Kisah Sukses Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma yang Mengerek Pamor Prabowo Subianto
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keberhasilan operasi pembebasan sandera Mapenduma, Papua menambah panjang daftar prestasi Prabowo Subianto di dunia militer. Reputasi Jenderal Kopassus yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) pun semakin dikenal luas di kancah internasional.
Operasi Mapenduma merupakan operasi militer untuk membebaskan 26 peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95. Mereka disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Jayawijaya, Papua. Operasi pembebasan sandera ini memakan waktu selama 129 hari.
Penyanderaan berawal ketika sekelompok peneliti sedang melakukan ekspedisi selama tiga bulan mulai November 1995 hingga Januari 1996 di Taman Nasional Lorentz, sebuah kawasan alam liar seluas hampir 2,4 juta hektare di pegunungan tengah Papua. Dari 26 sandera, tujuh orang di antaranya Warga Negara Asing (WNA). Empat orang Inggris, dua Belanda dan seorang warga negara Jerman.
Operasi pembebasan pun dimulai pada 8 Januari 1996 sejak dilaporkannya peristiwa penyanderaan tersebut. Sebagai pimpinan tertinggi operasi tersebut, Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus bertanggung jawab terhadap keselamatan para sandera.
Untuk membebaskan para sandera tersebut, Prabowo menerjunkan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pasukan elite TNI AD ini bersama dengan sejumlah pihak di antaranya Komite Palang Merah Internasional (ICRC) melakukan upaya mediasi.
Upaya mediasi mulai menemukan titik terang, pada 13 Januari 1996, sembilan sandera dibebaskan di Desa Jigi, Kecamatan Tiom. Mereka terdiri dari empat karyawan puskesmas, tiga aparat desa dan dua guru sekolah dasar di Mapenduma. Namun pada 25 Januari, Daniel Koyoga, komandan operasi yang berada di bawah komando langsung Kelly Kwalik memutuskan hubungan.
Selanjutnya, pada 7 Februari 1996, ICRC mengirimkan tim untuk membantu upaya pembebasan sandera. Dalam pertemuan antara kedua belah pihak, ICRC meminta pembebasan sandera dengan damai dilakukan pada 25 Februari 1996. Namun, permintaan itu ditolak oleh Kogoya. Alasannya, pembebasan tak dapat dilakukan tanpa izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini.
Pada 26 Februari 1996, sebuah informasi menyebut bahwa para sandera ditempatkan di dalam sebuah gua dijuluki "gua kelelawar". Menurut informasi, gua kelelawar berada di ketinggian tujuh meter dan hanya bisa dijangkau lewat titian anak tangga.
Pada 29 Februari 1996, para ICRC berhasil menemui para sandera di sebuah gubuk di Desa Geselama. Pada pertemuan ini, Kogoya mengirimkan pesan kepada Tim Satgas bahwa pihaknya baru akan mempertimbangkan kemungkinan pembebasan sandera setelah berkomunikasi dengan pimpinan OPM di Papua Nugini. Selang beberapa hari kemudian, Kogoya dan Kwalik mengeluarkan pernyataan lebih keras. Mereka menyatakan tak akan membebaskan para sandera, kecuali pemerintah mengakui kemerdekaan Republik Papua Barat.
Prabowo dalam bukunya berjudul, “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto” menceritakan kesuksesan operasi pembebasan sandera yang menyedot perhatian dunia internasional ini tidak lepas dari peran pasukan di lapangan.
Dalam operasi ini, Prabowo membentuk tim inti pembaca jejak yang terdiri atas pasukan Kopassus dan Kodam Cenderawasih. Mereka semua putra daerah. Tim pembaca jejak ini kemudian dinamai Tim Kasuari yang dipimpin langsung Serka Bayani. Tugasnya menembus ke daerah paling sulit.
Menurut Prabowo, Serka Bayani merupakan anggota Kopassus, putra asli Papua yang turut menentukan keberhasilan operasi pembebasan sandera. Kemampuan Serka Bayani dalam membaca jejak membuat Prabowo kagum. ”Dia terkenal di Kopassus. Orangnya tenang, berani, memiliki kemampuan luar biasa dalam menembak dan memiliki kemampuan membaca jejak, dalam operasi di Papua Bayani biasanya tidak menggunakan sepatu. Dia juga memilih menggunakan celana pendek,” kenang Prabowo.
