Dulu dan Dilema
loading...
A
A
A
Bandung Mawardi
Penulis Selingan dan Nukilan (2022)
Pada 2022, dua tokoh pers diperingati 100 tahun: Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Di sejarah pers, mereka tenar saat mengelola Pedoman dan Indonesia Raya. Ketangguhan dua wartawan itu dilengkapi dengan kemahiran bersastra. Mereka dibentuk dan membentuk zaman, memberi pengisahan pers terlalu berbeda bila dibandingkan situasi abad XXI.
Dua tokoh biasa berhadapan atau berseberangan dengan penguasa. Nasib mereka tak selalu untung. Predikat sebagai wartawan justru menjadikan mereka makin berani saat masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Mereka tampil sebagai panutan, penggerak, dan penunjuk arah bagi perkembangan pers di Indonesia.
Mereka hidup zaman keramaian majalah dan koran cetak. Kesanggupan dan keberanian menulis dengan bahasa Indonesia memungkinkan ada dampak-dampak besar pers di Indonesia. Para wartawan masa lalu pun memiliki patokan-patokan untuk kemuliaan profesi. Sejak awal abad XX, kemunculan jurnalis berbarengan peningkatan jumlah elite terpelajar dan kapitalisme cetak. Di Indonesia, kita biasa membaca biografi para tokoh sering ganda. Mereka itu menjadi wartawan tapi juga penggerak dalam organisasi politik, pendidik di sekolah, sastrawan, mengelola penerbitan, dan lain-lain.
Masa lalu terlalu jauh. Kini, lakon berubah tak mungkin ditahankan. Ghalim Umabaihi memberi marah: “… tak jarang media daring dibikin dan dikelola oleh orang yang tidak punya pengalaman dalam dunia jurnalisme. Bahkan, untuk menjadi jurnalis, tak lagi perlu melewati seleksi dan pelatihan. Jurnalis hanya bermodalkan id card, tanpa wawasan jurnalisme.” Marah setelah melakukan pengamatan media daring bertumbuh subur. Pertumbuhan kadang tak menggirangkan.
Ghalim tak perlu membandingkan dengan tokoh-tokoh masa lalu. Ia bakal kelelahan saat mengajukan tata cara menjadi jurnalis berlatar masa lalu, sejak awal abad XX sampai Orde Baru. Babak-babak terlewati memunculkan heroisme dengan segala risiko. Para leluhur mungkin marah-marah bila mengetahui situasi pers mutakhir. Masa lalu itu terpanggil bila mendesak. Kini, kita menanggungkan pelbagai masalah saat koran dan majalah cetak berkurang dan media daring gampang bertambah.
Prihatin. Diksi itu dipilih Ghalim untuk mengurusi media daring malah pamer keamburadulan. Di catatan terlacak, Ghalim menjelaskan: “Itu mengapa, sejak kehadiran internet, media konvensional mulai merambah membikin media daring untuk melayani pembaca di dunia internet. Di Indonesia, surat kabar Republika memprakarsai transformasi ke daring pada 1994, disusul oleh Tempo, Kompas, Waspada, dan surat kabar lainnya dari tahun ke tahun.” Mutu mereka dianggap masih terjaga. Pada saat hampir bersamaan, mereka disusul dengan puluhan atau ratusan media daring (portal berita) sering tak bermutu.
Perkara bikin jengkel untuk media daring tak bemutu itu penggunaan bahasa Indonesia. Ghalim menanggapi tulisan-tulisan di media daring sering salah dan kacau dalam kebahasaan. Ada berita di media daring mencantumkan “protab”. Penulisan terbukti salah. Ghalim mengoreksi itu protap (prosedur tetap). Kejengkelan: “Kesalahan ini terjadi karena mengabaikan verifikasi. Jurnalis tidak mengkonfirmasi ke kamus bahasa Indonesia tentang diksi yang ditulis, minimal di laman pencarian Google.”
