Revolusi Karakter Lebih Urgen
Jum'at, 26 Agustus 2022 - 12:53 WIB
KASUS pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat yang dilakukan eks Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo (FS) mengagetkan kita semua. Selain mengagetkan, pembunuhan ini juga menggegerkan institusi penegak hukum yang paling populer di masyarakat ini.
Bayangkan, seorang perwira tinggi jenderal bintang dua bisa lepas kontrol, kalap, emosi, dan dengan sengaja menembak mati pengawalnya sendiri di rumah dinasnya. Orang tidak habis pikir dan penasaran mengapa jenderal yang dikenal banyak prestasi itu bisa melakukan kejahatan sekeji itu. Pantaslah mata, telinga, dan perasaan publik terus penasaran dan tak pernah berhenti memperbincangkan kasus ini di ruang publik.
Rasa ingin tahu masyarakat ternyata tidak surut meski FS telah ditetapkan tersangka bersama empat orang lainnya termasuk Putri Cendrawathi (PC), sang istri. Malah FS sudah menjalani sidang kode etik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sebelum berkas perkaranya dilimpahkan ke pengadilan.
Pelajaran yang bisa diambil dari sini adalah betapa pentingnya pembangunan karakter para pemimpin para anutan masyarakat secara umum. Khususnya pimpinan di kepolisian dan lembaga penegak hukum lain. Kita sudah sering kali disuguhi para pejabat dari lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, sampai menteri. Juga anggota polisi, jaksa, hakim, sampai hakim tinggi Mahkamah Konstitusi yang ditangkap karena korupsi atau melakukan tindak kejahatan.
Orang-orang yang semestinya menjadi anutan publik itu tidak hanya mengecewakan karena melanggar sumpah sebagai pejabat publik, tapi sudah mencederai kepercayaan masyarakat kepada institusi tempat mereka berasal.
Meski semua sudah diproses hukum sesuai derajat kesalahannya, tidak serta merta kepercayaan publik itu pulih. Perlu waktu panjang untuk memulihkan kerusakan citra tersebut. Tidak cukup hanya mengandalkan pencitraan diri yang masif. Tapi, harus dibuktikan dengan perbuatan nyata bahwa institusi ini serius melakukan pembersihan internal. Tanpa perbuatan nyata, mustahil publik akan percaya begitu saja.
Mungkin, selama ini ruang publik penuh sesak dijejali pencitraan para pejabat publik yang sudah jauh dari porsi wajar. Sekarang, jika masyarakat mulai menuntut transparansi dan akuntabilitas para pejabat di ruang publik harus dimaknai sebagai bentuk assessment baru yang wajib dipenuhi. Publik sudah trauma dengan pencitraan sehingga mereka melakukan uji fakta sendiri terhadap ucapan dan perbuatan si pejabat. Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk merespons ini?
Mengucapkan komitmen dan janji saja tidak cukup. Harus ditunjukkan secara terbuka bahwa rekrutmen pejabat publik harus benar-benar objektif berbasis kompetensi. Bukan atas pertimbangan kedekatan dan kekubuan semata. Poin lain dari pecahnya kasus FS adalah pentingnya melakukan pembersihan terhadap aparatur negara yang masih berpotensi melakukan penyelewengan jabatan. Tentu, pemerintah dan masing-masing lembaga negara, termasuk kepolisian, sudah memiliki mekanisme pengawasan internal.
Evaluasi dan pengawasan aparatur negara ternyata memiliki urgensi yang lebih prioritas dibandingkan proyek-proyek infrastruktur yang tampak prestisius di permukaan. Semegah apa pun gedung yang dibangun dengan anggaran besar akan percuma jika aparaturnya masih senang korupsi dan melakukan penyelewengan.
Bayangkan, seorang perwira tinggi jenderal bintang dua bisa lepas kontrol, kalap, emosi, dan dengan sengaja menembak mati pengawalnya sendiri di rumah dinasnya. Orang tidak habis pikir dan penasaran mengapa jenderal yang dikenal banyak prestasi itu bisa melakukan kejahatan sekeji itu. Pantaslah mata, telinga, dan perasaan publik terus penasaran dan tak pernah berhenti memperbincangkan kasus ini di ruang publik.
Rasa ingin tahu masyarakat ternyata tidak surut meski FS telah ditetapkan tersangka bersama empat orang lainnya termasuk Putri Cendrawathi (PC), sang istri. Malah FS sudah menjalani sidang kode etik untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya sebelum berkas perkaranya dilimpahkan ke pengadilan.
Pelajaran yang bisa diambil dari sini adalah betapa pentingnya pembangunan karakter para pemimpin para anutan masyarakat secara umum. Khususnya pimpinan di kepolisian dan lembaga penegak hukum lain. Kita sudah sering kali disuguhi para pejabat dari lurah, camat, bupati, wali kota, gubernur, sampai menteri. Juga anggota polisi, jaksa, hakim, sampai hakim tinggi Mahkamah Konstitusi yang ditangkap karena korupsi atau melakukan tindak kejahatan.
Orang-orang yang semestinya menjadi anutan publik itu tidak hanya mengecewakan karena melanggar sumpah sebagai pejabat publik, tapi sudah mencederai kepercayaan masyarakat kepada institusi tempat mereka berasal.
Meski semua sudah diproses hukum sesuai derajat kesalahannya, tidak serta merta kepercayaan publik itu pulih. Perlu waktu panjang untuk memulihkan kerusakan citra tersebut. Tidak cukup hanya mengandalkan pencitraan diri yang masif. Tapi, harus dibuktikan dengan perbuatan nyata bahwa institusi ini serius melakukan pembersihan internal. Tanpa perbuatan nyata, mustahil publik akan percaya begitu saja.
Mungkin, selama ini ruang publik penuh sesak dijejali pencitraan para pejabat publik yang sudah jauh dari porsi wajar. Sekarang, jika masyarakat mulai menuntut transparansi dan akuntabilitas para pejabat di ruang publik harus dimaknai sebagai bentuk assessment baru yang wajib dipenuhi. Publik sudah trauma dengan pencitraan sehingga mereka melakukan uji fakta sendiri terhadap ucapan dan perbuatan si pejabat. Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah untuk merespons ini?
Mengucapkan komitmen dan janji saja tidak cukup. Harus ditunjukkan secara terbuka bahwa rekrutmen pejabat publik harus benar-benar objektif berbasis kompetensi. Bukan atas pertimbangan kedekatan dan kekubuan semata. Poin lain dari pecahnya kasus FS adalah pentingnya melakukan pembersihan terhadap aparatur negara yang masih berpotensi melakukan penyelewengan jabatan. Tentu, pemerintah dan masing-masing lembaga negara, termasuk kepolisian, sudah memiliki mekanisme pengawasan internal.
Evaluasi dan pengawasan aparatur negara ternyata memiliki urgensi yang lebih prioritas dibandingkan proyek-proyek infrastruktur yang tampak prestisius di permukaan. Semegah apa pun gedung yang dibangun dengan anggaran besar akan percuma jika aparaturnya masih senang korupsi dan melakukan penyelewengan.
tulis komentar anda