Menyegarkan Kembali Tugas Profetik Perguruan Tinggi
Rabu, 14 September 2022 - 15:16 WIB
Untuk mengoptimalkan tugas mulia PT, tidak ada salahnya jika seluruh insan kampus merenungi ulang pesan Bung Hatta di atas. Pertama, menjaga spirit pencarian kebenaran (search for truth). Kaum intelektual yang dilahirkan dari rahim dan besar di dan dari kampus, apalagi berembel-embel PT keagamaaan, harus memastikan diri menjadi pionir yang mampu merawat tradisi dalam memperjuangkan kebenaran.
Tugas para ilmuwan bukan hanya mengkaji ilmu untuk ilmu, tetapi ilmu untuk kehidupan yang lebih baik. Tugas utama cendekiawan seharusnya adalah mencari kebenaran (search for truth). Namun, masalah akan muncul ketika idealisme keilmuan telah bercampur dengan kepentingan politik yang bertujuan mencari kekuasaan (search for power). Tugas utama para ilmuwan adalah menetralisasi kepentingan dan mengembalikan untuk menemukan sinar kebenaran.
Misi utama seorang ilmuwan tentu sangat berbeda dengan seorang politisi yang hanya mencari kekuasaan. Mereka bekerja dengan teorinya sendiri yang seringkali melampui nilai-nilai etika. Demikian juga tujuan utama seorang pengusaha adalah mencari keuntungan (search for money) yang juga sering dilakukan dengan berbagai cara. Jika peran ilmuwan bercampur dengan kepentingan politik dan bisnis, maka posisinya akan menjadi kabur (bias) yang dapat membahayakan bagi bangsa.
Lalu, bagaimana dengan ilmuwan yang beralih profesi sebagai politisi, birokrat, maupun pebisnis? Peralihan profesi merupakan pilihan dan hak, hanya saja harus tetap menjadi teladan dengan manjaga nilai-nilai etik sesuai kapasitas keilmuan yang dimiliki. Bukankah ilmu tidak akan ada manfaatnya jika tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari?
Secara filosofis, tugas perguruan tinggi untuk menjaga kebenaran (truth) sangat beririsan dengan nilai-nilai kenabian (profetik), yaitu amanah (integritas) dan shidiq (jujur). Amanah dan jujur adalah watak dasar dari seorang ilmuwan, khususnya produk perguruan tinggi. Satu contoh penting “dosa besar” yang diajarkan bagi sivitas akademik adalah plagiarisme.
Dalam dunia akademik, plagiarisme merupakan perilaku tercela yang “diharamkan” karena sebentuk pencurian karya orang lain yang merusak integritas dan kejujuran. Tidak ada maaf bagi mereka yang melakukan plagiarisme. Demikian juga para insan kampus dan alumninya harus menunjukkan kepada publik bahwa kejujuran dan kebenaran harus senantiasa dipegang teguh dan menjadi bagian dari gaya hidupnya, dalam posisi apa pun.
Belajar dari ilmuan masa lalu, khususnya sarjana Muslim, sangat menjunjung tinggi fairness, integrity, dan honesty. Tidak pernah ditemukan plagiarisme dalam karya-karya ilmiah para filosof dan saintis Muslim.
Sanad keilmuan menjadi bukti ada kejujuran intelektual karena pengakuan secara musalsal (tersambung). Meskipun, misalnya, mereka mendapatkan ilmu dari filosof Yunani sekalipun, tetap saja mereka menyebut sumber keilmuan yang mereka kembangkan berasal dari Yunani dan mereka tidak pernah mengklaim sebagai karya atau temuan sendiri.
Kedua, mempertahankan pencarian pengetahuan (search for knowledge). Perguruan tinggi harus mencerminkan lembaga yang mendedikasikan untuk pengembangan keilmuan sehingga di dalamnya harus dibangun tradisi dan atmosfer untuk mencapai peradaban akademik.