Dulu, bahasa Indonesia itu masalah besar dalam pers. Para tokoh berkomentar tanpa jemu. Goenawan Mohamad (1974) berbagi pendapat masalah pers dan bahasa di Indonesia masa 1970-an: “Pers sendiri makin lama makin berada dalam posisi untuk dipengaruhi, dan bukannya mempengaruhi. Peranannya akan lebih bersifat pasif. Tak mengapa. Perlu diingat bahwa pers memang merupakan tempat yang merekam kenyataan dalam kehidupan bahasa melalui teknologi percetakan. Yang menjadi persoalan: salah satu kenyataan yang kian penting dalam kehidupan bahasa Indonesia ialah pertumbuhan bahasa lisan – yang tak sepenuhnya siap direkam dan disebarluaskan dengan kondisi bahasa yang ada.”
Kita mencatat persoalan masa lalu itu “teknologi percetakan.” Pada abad XXI, kita sudah menanggungkan hidup dimanjakan dan diruwetkan dengan teknologi terlalu berbeda. Di media daring, bahasa Indonesia makin tak jelas bila masih ingin membedakan bahasa tulisan dan lisan. Pemicu paling tampak dalam penggunaan kata-kata untuk judul memicu penasaran para pembaca. Bahasa Indonesia tak baik-baik saja.
Ghalim masih memiliki perhatian-perhatian atas silam untuk mengomentari masalah-masalah mutakhir. Kita mengutip pendapat agak klise mengenai pers dan (edukasi) demokratisasi: “Di media massa konvensional, pesan-pesan edukasi itu datang dari jurnalis dan kalangan akademisi (ilmuwan), aktivis, politisi, bahkan masyarakat biasa. Dari kalangan jurnalis, pesan datang lewat produk jurnalisme seperti straight news, feature, maupun tajuk rencana.” Semua itu belum masa lalu. Penerbitan koran dan majalah (cetak) masih memungkinkan dalam seruan demokrasi dan kontrol sosial saat zaman terlalu berubah. Zaman sedang dilanda kebebalan. Media baru justru masih sulit menjamin ada lanjutan atau penambahan mutu dalam demokratisasi.
Kita hadirkan pendapat Jakob Oetama (1985) tentang pers dan demokratisasi berlangsung sejak masa 1950-an di Indonesia: “Pers Indonesia tidak sekadar menjajakan komoditi berita yang laku keras, tetapi sekaligus juga yang mempunyai perkaitan dan bobot untuk persoalan hidup bermasyarakat yang luas dan dalam.” Perkembangan (peran) pers turut dalam pasang surut demokrasi di Indonesia. Pers menjadi penting, berpengaruh meski kadang kewalahan untuk penegakkan demokrasi.
Demokrasi mengandung diksi penting: “kedaulatan”. Ghalim tak lupa memberi pengamatan untuk nasib surat kabar tua bernama Kedaulatan Rakyat, terbit sejak 27 September 1945. Pada 2022, Kedaulatan Rakyat masih terbit, mendatangi pembaca berselera membuka halaman-halaman kertas dan melipat setelah setelai menikmati beragam berita, artikel, dan iklan. Para pembaca model lama menantikan kedatangan koran di depan pintu rumah, mendatangi kios, atau membeli saat mobil berhenti di perempatan jalan. Konon, peristiwa itu dianggap orang-orang sekarang sebagai kerepotan dan “pemborosan”.
Kedaulatan Rakyat mementingkan idealisme ketimbang ekonomi berpamrih besar laba. Ghalim menjelaskan: “Loyalitas kepada rakyat itu bertahan hingga kini. Itu pula mengapa, kendati di tengah persaingan keras penerbitan pers dan kepungan media daring (new media), Kedaulatan Rakyat masih bisa bertahan hidup menyajikan informasi aktual, memberikan yang terbaik bagi pembacanya.”
Penjelasan itu bisa dibandingkan dengan terbitan (cetak) Kompas, 28 Juni 2022. Terbitan demi peringatan 57 tahun Kompas. Para pembaca disuguhi 56 halaman. Tebal dan menawarkan beragam soal. Terbitan itu mengumumkan pula masalah kesadaran tata hidup dengan teknologi digital. Kompas seperti berseru masih mengerti “teknologi percetakan” untuk pembaca berselera lama dan keseriusan dalam pembesarn (peran) pers gara-gara teknologi digital.