Bahkan, Serka Bayani bisa masuk ke camp musuh karena mengira bagian dari mereka. Menurut Prabowo, dalam sekali operasi Bayani berhasil menewaskan beberapa musuh dan merebut 3-4 pucuk senjata. “Secara keseluruhan, Beliau berhasil merebut lebih dari 100 puncuk senjata dari tangan musuh,” ujar Prabowo.
Operasi Mapenduma sangat sulit karena lokasi penyanderaan di tengah hutan. Apalagi pada 1996, TNI belum memiliki satelit, drone dan pesawat pengintai yang baik sehingga sangat sulit mendapatkan data intelijen yang mutakhir. Bahkan, TNI juga tidak memiliki peta topografis skala 1:50.000. Yang ada hanya peta bagan yang terbuat dari tangan. Peta inilah yang akhirnya diperbanyak.
“Menjelang waktu akhir harus mengambil keputusan untuk menentukan sasaran, saya bertanya kepada tim intelijen di mana posisi komandan pasukan GPK Kelly Kwalik dan para sandera. Saat kita menentukan sasaran tidak ada alat bantu sama sekali. Analisis intelijen sangat menentukan sekali,” katanya.
Tim intelijen meyakini penyandera dan sandera berada di dalam salah satu dari enam titik dalam 2-3 hari. Karena tidak ada exact location, Prabowo kemudian memutuskan enam titik sesuai yang diberikan tim intelijen sebagai sasaran operasi. Penyerbuan dilakukan dengan menggunakan enam helikopter serbu.
Menjelang operasi dimulai, Prabowo diberi tahu oleh tim peninjau dari luar negeri yakni Inggris. Mereka menyampaikan telah berhasil menyelundupkan satu alat (beacon) pada saat mereka menitip obat-obatan, makanan dan pakaian kepada Palang Merah Internasional kepada para sandera. Alat itu bisa memberi sinyal dan menentukan exact location.
Mereka kemudian menggunakan helikopter untuk mencari sinyal beacon tersebut. Mereka lalu kembali dan memberikan titik koordinat exact location sasaran. Setelah dicek, titik sasaran berada di suatu gunung yang tinggi. Namun, titik itu berada di luar 6 sasaran yang diberikan oleh tim intelijen sebelumnya.
Dihadapkan pada dua pilihan, insting Prabowo mengarahkannya untuk bertanya kepada orang yang berpengalaman dan menguasai wilayah itu. Saat itu, Prabowo memanggil Serka Bayani dan menjelaskan titik koordinat yang disebutkan oleh pakar dari Inggris. Saat itu, Bayani menepisnya.
Bahkan, Prabowo menjelaskan jika pakar dari Inggris itu menggunakan teknologi canggih untuk menentukan exact location. Lagi-lagi Bayani tetap menampiknya. Dengan logat khas Papua, Bayani memberikan penjelasan. “Bapak, jangankan Kelly Kwalik, monyet pun tidak mau tinggal di situ. Tidak ada air di situ. Bapak, bagaimana sekian puluh orang berada di atas (gunung) tanpa air,” ucap Serka Bayani.
Menurut Prabowo, penjelasan Serka Bayani tidak akan dilupakannya meski setelah sekian puluh tahun. Tidak hanya itu, penjelasan Serka Bayani menjadi dasar bagi Prabowo untuk menentukan langkah selanjutnya. ”Inilah kecerdasan dari seorang pribumi, putra daerah. Dia lebih tahu kondisi setempat dibandingkan dengan orang asing yang datang dari jauh walaupun membawa alat yang canggih. Saya memilih untuk percaya kepada anak buah sendiri yang punya pengalaman nyata,” kata Prabowo.
Prabowo kemudian memutuskan untuk menyerang enam titik sesuai hasil kajian tim intelijen. Operasi Mapenduma itu akhirnya berhasil membebaskan sandera. Meski demikian, dari 26 sandera, 3 orang meninggal dunia dibunuh penyandera. Sedangkan sisanya lepas termasuk seluruh peneliti asing.
