Kasus Brigadir Yosua Jangan Sampai Antiklimaks
Rabu, 10 Agustus 2022 - 11:36 WIB
KASUS dugaan pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J telah menunjukkan titik terang. Meminjam istilah Menkopolhukam Mahfud MD, skenario kematian Brigadir J kini berbalik. Dan, kemarin, Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengumumkan sendiri bahwa mantan Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo menjadi tersangka baru. Ini menjadi babak baru dan bisa membuka tabir pengungkapan kasus yang membuat banyak pihak prihatin ini.
Penetapan tersangka Irjen Ferdy ini adalah tindak lanjut atas pendalaman tiga tersangka sebelumnya. Lebih-lebih, Bharada Richard Eliezer (E) yang awalnya dinarasikan terlibat baku tembak dengan Brigadir Yosua telah meralat pernyataannya. Di berkas acara pemeriksaan (BAP) terbarunya, Bharada E menyebut tidak ada aksi tembak-tembakan. Bahkan Irjen Ferdy Sambo yang pada skenario awal disebut tengah di luar rumah dinasnya karena menjalani tes PCR ternyata diketahui berada di lokasi saat kejadian.
Demi membuat kasus ini menjadi terang benderang, Bharada E pun siap buka-bukaan dengan memilih menjadi justice collabolator (JC). Dengan menjadi JC maka dia siap membantu penegak hukum untuk melakukan penyelidikan sekaligus penuntutan nantinya.
Bharada E tentu telah menghitung keputusannya ini. Hal yang pasti setelah kasus ini bergulir sekitar sebulan lamanya, dia tidak lagi dalam bayang-bayang atasan, atau pihak lain yang sempat menekannya. Semua risiko ini dia ambil karena lagi-lagi skenario yang telah disiapkan ternyata tak mempan. Bahkan jika skenario itu diteruskan bakal menjadi bumerang baginya.
Kian benderangnya pengungkapan kasus kematian Brigadir Yosua ini tentu sebuah kemajuan besar. Tanpa ada keberanian keluarga korban yang sejak awal menyangkal kasus ini, pemberitaan media, pemerhati masalah hukum, komitmen kapolri hingga perhatian besar Presiden Joko Widodo misalnya, rasanya skenario licik para pelaku ini sulit terbongkar. Lebih-lebih kasus ini, melibatkan banyak polisi. Bahkan di antaranya bukan sembarang orang, yakni seorang jenderal dengan otoritas tertinggi dalam hal penegakan aturan atau disiplin anggota.
Meski kian jelas seperti dengan ditetapkannya Irjen Sambo menjadi tersangka, saat ini publik masih menunggu hasil akhir pengungkapan atas kasus ini. Pengungkapan kasus ini yang relatif cepat memang patut diapresiasi, namun sejatinya ini belumlah final. Polisi saatnya menunjukkan benar-benar tetap bisa bekerja pada garis profesionalisme. Pun ketika ada sebuah kasus yang menyeret salah satu petingginya.
Kepercayaan publik atas kinerja Polri ini harus terus dijaga dengan baik. Terlepas dari jabatan dan posisi para pelakunya, mereka adalah sosok-sosok yang sejatinya memberikan perlindungan terhadap orang yang tak bersalah. Praktis, ketika otoritas dan amanat itu tidak diemban dengan baik, maka hukuman maksimal adalah menjadi konsekuensi logisnya. Pasal-pasal hukum untuk menjerat para pelaku tentu tidak boleh ditawar atau sembarang dipasang. Selain diduga kuat sengaja melakukan pembunuhan, ulah pelaku menyusun skenario busuk atas kasus ini jelas bisa memperberat sanksi yang akan mereka terima nanti.
Lebih-lebih jika sang aktor intelektual kasus pembunuhan ini adalah Irjen Ferdy Sambo, tentu perlu mendapat pengawalan hukum yang lebih ekstra. Para penegak hukum harus bisa melihat kasus ini secara jernih dengan tidak terpaku pada pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Piada (KUHP) semata misalnya. Mereka seperti yang pernah dikatakan pakar hukum dari Universitas Diponegoro Semarang Satjipto Rahardjo, dituntut bekerja progresif. Dengan progresivitas itu, maka keadilan yang dihasilkan nanti benar-benar bisa diterima oleh publik.
Kasus ini jelas bukanlah dalam lorong gelap. Artinya, siapa korban, siapa pelaku, saksi dan tempat kejadian perkara juga telah jelas. Jangan sampai pengungkapkan kasus ini justru antiklimaks. Di sinilah sejatinya aparat hukum dihadapkan tantangan yang tidak ringan. Mereka diharapkan benar-benar bekerja dengan basis hati nurani, bukan mengedepankan kepentingan kelompok seperti dengan dalih melindungi korps (esprit de corps) dan lain sebagainya. Untuk merekonstruksi hukum para penegak hukum harus berpijak pada nilai-nilai keadilan, bukan kepentingan yang lain.