Pada 2002, diterbitkan lagi buku berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Semula, buku terbit 1980 oleh Departemen Penerangan dan Leknas-LIPI. Buku bermasa lalu. Buku menuntun kita mengetahui sejarah. Kita membaca sejarah sambil membuat pertimbangan penciptaan sejarah-sejarah baru di zaman (melulu) digital. Pembentukan sejarah pers edisi baru mengikutkan beragam masalah-masalah mengejutkan dan memprihatinkan.
Buku memuat klise pejabat departemen penerangan: “Kita semua menyadari betapa pentingnya peranan dan partisipasi pers Indonesia dalam pembangunan dewasa ini. Peranan itu di waktu-waktu mendatang akan makin meningkat.” Pendapat salah arah dan tak mewujud. Kini, kita sudah bercerai dengan departemen atau kementerian penerangan. Masalah peranan dan partisipasi justru dilema pers berlatar abad XXI.
Ghalim berkomentar tentang media dan revolusi mental bertokoh utama Joko Widodo: “Selain di televisi, anggaran publikasi juga dimaksimalkan dalam sosialisasi gerakan revolusi mental di media online, cetak, dan blog. Pesan yang disampaikan melalui media itu dikemas dalam bentuk iklan maupun berita promosi terselenggaranya kegiatan. Juga, berita yang memuat komentar atau pendapat pemerintah nasional dan daerah tentang pentingnya gerakan revolusi mental.” Kita diingatkan lagi masalah peranan dan partisipasi pers tapi kaidah (mungkin) berubah dibandingkan dengan lakon pada masa Orde Baru. Begitu.
Judul : Jurnalisme Yang Tergadai
Penulis : Ghalim Umabaihi
Cetak : 2022
Penerbit : Diomedia dan Independensia
Tebal : 148 halaman
ISBN : 978 623 5518 480
Penulis Selingan dan Nukilan (2022)
Pada 2022, dua tokoh pers diperingati 100 tahun: Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis. Di sejarah pers, mereka tenar saat mengelola Pedoman dan Indonesia Raya. Ketangguhan dua wartawan itu dilengkapi dengan kemahiran bersastra. Mereka dibentuk dan membentuk zaman, memberi pengisahan pers terlalu berbeda bila dibandingkan situasi abad XXI.
Dua tokoh biasa berhadapan atau berseberangan dengan penguasa. Nasib mereka tak selalu untung. Predikat sebagai wartawan justru menjadikan mereka makin berani saat masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Mereka tampil sebagai panutan, penggerak, dan penunjuk arah bagi perkembangan pers di Indonesia.
Mereka hidup zaman keramaian majalah dan koran cetak. Kesanggupan dan keberanian menulis dengan bahasa Indonesia memungkinkan ada dampak-dampak besar pers di Indonesia. Para wartawan masa lalu pun memiliki patokan-patokan untuk kemuliaan profesi. Sejak awal abad XX, kemunculan jurnalis berbarengan peningkatan jumlah elite terpelajar dan kapitalisme cetak. Di Indonesia, kita biasa membaca biografi para tokoh sering ganda. Mereka itu menjadi wartawan tapi juga penggerak dalam organisasi politik, pendidik di sekolah, sastrawan, mengelola penerbitan, dan lain-lain.
Masa lalu terlalu jauh. Kini, lakon berubah tak mungkin ditahankan. Ghalim Umabaihi memberi marah: “… tak jarang media daring dibikin dan dikelola oleh orang yang tidak punya pengalaman dalam dunia jurnalisme. Bahkan, untuk menjadi jurnalis, tak lagi perlu melewati seleksi dan pelatihan. Jurnalis hanya bermodalkan id card, tanpa wawasan jurnalisme.” Marah setelah melakukan pengamatan media daring bertumbuh subur. Pertumbuhan kadang tak menggirangkan.
