Hak Sipil Kaum Beragama
Selasa, 13 September 2022 - 11:54 WIB
Namun, semangat kebijakan publik di atas ditawar oleh kondisi literasi media publik yang masih tertatih-tatih (struggle). Lemahnya literasi media memicu cepatnya pemahaman publik untuk mengambil pemahaman dan kesimpulan sendiri terhadap substansi kebijakan tanpa pernah merasa perlu untuk melakukan pembacaan, apalagi telaah mendalam, terhadap subtansi kebijakan tersebut. Semakin menguatnya media sosial memperparah kecenderungan publik semacam ini.
Publik penting untuk memahami bahwa lepas dari insentif yang dimiliki sebagai salah satu pilar kontrol sosial, media sosial tidak pernah bisa lepas dari energi dan kerja manipulatif yang melekat pada dirinya. Fisik buruk bisa dimanipulasi menjadi kesan cantik. Kulit berwarna bisa dimanipulasi menjadi kulit putih. Tubuh tidak ideal bisa diatur untuk tampil seakan sebagai penganut mazhab body goals yang mengangungkan bentuk dan ukuran tubuh ideal.
Di era keterbukaan informasi, perdebatan mengenai pengaturan tempat ibadah sebagai hak privat-peribadatan dan hak sipil tidak selalu bisa segera diselesaikan dengan menempatkan substansi regulasi itu ke dalam ranah yang sesungguhnya, yakni kebijakan pubik. Itulah yang menjadi tantangan para pejabat publik yang berurusan dengan kewenangan untuk mengatur keseimbangan antara hak privat-peribadatan dan hak sipil di era menyeruaknya realitas virtual (virtual realities) oleh kemajuan teknologi informasi berbasis masyarakat.
Bagi para pemangku kewenangan publik, menghadapi kontroversi hebat yang dapat berujung pada kegaduhan adalah bagian dari konsekuensi logis dari pemangkuan jabatan publik di era keterbukaan informasi yang pada titik tertentu tidak bisa dikontrol oleh siapa pun karena mekanisme pasar berlaku secara kuat. Tapi, bagi kita semua para warga bangsa, penting untuk memahami bahwa perbedaan apapun yang muncul karena faktor primordialisme dan atau sektarianisme harus dicarikan titik keseimbangannya melalui kebijakan publik.
Tidak perlu muncul kecenderungan yang disinyalir oleh seorang ilmuwan bernama Wertheim, majority with minority mentality (mayoritas dari sisi jumlah tapi minoritas dalam hal mental sosialnya). Kecenderungan ini muncul akibat kuatnya cengkeraman perasaan berada di bawah incaran dan ancaman kelompok sosial selainnya (under-siege mentality). Sebaliknya pula, tidak seharusnya muncul kecenderungan bahwa hak sipil kelompok tertentu tertawan oleh kelompok selainnya akibat perasaan tertekan (under-pressure mentality) sebagai kelompok minoritas.
Di sinilah negara penting hadir untuk melakukan penjaminan hak semua warga negara secara sama di hadapan hukum, baik terkait dengan hak privat-peribadatan maupun hak sipil. Sebagai turunan dari kewenangan publik, kebijakan pemerintah harus bisa menjamin keseimbangan hidup bersama seluruh warga negara. Pada titik inilah, hak sipil kaum beragama penting diregulasi disertai dengan penjaminan yang setara dan seimbang oleh negara.
Baca Juga: koran-sindo.com
Publik penting untuk memahami bahwa lepas dari insentif yang dimiliki sebagai salah satu pilar kontrol sosial, media sosial tidak pernah bisa lepas dari energi dan kerja manipulatif yang melekat pada dirinya. Fisik buruk bisa dimanipulasi menjadi kesan cantik. Kulit berwarna bisa dimanipulasi menjadi kulit putih. Tubuh tidak ideal bisa diatur untuk tampil seakan sebagai penganut mazhab body goals yang mengangungkan bentuk dan ukuran tubuh ideal.
Di era keterbukaan informasi, perdebatan mengenai pengaturan tempat ibadah sebagai hak privat-peribadatan dan hak sipil tidak selalu bisa segera diselesaikan dengan menempatkan substansi regulasi itu ke dalam ranah yang sesungguhnya, yakni kebijakan pubik. Itulah yang menjadi tantangan para pejabat publik yang berurusan dengan kewenangan untuk mengatur keseimbangan antara hak privat-peribadatan dan hak sipil di era menyeruaknya realitas virtual (virtual realities) oleh kemajuan teknologi informasi berbasis masyarakat.
Bagi para pemangku kewenangan publik, menghadapi kontroversi hebat yang dapat berujung pada kegaduhan adalah bagian dari konsekuensi logis dari pemangkuan jabatan publik di era keterbukaan informasi yang pada titik tertentu tidak bisa dikontrol oleh siapa pun karena mekanisme pasar berlaku secara kuat. Tapi, bagi kita semua para warga bangsa, penting untuk memahami bahwa perbedaan apapun yang muncul karena faktor primordialisme dan atau sektarianisme harus dicarikan titik keseimbangannya melalui kebijakan publik.
Tidak perlu muncul kecenderungan yang disinyalir oleh seorang ilmuwan bernama Wertheim, majority with minority mentality (mayoritas dari sisi jumlah tapi minoritas dalam hal mental sosialnya). Kecenderungan ini muncul akibat kuatnya cengkeraman perasaan berada di bawah incaran dan ancaman kelompok sosial selainnya (under-siege mentality). Sebaliknya pula, tidak seharusnya muncul kecenderungan bahwa hak sipil kelompok tertentu tertawan oleh kelompok selainnya akibat perasaan tertekan (under-pressure mentality) sebagai kelompok minoritas.
Di sinilah negara penting hadir untuk melakukan penjaminan hak semua warga negara secara sama di hadapan hukum, baik terkait dengan hak privat-peribadatan maupun hak sipil. Sebagai turunan dari kewenangan publik, kebijakan pemerintah harus bisa menjamin keseimbangan hidup bersama seluruh warga negara. Pada titik inilah, hak sipil kaum beragama penting diregulasi disertai dengan penjaminan yang setara dan seimbang oleh negara.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda