Kisah Sukses Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma yang Mengerek Pamor Prabowo Subianto
Selasa, 04 Oktober 2022 - 16:32 WIB
JAKARTA - Keberhasilan operasi pembebasan sandera Mapenduma, Papua menambah panjang daftar prestasi Prabowo Subianto di dunia militer. Reputasi Jenderal Kopassus yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) pun semakin dikenal luas di kancah internasional.
Operasi Mapenduma merupakan operasi militer untuk membebaskan 26 peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95. Mereka disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Jayawijaya, Papua. Operasi pembebasan sandera ini memakan waktu selama 129 hari.
Penyanderaan berawal ketika sekelompok peneliti sedang melakukan ekspedisi selama tiga bulan mulai November 1995 hingga Januari 1996 di Taman Nasional Lorentz, sebuah kawasan alam liar seluas hampir 2,4 juta hektare di pegunungan tengah Papua. Dari 26 sandera, tujuh orang di antaranya Warga Negara Asing (WNA). Empat orang Inggris, dua Belanda dan seorang warga negara Jerman.
Operasi pembebasan pun dimulai pada 8 Januari 1996 sejak dilaporkannya peristiwa penyanderaan tersebut. Sebagai pimpinan tertinggi operasi tersebut, Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus bertanggung jawab terhadap keselamatan para sandera.
Untuk membebaskan para sandera tersebut, Prabowo menerjunkan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pasukan elite TNI AD ini bersama dengan sejumlah pihak di antaranya Komite Palang Merah Internasional (ICRC) melakukan upaya mediasi.
Upaya mediasi mulai menemukan titik terang, pada 13 Januari 1996, sembilan sandera dibebaskan di Desa Jigi, Kecamatan Tiom. Mereka terdiri dari empat karyawan puskesmas, tiga aparat desa dan dua guru sekolah dasar di Mapenduma. Namun pada 25 Januari, Daniel Koyoga, komandan operasi yang berada di bawah komando langsung Kelly Kwalik memutuskan hubungan.
Selanjutnya, pada 7 Februari 1996, ICRC mengirimkan tim untuk membantu upaya pembebasan sandera. Dalam pertemuan antara kedua belah pihak, ICRC meminta pembebasan sandera dengan damai dilakukan pada 25 Februari 1996. Namun, permintaan itu ditolak oleh Kogoya. Alasannya, pembebasan tak dapat dilakukan tanpa izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini.
Operasi Mapenduma merupakan operasi militer untuk membebaskan 26 peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95. Mereka disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Jayawijaya, Papua. Operasi pembebasan sandera ini memakan waktu selama 129 hari.
Penyanderaan berawal ketika sekelompok peneliti sedang melakukan ekspedisi selama tiga bulan mulai November 1995 hingga Januari 1996 di Taman Nasional Lorentz, sebuah kawasan alam liar seluas hampir 2,4 juta hektare di pegunungan tengah Papua. Dari 26 sandera, tujuh orang di antaranya Warga Negara Asing (WNA). Empat orang Inggris, dua Belanda dan seorang warga negara Jerman.
Baca Juga
Operasi pembebasan pun dimulai pada 8 Januari 1996 sejak dilaporkannya peristiwa penyanderaan tersebut. Sebagai pimpinan tertinggi operasi tersebut, Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus bertanggung jawab terhadap keselamatan para sandera.
Untuk membebaskan para sandera tersebut, Prabowo menerjunkan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pasukan elite TNI AD ini bersama dengan sejumlah pihak di antaranya Komite Palang Merah Internasional (ICRC) melakukan upaya mediasi.
Upaya mediasi mulai menemukan titik terang, pada 13 Januari 1996, sembilan sandera dibebaskan di Desa Jigi, Kecamatan Tiom. Mereka terdiri dari empat karyawan puskesmas, tiga aparat desa dan dua guru sekolah dasar di Mapenduma. Namun pada 25 Januari, Daniel Koyoga, komandan operasi yang berada di bawah komando langsung Kelly Kwalik memutuskan hubungan.
Selanjutnya, pada 7 Februari 1996, ICRC mengirimkan tim untuk membantu upaya pembebasan sandera. Dalam pertemuan antara kedua belah pihak, ICRC meminta pembebasan sandera dengan damai dilakukan pada 25 Februari 1996. Namun, permintaan itu ditolak oleh Kogoya. Alasannya, pembebasan tak dapat dilakukan tanpa izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini.
tulis komentar anda