Pengembangan keilmuan harus didasarkan pada nilai profetik fathanah atau cerdas, kritis, dan rasionalistik. Selain itu, hasil-hasil kajian harus dipublikasikan yang memiliki spirit tabligh atau publikasi ilmiah melalui jurnal-jurnal bereputasi.
Tugas para ilmuwan bukan hanya mengkaji ilmu untuk ilmu, tetapi ilmu untuk kehidupan yang lebih baik. Tugas utama cendekiawan seharusnya adalah mencari kebenaran (search for truth). Namun, masalah akan muncul ketika idealisme keilmuan telah bercampur dengan kepentingan politik yang bertujuan mencari kekuasaan (search for power). Tugas utama para ilmuwan adalah menetralisasi kepentingan dan mengembalikan untuk menemukan sinar kebenaran.
Misi utama seorang ilmuwan tentu sangat berbeda dengan seorang politisi yang hanya mencari kekuasaan. Mereka bekerja dengan teorinya sendiri yang seringkali melampui nilai-nilai etika. Demikian juga tujuan utama seorang pengusaha adalah mencari keuntungan (search for money) yang juga sering dilakukan dengan berbagai cara. Jika peran ilmuwan bercampur dengan kepentingan politik dan bisnis, maka posisinya akan menjadi kabur (bias) yang dapat membahayakan bagi bangsa.
Lalu, bagaimana dengan ilmuwan yang beralih profesi sebagai politisi, birokrat, maupun pebisnis? Peralihan profesi merupakan pilihan dan hak, hanya saja harus tetap menjadi teladan dengan manjaga nilai-nilai etik sesuai kapasitas keilmuan yang dimiliki. Bukankah ilmu tidak akan ada manfaatnya jika tidak diamalkan dalam kehidupan sehari-hari?
Secara filosofis, tugas perguruan tinggi untuk menjaga kebenaran (truth) sangat beririsan dengan nilai-nilai kenabian (profetik), yaitu amanah (integritas) dan shidiq (jujur). Amanah dan jujur adalah watak dasar dari seorang ilmuwan, khususnya produk perguruan tinggi. Satu contoh penting “dosa besar” yang diajarkan bagi sivitas akademik adalah plagiarisme.
Dalam dunia akademik, plagiarisme merupakan perilaku tercela yang “diharamkan” karena sebentuk pencurian karya orang lain yang merusak integritas dan kejujuran. Tidak ada maaf bagi mereka yang melakukan plagiarisme. Demikian juga para insan kampus dan alumninya harus menunjukkan kepada publik bahwa kejujuran dan kebenaran harus senantiasa dipegang teguh dan menjadi bagian dari gaya hidupnya, dalam posisi apa pun.
Belajar dari ilmuan masa lalu, khususnya sarjana Muslim, sangat menjunjung tinggi fairness, integrity, dan honesty. Tidak pernah ditemukan plagiarisme dalam karya-karya ilmiah para filosof dan saintis Muslim.
Sanad keilmuan menjadi bukti ada kejujuran intelektual karena pengakuan secara musalsal (tersambung). Meskipun, misalnya, mereka mendapatkan ilmu dari filosof Yunani sekalipun, tetap saja mereka menyebut sumber keilmuan yang mereka kembangkan berasal dari Yunani dan mereka tidak pernah mengklaim sebagai karya atau temuan sendiri.
Kedua, mempertahankan pencarian pengetahuan (search for knowledge). Perguruan tinggi harus mencerminkan lembaga yang mendedikasikan untuk pengembangan keilmuan sehingga di dalamnya harus dibangun tradisi dan atmosfer untuk mencapai peradaban akademik.
Pengembangan keilmuan harus didasarkan pada nilai profetik fathanah atau cerdas, kritis, dan rasionalistik. Selain itu, hasil-hasil kajian harus dipublikasikan yang memiliki spirit tabligh atau publikasi ilmiah melalui jurnal-jurnal bereputasi.
tulis komentar anda