Dulu dan Dilema

Senin, 25 Juli 2022 - 09:16 WIB
Kita hadirkan pendapat Jakob Oetama (1985) tentang pers dan demokratisasi berlangsung sejak masa 1950-an di Indonesia: “Pers Indonesia tidak sekadar menjajakan komoditi berita yang laku keras, tetapi sekaligus juga yang mempunyai perkaitan dan bobot untuk persoalan hidup bermasyarakat yang luas dan dalam.” Perkembangan (peran) pers turut dalam pasang surut demokrasi di Indonesia. Pers menjadi penting, berpengaruh meski kadang kewalahan untuk penegakkan demokrasi.

Demokrasi mengandung diksi penting: “kedaulatan”. Ghalim tak lupa memberi pengamatan untuk nasib surat kabar tua bernama Kedaulatan Rakyat, terbit sejak 27 September 1945. Pada 2022, Kedaulatan Rakyat masih terbit, mendatangi pembaca berselera membuka halaman-halaman kertas dan melipat setelah setelai menikmati beragam berita, artikel, dan iklan. Para pembaca model lama menantikan kedatangan koran di depan pintu rumah, mendatangi kios, atau membeli saat mobil berhenti di perempatan jalan. Konon, peristiwa itu dianggap orang-orang sekarang sebagai kerepotan dan “pemborosan”.

Kedaulatan Rakyat mementingkan idealisme ketimbang ekonomi berpamrih besar laba. Ghalim menjelaskan: “Loyalitas kepada rakyat itu bertahan hingga kini. Itu pula mengapa, kendati di tengah persaingan keras penerbitan pers dan kepungan media daring (new media), Kedaulatan Rakyat masih bisa bertahan hidup menyajikan informasi aktual, memberikan yang terbaik bagi pembacanya.”

Penjelasan itu bisa dibandingkan dengan terbitan (cetak) Kompas, 28 Juni 2022. Terbitan demi peringatan 57 tahun Kompas. Para pembaca disuguhi 56 halaman. Tebal dan menawarkan beragam soal. Terbitan itu mengumumkan pula masalah kesadaran tata hidup dengan teknologi digital. Kompas seperti berseru masih mengerti “teknologi percetakan” untuk pembaca berselera lama dan keseriusan dalam pembesarn (peran) pers gara-gara teknologi digital.

Pada 2002, diterbitkan lagi buku berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Semula, buku terbit 1980 oleh Departemen Penerangan dan Leknas-LIPI. Buku bermasa lalu. Buku menuntun kita mengetahui sejarah. Kita membaca sejarah sambil membuat pertimbangan penciptaan sejarah-sejarah baru di zaman (melulu) digital. Pembentukan sejarah pers edisi baru mengikutkan beragam masalah-masalah mengejutkan dan memprihatinkan.

Buku memuat klise pejabat departemen penerangan: “Kita semua menyadari betapa pentingnya peranan dan partisipasi pers Indonesia dalam pembangunan dewasa ini. Peranan itu di waktu-waktu mendatang akan makin meningkat.” Pendapat salah arah dan tak mewujud. Kini, kita sudah bercerai dengan departemen atau kementerian penerangan. Masalah peranan dan partisipasi justru dilema pers berlatar abad XXI.

Ghalim berkomentar tentang media dan revolusi mental bertokoh utama Joko Widodo: “Selain di televisi, anggaran publikasi juga dimaksimalkan dalam sosialisasi gerakan revolusi mental di media online, cetak, dan blog. Pesan yang disampaikan melalui media itu dikemas dalam bentuk iklan maupun berita promosi terselenggaranya kegiatan. Juga, berita yang memuat komentar atau pendapat pemerintah nasional dan daerah tentang pentingnya gerakan revolusi mental.” Kita diingatkan lagi masalah peranan dan partisipasi pers tapi kaidah (mungkin) berubah dibandingkan dengan lakon pada masa Orde Baru. Begitu.

Judul : Jurnalisme Yang Tergadai

Penulis : Ghalim Umabaihi

Cetak : 2022

Penerbit : Diomedia dan Independensia

Tebal : 148 halaman

ISBN : 978 623 5518 480
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More