Operasi Mapenduma merupakan operasi militer untuk membebaskan 26 peneliti yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95. Mereka disandera Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Jayawijaya, Papua. Operasi pembebasan sandera ini memakan waktu selama 129 hari.
Penyanderaan berawal ketika sekelompok peneliti sedang melakukan ekspedisi selama tiga bulan mulai November 1995 hingga Januari 1996 di Taman Nasional Lorentz, sebuah kawasan alam liar seluas hampir 2,4 juta hektare di pegunungan tengah Papua. Dari 26 sandera, tujuh orang di antaranya Warga Negara Asing (WNA). Empat orang Inggris, dua Belanda dan seorang warga negara Jerman.
Operasi pembebasan pun dimulai pada 8 Januari 1996 sejak dilaporkannya peristiwa penyanderaan tersebut. Sebagai pimpinan tertinggi operasi tersebut, Prabowo yang saat itu menjabat sebagai Danjen Kopassus bertanggung jawab terhadap keselamatan para sandera.
Untuk membebaskan para sandera tersebut, Prabowo menerjunkan prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Pasukan elite TNI AD ini bersama dengan sejumlah pihak di antaranya Komite Palang Merah Internasional (ICRC) melakukan upaya mediasi.
Upaya mediasi mulai menemukan titik terang, pada 13 Januari 1996, sembilan sandera dibebaskan di Desa Jigi, Kecamatan Tiom. Mereka terdiri dari empat karyawan puskesmas, tiga aparat desa dan dua guru sekolah dasar di Mapenduma. Namun pada 25 Januari, Daniel Koyoga, komandan operasi yang berada di bawah komando langsung Kelly Kwalik memutuskan hubungan.
Selanjutnya, pada 7 Februari 1996, ICRC mengirimkan tim untuk membantu upaya pembebasan sandera. Dalam pertemuan antara kedua belah pihak, ICRC meminta pembebasan sandera dengan damai dilakukan pada 25 Februari 1996. Namun, permintaan itu ditolak oleh Kogoya. Alasannya, pembebasan tak dapat dilakukan tanpa izin dari pimpinan OPM di Papua Nugini.
Pada 26 Februari 1996, sebuah informasi menyebut bahwa para sandera ditempatkan di dalam sebuah gua dijuluki "gua kelelawar". Menurut informasi, gua kelelawar berada di ketinggian tujuh meter dan hanya bisa dijangkau lewat titian anak tangga.
Pada 29 Februari 1996, para ICRC berhasil menemui para sandera di sebuah gubuk di Desa Geselama. Pada pertemuan ini, Kogoya mengirimkan pesan kepada Tim Satgas bahwa pihaknya baru akan mempertimbangkan kemungkinan pembebasan sandera setelah berkomunikasi dengan pimpinan OPM di Papua Nugini. Selang beberapa hari kemudian, Kogoya dan Kwalik mengeluarkan pernyataan lebih keras. Mereka menyatakan tak akan membebaskan para sandera, kecuali pemerintah mengakui kemerdekaan Republik Papua Barat.
Prabowo dalam bukunya berjudul, “Kepemimpinan Militer: Catatan dari Pengalaman Letjen TNI (Purn) Prabowo Subianto” menceritakan kesuksesan operasi pembebasan sandera yang menyedot perhatian dunia internasional ini tidak lepas dari peran pasukan di lapangan.
Dalam operasi ini, Prabowo membentuk tim inti pembaca jejak yang terdiri atas pasukan Kopassus dan Kodam Cenderawasih. Mereka semua putra daerah. Tim pembaca jejak ini kemudian dinamai Tim Kasuari yang dipimpin langsung Serka Bayani. Tugasnya menembus ke daerah paling sulit.
Menurut Prabowo, Serka Bayani merupakan anggota Kopassus, putra asli Papua yang turut menentukan keberhasilan operasi pembebasan sandera. Kemampuan Serka Bayani dalam membaca jejak membuat Prabowo kagum. ”Dia terkenal di Kopassus. Orangnya tenang, berani, memiliki kemampuan luar biasa dalam menembak dan memiliki kemampuan membaca jejak, dalam operasi di Papua Bayani biasanya tidak menggunakan sepatu. Dia juga memilih menggunakan celana pendek,” kenang Prabowo.