Ghalim tak perlu membandingkan dengan tokoh-tokoh masa lalu. Ia bakal kelelahan saat mengajukan tata cara menjadi jurnalis berlatar masa lalu, sejak awal abad XX sampai Orde Baru. Babak-babak terlewati memunculkan heroisme dengan segala risiko. Para leluhur mungkin marah-marah bila mengetahui situasi pers mutakhir. Masa lalu itu terpanggil bila mendesak. Kini, kita menanggungkan pelbagai masalah saat koran dan majalah cetak berkurang dan media daring gampang bertambah.
Prihatin. Diksi itu dipilih Ghalim untuk mengurusi media daring malah pamer keamburadulan. Di catatan terlacak, Ghalim menjelaskan: “Itu mengapa, sejak kehadiran internet, media konvensional mulai merambah membikin media daring untuk melayani pembaca di dunia internet. Di Indonesia, surat kabar Republika memprakarsai transformasi ke daring pada 1994, disusul oleh Tempo, Kompas, Waspada, dan surat kabar lainnya dari tahun ke tahun.” Mutu mereka dianggap masih terjaga. Pada saat hampir bersamaan, mereka disusul dengan puluhan atau ratusan media daring (portal berita) sering tak bermutu.
Perkara bikin jengkel untuk media daring tak bemutu itu penggunaan bahasa Indonesia. Ghalim menanggapi tulisan-tulisan di media daring sering salah dan kacau dalam kebahasaan. Ada berita di media daring mencantumkan “protab”. Penulisan terbukti salah. Ghalim mengoreksi itu protap (prosedur tetap). Kejengkelan: “Kesalahan ini terjadi karena mengabaikan verifikasi. Jurnalis tidak mengkonfirmasi ke kamus bahasa Indonesia tentang diksi yang ditulis, minimal di laman pencarian Google.”
Dulu, bahasa Indonesia itu masalah besar dalam pers. Para tokoh berkomentar tanpa jemu. Goenawan Mohamad (1974) berbagi pendapat masalah pers dan bahasa di Indonesia masa 1970-an: “Pers sendiri makin lama makin berada dalam posisi untuk dipengaruhi, dan bukannya mempengaruhi. Peranannya akan lebih bersifat pasif. Tak mengapa. Perlu diingat bahwa pers memang merupakan tempat yang merekam kenyataan dalam kehidupan bahasa melalui teknologi percetakan. Yang menjadi persoalan: salah satu kenyataan yang kian penting dalam kehidupan bahasa Indonesia ialah pertumbuhan bahasa lisan – yang tak sepenuhnya siap direkam dan disebarluaskan dengan kondisi bahasa yang ada.”
Kita mencatat persoalan masa lalu itu “teknologi percetakan.” Pada abad XXI, kita sudah menanggungkan hidup dimanjakan dan diruwetkan dengan teknologi terlalu berbeda. Di media daring, bahasa Indonesia makin tak jelas bila masih ingin membedakan bahasa tulisan dan lisan. Pemicu paling tampak dalam penggunaan kata-kata untuk judul memicu penasaran para pembaca. Bahasa Indonesia tak baik-baik saja.
Ghalim masih memiliki perhatian-perhatian atas silam untuk mengomentari masalah-masalah mutakhir. Kita mengutip pendapat agak klise mengenai pers dan (edukasi) demokratisasi: “Di media massa konvensional, pesan-pesan edukasi itu datang dari jurnalis dan kalangan akademisi (ilmuwan), aktivis, politisi, bahkan masyarakat biasa. Dari kalangan jurnalis, pesan datang lewat produk jurnalisme seperti straight news, feature, maupun tajuk rencana.” Semua itu belum masa lalu. Penerbitan koran dan majalah (cetak) masih memungkinkan dalam seruan demokrasi dan kontrol sosial saat zaman terlalu berubah. Zaman sedang dilanda kebebalan. Media baru justru masih sulit menjamin ada lanjutan atau penambahan mutu dalam demokratisasi.
