Martha Christina Tiahahu, Panglima Perang Perempuan Termuda di Pasukan Pattimura

Sabtu, 24 September 2022 - 02:50 WIB
Martha Christina Tiahahu. Foto/Istimewa
JAKARTA - Nama Martha Christina Tiahahu , salah satu pahlawan nasional asal Maluku, belakangan mewarnai pemberitaan di media. Hal ini setelah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meresmikan Taman Literasi Martha Christina Tiahahu di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

Sebelum diresmikan sebagai taman literasi pada 18 September 2022, taman tersebut bernama Taman Martha Christina Tiahahu. Artinya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengubah nama taman tersebut, hanya merevitalisasinya dan menambah kata literasi.

"Jakarta adalah kota bagi semua. Dan karena itulah namanya Martha Christina Tiahahu. Dan ini adalah pahlawan yang usianya paling muda. Ketika meninggal usia 18 tahun di kapal. Ketika menuju pengasingan dan tidak mau diobati oleh dokter Belanda. Engggak mau dia, lebih baik meninggal. Kira-kira begitu. Anda baca beritanya. Itu menggambarkan bahwa anak muda itu memang pemberani, nyalinya besar. Dan, Martha adalah salah satu sosoknya," ungkap Anies.

Lantas, seperti apa sosok Martha Christina Tiahahu? Pahlawan nasional ini lahir pada tanggal 4 Januari 1800 di Desa Abubu, Nusa Laut, Maluku. Dia adalah anak dari Kapitan Paulus Tiahahu, salah satu pemimpin tentara rakyat Maluku.





Tumbuh sebagai anak dari pemimpin tentara rakyat Maluku, membuat Martha dikenal pemberani dan konsekuen terhadap cita-cita perjuangan. Semangat pantang menyerah dan keberanian yang cukup tinggi membuat Martha dijadikan panglima perang perempuan termuda di pasukan Kapitan Pattimura saat perang melawan Belanda. Saat itu, usianya 17 tahun.

Martha tergabung dalam pasukan Kapitan Pattimura. Dia ikut berperan dalam sejumlah peristiwa penting misalnya saja dalam pertempuran merebut Benteng Duurstede dari Belanda pada 17 Mei 1817 dan ikut dalam pertempuran melawan Belanda di Pulau Saparua.

Dikutip dari laman Perpusnas, dengan rambut yang panjang terurai ke belakang serta berikat kepala sehelai kain berang (merah), Martha tetap mendampingi ayahnya dalam setiap pertempuran. Siang dan malam ia selalu hadir dan ikut dalam pembuatan kubu-kubu pertahanan. Bukan hanya mengangkat senjata, Martha juga memberi semangat kepada kaum perempuan di negeri-negeri agar ikut membantu kaum pria di setiap medan pertempuran sehingga Belanda kewalahan.

Pada 11 Oktober 1817, pasukan Belanda di bawah pimpinan Richemont bergerak ke Ulath. Pasukan ini berhasil dipukul mundur oleh pasukan rakyat. Dengan kekuatan 100 orang prajurit, Meyer beserta Richemont kembali ke Ulath. Pertempuran berkobar kembali, korban pun berjatuhan di kedua belah pihak.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More