Bahkan, Serka Bayani bisa masuk ke camp musuh karena mengira bagian dari mereka. Menurut Prabowo, dalam sekali operasi Bayani berhasil menewaskan beberapa musuh dan merebut 3-4 pucuk senjata. “Secara keseluruhan, Beliau berhasil merebut lebih dari 100 puncuk senjata dari tangan musuh,” ujar Prabowo.
Operasi Mapenduma sangat sulit karena lokasi penyanderaan di tengah hutan. Apalagi pada 1996, TNI belum memiliki satelit, drone dan pesawat pengintai yang baik sehingga sangat sulit mendapatkan data intelijen yang mutakhir. Bahkan, TNI juga tidak memiliki peta topografis skala 1:50.000. Yang ada hanya peta bagan yang terbuat dari tangan. Peta inilah yang akhirnya diperbanyak.
“Menjelang waktu akhir harus mengambil keputusan untuk menentukan sasaran, saya bertanya kepada tim intelijen di mana posisi komandan pasukan GPK Kelly Kwalik dan para sandera. Saat kita menentukan sasaran tidak ada alat bantu sama sekali. Analisis intelijen sangat menentukan sekali,” katanya.
Tim intelijen meyakini penyandera dan sandera berada di dalam salah satu dari enam titik dalam 2-3 hari. Karena tidak ada exact location, Prabowo kemudian memutuskan enam titik sesuai yang diberikan tim intelijen sebagai sasaran operasi. Penyerbuan dilakukan dengan menggunakan enam helikopter serbu.
Menjelang operasi dimulai, Prabowo diberi tahu oleh tim peninjau dari luar negeri yakni Inggris. Mereka menyampaikan telah berhasil menyelundupkan satu alat (beacon) pada saat mereka menitip obat-obatan, makanan dan pakaian kepada Palang Merah Internasional kepada para sandera. Alat itu bisa memberi sinyal dan menentukan exact location.
Mereka kemudian menggunakan helikopter untuk mencari sinyal beacon tersebut. Mereka lalu kembali dan memberikan titik koordinat exact location sasaran. Setelah dicek, titik sasaran berada di suatu gunung yang tinggi. Namun, titik itu berada di luar 6 sasaran yang diberikan oleh tim intelijen sebelumnya.
Dihadapkan pada dua pilihan, insting Prabowo mengarahkannya untuk bertanya kepada orang yang berpengalaman dan menguasai wilayah itu. Saat itu, Prabowo memanggil Serka Bayani dan menjelaskan titik koordinat yang disebutkan oleh pakar dari Inggris. Saat itu, Bayani menepisnya.
Bahkan, Prabowo menjelaskan jika pakar dari Inggris itu menggunakan teknologi canggih untuk menentukan exact location. Lagi-lagi Bayani tetap menampiknya. Dengan logat khas Papua, Bayani memberikan penjelasan. “Bapak, jangankan Kelly Kwalik, monyet pun tidak mau tinggal di situ. Tidak ada air di situ. Bapak, bagaimana sekian puluh orang berada di atas (gunung) tanpa air,” ucap Serka Bayani.
Menurut Prabowo, penjelasan Serka Bayani tidak akan dilupakannya meski setelah sekian puluh tahun. Tidak hanya itu, penjelasan Serka Bayani menjadi dasar bagi Prabowo untuk menentukan langkah selanjutnya. ”Inilah kecerdasan dari seorang pribumi, putra daerah. Dia lebih tahu kondisi setempat dibandingkan dengan orang asing yang datang dari jauh walaupun membawa alat yang canggih. Saya memilih untuk percaya kepada anak buah sendiri yang punya pengalaman nyata,” kata Prabowo.
Prabowo kemudian memutuskan untuk menyerang enam titik sesuai hasil kajian tim intelijen. Operasi Mapenduma itu akhirnya berhasil membebaskan sandera. Meski demikian, dari 26 sandera, 3 orang meninggal dunia dibunuh penyandera. Sedangkan sisanya lepas termasuk seluruh peneliti asing.
(cip)