Diduga Maladministrasi, ICW Laporkan Kartu Prakerja ke Ombudsman
Kamis, 02 Juli 2020 - 14:33 WIB
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengadukan program Kartu Prakerja ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi, Kamis (2/7/2020). Laporan itu berdasarkan kajian mendalam dan adanya temuan fakta.
“Program ini berpotensi merugikan keuangan negara, membiarkan praktik monopoli terjadi, hingga adanya nuansa konflik kepentingan. Sederhananya, jika program ini tetap dipaksakan berjalan maka dapat melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada SINDOnews, Kamis (2/7/2020). (Baca juga: Paket Pelatihan Kartu Prakerja Dijual Eceran, Mitra Platform Digital Disetop)
Penempatan program Kartu Prakerja, menurut Kurnia, tidak sesuai dengan tugas, pokok, fungsi yang selama ini diemban oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Sedari awal ICW sudah mempertanyakan dasar argumentasi pemerintah untuk menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pengampu program Kartu Prakerja.
“Berdasarkan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan, program ini lebih tepat jika diberikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Apalagi jika merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, salah satu arah kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing yakni melalui pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis kerja sama industri,” jelasnya.
Kebijakan itu dilakukan dengan cara meningkatkan akses ke pelatihan vokasi melalui penerapan Kartu Prakerja. Ia meyakini hal itu berada dalam wilayah Kemenaker.
“Dengan menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pelaksana teknis program Kartu Prakerja, timbul konflik peran secara internal, karena fungsi pengawasan dan fungsi pelaksanaan teknis menyatu pada satu kementerian. Sehingga, ini dipandang sebagai maladministrasi karena melampaui wewenang sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008,” terangnya.
Selain itu, ICW menilai mekanisme kurasi lembaga pelatihan tidak layak dan mengandung konflik kepentingan. Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020, sudah dijelaskan bahwa jangka waktu yang dibutuhkan oleh Platform Digital dan Manajemen Pelaksana untuk melakukan proses kurasi yakni paling lama 21 hari sampai akhirnya bisa ditetapkan sebagai lembaga pelatihan. ( )
Namun faktanya, rentang waktu antara proses pendaftaran gelombang I sampai penutupan hanya lima hari saja. “Tentu waktu ini dipandang tidak cukup untuk menghasilkan lembaga pelatihan yang benar-benar teruji dan profesional. Bahkan, dapat berpotensi merusak kualitas pelatihan yang sebelumnya dijanjikan akan diberikan,” tukasnya.
“Program ini berpotensi merugikan keuangan negara, membiarkan praktik monopoli terjadi, hingga adanya nuansa konflik kepentingan. Sederhananya, jika program ini tetap dipaksakan berjalan maka dapat melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi,” ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada SINDOnews, Kamis (2/7/2020). (Baca juga: Paket Pelatihan Kartu Prakerja Dijual Eceran, Mitra Platform Digital Disetop)
Penempatan program Kartu Prakerja, menurut Kurnia, tidak sesuai dengan tugas, pokok, fungsi yang selama ini diemban oleh Kementerian Koordinator bidang Perekonomian. Sedari awal ICW sudah mempertanyakan dasar argumentasi pemerintah untuk menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pengampu program Kartu Prakerja.
“Berdasarkan tugas pokok dan fungsi penyelenggaraan, program ini lebih tepat jika diberikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Apalagi jika merujuk pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024, salah satu arah kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing yakni melalui pendidikan dan pelatihan vokasi berbasis kerja sama industri,” jelasnya.
Kebijakan itu dilakukan dengan cara meningkatkan akses ke pelatihan vokasi melalui penerapan Kartu Prakerja. Ia meyakini hal itu berada dalam wilayah Kemenaker.
“Dengan menempatkan Kemenko Perekonomian sebagai pelaksana teknis program Kartu Prakerja, timbul konflik peran secara internal, karena fungsi pengawasan dan fungsi pelaksanaan teknis menyatu pada satu kementerian. Sehingga, ini dipandang sebagai maladministrasi karena melampaui wewenang sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008,” terangnya.
Selain itu, ICW menilai mekanisme kurasi lembaga pelatihan tidak layak dan mengandung konflik kepentingan. Berdasarkan Pasal 27 Peraturan Menteri Perekonomian Nomor 3 Tahun 2020, sudah dijelaskan bahwa jangka waktu yang dibutuhkan oleh Platform Digital dan Manajemen Pelaksana untuk melakukan proses kurasi yakni paling lama 21 hari sampai akhirnya bisa ditetapkan sebagai lembaga pelatihan. ( )
Namun faktanya, rentang waktu antara proses pendaftaran gelombang I sampai penutupan hanya lima hari saja. “Tentu waktu ini dipandang tidak cukup untuk menghasilkan lembaga pelatihan yang benar-benar teruji dan profesional. Bahkan, dapat berpotensi merusak kualitas pelatihan yang sebelumnya dijanjikan akan diberikan,” tukasnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda