauh di bawah harga keekonomian Rp18.000. Selama ini selisih harga tersebut ditanggung oleh negara dijaga agar tetap rendah melalui mekanisme subsidi. Namun, seberapa jauh APBN mampu terus bertahan dengan kebijakan subsidi sangat membebani anggaran negara tersebut?
Lihat Juga :
tulis komentar anda