Kita hadirkan pendapat Jakob Oetama (1985) tentang pers dan demokratisasi berlangsung sejak masa 1950-an di Indonesia: “Pers Indonesia tidak sekadar menjajakan komoditi berita yang laku keras, tetapi sekaligus juga yang mempunyai perkaitan dan bobot untuk persoalan hidup bermasyarakat yang luas dan dalam.” Perkembangan (peran) pers turut dalam pasang surut demokrasi di Indonesia. Pers menjadi penting, berpengaruh meski kadang kewalahan untuk penegakkan demokrasi.
Demokrasi mengandung diksi penting: “kedaulatan”. Ghalim tak lupa memberi pengamatan untuk nasib surat kabar tua bernama Kedaulatan Rakyat, terbit sejak 27 September 1945. Pada 2022, Kedaulatan Rakyat masih terbit, mendatangi pembaca berselera membuka halaman-halaman kertas dan melipat setelah setelai menikmati beragam berita, artikel, dan iklan. Para pembaca model lama menantikan kedatangan koran di depan pintu rumah, mendatangi kios, atau membeli saat mobil berhenti di perempatan jalan. Konon, peristiwa itu dianggap orang-orang sekarang sebagai kerepotan dan “pemborosan”.
Kedaulatan Rakyat mementingkan idealisme ketimbang ekonomi berpamrih besar laba. Ghalim menjelaskan: “Loyalitas kepada rakyat itu bertahan hingga kini. Itu pula mengapa, kendati di tengah persaingan keras penerbitan pers dan kepungan media daring (new media), Kedaulatan Rakyat masih bisa bertahan hidup menyajikan informasi aktual, memberikan yang terbaik bagi pembacanya.”
Penjelasan itu bisa dibandingkan dengan terbitan (cetak) Kompas, 28 Juni 2022. Terbitan demi peringatan 57 tahun Kompas. Para pembaca disuguhi 56 halaman. Tebal dan menawarkan beragam soal. Terbitan itu mengumumkan pula masalah kesadaran tata hidup dengan teknologi digital. Kompas seperti berseru masih mengerti “teknologi percetakan” untuk pembaca berselera lama dan keseriusan dalam pembesarn (peran) pers gara-gara teknologi digital.
Pada 2002, diterbitkan lagi buku berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Semula, buku terbit 1980 oleh Departemen Penerangan dan Leknas-LIPI. Buku bermasa lalu. Buku menuntun kita mengetahui sejarah. Kita membaca sejarah sambil membuat pertimbangan penciptaan sejarah-sejarah baru di zaman (melulu) digital. Pembentukan sejarah pers edisi baru mengikutkan beragam masalah-masalah mengejutkan dan memprihatinkan.
Buku memuat klise pejabat departemen penerangan: “Kita semua menyadari betapa pentingnya peranan dan partisipasi pers Indonesia dalam pembangunan dewasa ini. Peranan itu di waktu-waktu mendatang akan makin meningkat.” Pendapat salah arah dan tak mewujud. Kini, kita sudah bercerai dengan departemen atau kementerian penerangan. Masalah peranan dan partisipasi justru dilema pers berlatar abad XXI.
Ghalim berkomentar tentang media dan revolusi mental bertokoh utama Joko Widodo: “Selain di televisi, anggaran publikasi juga dimaksimalkan dalam sosialisasi gerakan revolusi mental di media online, cetak, dan blog. Pesan yang disampaikan melalui media itu dikemas dalam bentuk iklan maupun berita promosi terselenggaranya kegiatan. Juga, berita yang memuat komentar atau pendapat pemerintah nasional dan daerah tentang pentingnya gerakan revolusi mental.” Kita diingatkan lagi masalah peranan dan partisipasi pers tapi kaidah (mungkin) berubah dibandingkan dengan lakon pada masa Orde Baru. Begitu.
Judul : Jurnalisme Yang Tergadai
Penulis : Ghalim Umabaihi
Cetak : 2022
Penerbit : Diomedia dan Independensia
Tebal : 148 halaman
ISBN : 978 623 5518 480
(hdr)