LPSK Sesalkan Penghapusan RUU PKS dari Prolegnas 2020

Jum'at, 03 Juli 2020 - 19:54 WIB
Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar menyesalkan RUU PKS dari Prolegnas 2020 disesalkan banyak pihak. FOTO/DOK.HUMAS LPSK
JAKARTA - Keputusan Badan Legislasi (Baleg) DPR RImenghapus Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020 disesalkan banyak pihak. Termasuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) yang terlibat dalam tim kecil pemerintah membahas RUU ini.

Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar menjelaskan, pihaknya mendukung pembahasan RUU PKS karena sejalan dengan kecenderungan meningkatnya grafik permohonan perlindungan dari para korban kekerasan seksual ke LPSK. Pada 2016, LPSK menerima 66 permohonan dari kasus kekerasan seksual, naik menjadi 111 permohonan pada 2017 dan melonjak ke angka 284 pada 2018.

Kemudian di 2019, permohonan perlindungan kasus kekerasan seksual naik lagi ke angka 373. Sedangkan jumlah terlindung LPSK dari kasus kekerasan seksual, per 15 Juni 2020, mencapai 501 korban. ( )



Angka permohonan perlindungan maupun jumlah terlindung LPSK, belum bisa menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Diyakini angka riilnya bisa lebih besar. Itu disebabkan tidak semua korban mau melanjutkan perkara ke ranah pidana.

"Jumlah terlindung LPSK belum menggambarkan jumlah korban kekerasan seksual sesungguhnya. Karena Pasal 28 UU Perlindungan Saksi dan Korban mensyaratkan permohonan perlindungan bisa diberikan, salah satunya karena adanya tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban," kata Livia dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/7/2020).

Menurutnya, ada beberapa faktor yang membuat RUU PKS penting untuk segera dibahas. Salah satunya kehadiran RUU PKS ini diharapkan mampu membantu dan mempermudah penegak hukum untuk menjerat pelaku kekerasan seksual. "Perlu aturan lebih khusus untuk mengatur kekerasan seksual karena jenis dan modusnya makin beragam," katanya.( )

Pada kasus kekerasan seksual, lanjut Livia, banyak kasus yang proses hukumnya tidak dapat dilanjutkan karena kurangnya alat bukti dan rumusan norma pasal, khususnya yang ada di KUHP tidak mampu menjangkau bentuk-bentuk kekerasan seksual yang berkembang saat ini. Hal tersebut berimplikasi pada cara pandang penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum.

"Misalnya pemahaman bahwa pemerkosaan itu dimaknakan sebatas adanya penetrasi alat kelamin pria ke alat kelamin perempuan, padahal definisi pemerkosaan telah berkembang dalam berbagai literatur, aturan, dan praktik hukum di internasional maupun di negara lainnya," kata Livia.
(abd)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More