Bagi kepolisian khususnya, pekerjaan ini diakui tidak mudah. Namun jika kepolisian bisa melewati ujian profesionalisme ini, maka sejatinya akan mendapatkan apresiasi dan kepercayaan lebih tinggi dari masyarakat. Jangan sampai reputasi yang dibangun oleh polisi atau pemerintah ini terlacurkan gara-gara kepentingan sempit.
Baca Juga: koran-sindo.com
Penetapan tersangka Irjen Ferdy ini adalah tindak lanjut atas pendalaman tiga tersangka sebelumnya. Lebih-lebih, Bharada Richard Eliezer (E) yang awalnya dinarasikan terlibat baku tembak dengan Brigadir Yosua telah meralat pernyataannya. Di berkas acara pemeriksaan (BAP) terbarunya, Bharada E menyebut tidak ada aksi tembak-tembakan. Bahkan Irjen Ferdy Sambo yang pada skenario awal disebut tengah di luar rumah dinasnya karena menjalani tes PCR ternyata diketahui berada di lokasi saat kejadian.
Demi membuat kasus ini menjadi terang benderang, Bharada E pun siap buka-bukaan dengan memilih menjadi justice collabolator (JC). Dengan menjadi JC maka dia siap membantu penegak hukum untuk melakukan penyelidikan sekaligus penuntutan nantinya.
Bharada E tentu telah menghitung keputusannya ini. Hal yang pasti setelah kasus ini bergulir sekitar sebulan lamanya, dia tidak lagi dalam bayang-bayang atasan, atau pihak lain yang sempat menekannya. Semua risiko ini dia ambil karena lagi-lagi skenario yang telah disiapkan ternyata tak mempan. Bahkan jika skenario itu diteruskan bakal menjadi bumerang baginya.
Kian benderangnya pengungkapan kasus kematian Brigadir Yosua ini tentu sebuah kemajuan besar. Tanpa ada keberanian keluarga korban yang sejak awal menyangkal kasus ini, pemberitaan media, pemerhati masalah hukum, komitmen kapolri hingga perhatian besar Presiden Joko Widodo misalnya, rasanya skenario licik para pelaku ini sulit terbongkar. Lebih-lebih kasus ini, melibatkan banyak polisi. Bahkan di antaranya bukan sembarang orang, yakni seorang jenderal dengan otoritas tertinggi dalam hal penegakan aturan atau disiplin anggota.
Meski kian jelas seperti dengan ditetapkannya Irjen Sambo menjadi tersangka, saat ini publik masih menunggu hasil akhir pengungkapan atas kasus ini. Pengungkapan kasus ini yang relatif cepat memang patut diapresiasi, namun sejatinya ini belumlah final. Polisi saatnya menunjukkan benar-benar tetap bisa bekerja pada garis profesionalisme. Pun ketika ada sebuah kasus yang menyeret salah satu petingginya.
Kepercayaan publik atas kinerja Polri ini harus terus dijaga dengan baik. Terlepas dari jabatan dan posisi para pelakunya, mereka adalah sosok-sosok yang sejatinya memberikan perlindungan terhadap orang yang tak bersalah. Praktis, ketika otoritas dan amanat itu tidak diemban dengan baik, maka hukuman maksimal adalah menjadi konsekuensi logisnya. Pasal-pasal hukum untuk menjerat para pelaku tentu tidak boleh ditawar atau sembarang dipasang. Selain diduga kuat sengaja melakukan pembunuhan, ulah pelaku menyusun skenario busuk atas kasus ini jelas bisa memperberat sanksi yang akan mereka terima nanti.
Lebih-lebih jika sang aktor intelektual kasus pembunuhan ini adalah Irjen Ferdy Sambo, tentu perlu mendapat pengawalan hukum yang lebih ekstra. Para penegak hukum harus bisa melihat kasus ini secara jernih dengan tidak terpaku pada pasal-pasal Kitab Undang-Undang Hukum Piada (KUHP) semata misalnya. Mereka seperti yang pernah dikatakan pakar hukum dari Universitas Diponegoro Semarang Satjipto Rahardjo, dituntut bekerja progresif. Dengan progresivitas itu, maka keadilan yang dihasilkan nanti benar-benar bisa diterima oleh publik.
Kasus ini jelas bukanlah dalam lorong gelap. Artinya, siapa korban, siapa pelaku, saksi dan tempat kejadian perkara juga telah jelas. Jangan sampai pengungkapkan kasus ini justru antiklimaks. Di sinilah sejatinya aparat hukum dihadapkan tantangan yang tidak ringan. Mereka diharapkan benar-benar bekerja dengan basis hati nurani, bukan mengedepankan kepentingan kelompok seperti dengan dalih melindungi korps (esprit de corps) dan lain sebagainya. Untuk merekonstruksi hukum para penegak hukum harus berpijak pada nilai-nilai keadilan, bukan kepentingan yang lain.
Bagi kepolisian khususnya, pekerjaan ini diakui tidak mudah. Namun jika kepolisian bisa melewati ujian profesionalisme ini, maka sejatinya akan mendapatkan apresiasi dan kepercayaan lebih tinggi dari masyarakat. Jangan sampai reputasi yang dibangun oleh polisi atau pemerintah ini terlacurkan gara-gara kepentingan sempit.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda