Menagih Gagasan Para Capres
Jum'at, 24 Juni 2022 - 17:52 WIB
MANUVER elite politik semakin intens untuk mencari pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) yang akan diusung pada Pilpres 2024—diwarnai saling lempar pujian antartokoh parpol yang sedang gencar mencari pasangan koalisi. Setelah saling umbar pujian dilanjutkan dengan pertemuan yang lebih intim dan akrab diabadikan oleh para wartawan dan ditayangkan dan disiarkan di media massa nasional.
Momen-momen simbolik ini pun juga disiarkan langsung di akun media sosial masing-masing tokoh dengan narasi yang sedemikian rupa untuk menunjukkan kehebatan sang tokoh sehingga dianggap paling layak dicalonkan menjadi capres atau cawapres.
Bagi masyarakat yang sedang merasakan berbagai impitan kesulitan hidup, perilaku para elite ini adalah hiburan sekaligus harapan. Tapi, tidak sedikit yang menilai ini hanya hiburan simbolik belaka tanpa makna seperti orang yang sedang demam main Tiktok. Hiburan simbolik ketika harga telur ayam dan cabai merah meroket, ketika pembelian pertalite segera dibatasi, ketika pajak pertambahan nilai (PPN) dinaikkan, ketika pajak dan pungutan semakin beragam, ketika mencari sekolah negeri semakin susah dan sebagainya.
Apalagi dua tahun pandemi sudah cukup melelahkan bagi masyarakat. Saat inilah rakyat butuh hiburan. Rupanya elite paham betul apa yang dimaui rakyat dalam konteks ini. Para tokoh parpol, pemegang kunci tunggal dalam pencapresan, sibuk luar biasa. Keliling daerah, anjangsana, bertemu para tokoh, menyusun jadwal wawancara dengan media massa atau dengan pemilik akun-akun besar di YouTube. Nyaris jadwal para tokoh parpol ini luar biasa padat. Tak lupa terus memelototi level popularitas dan elektabilitas yang hampir tiap bulan dirilis oleh berbagai lembaga survei.
Masyarakat yang kritis pasti tidak cukup hanya diberi hiburan simbolik oleh para elite parpol itu. Karena dari sisi kreativitas, apa yang mereka lakukan dari pemilu ke pemilu itu mirip-mirip atau bahkan sama saja. Istilahnya copy-paste terus diedit sedikit. Cuma diganti lokasi dan waktu peristiwanya saja. Pola-polanya sama dengan Pemilu 2014 dan 2019. Mungkin para konsultan, tim kampanye, tim pemenangan atau apa pun namanya perlu lebih kreatif lagi. Karena publik, penonton, atau netizen hampir sudah bisa menebak apa yang dimaui para elite ini.
Publik sadar betul, menjelang pemilu para elite pasti akan cari-cari perhatian, makin intens main medsos, makin sering nongkrong di warung, naik kendaraan umum, tidur di emperan, ikut menyapu jalan, membersihkan sampah, menyamar jadi tukang bakso, dan seterusnya. Sebagai upaya mencari popularitas hal itu sah saja. Tapi jika bisa dinaikkan levelnya menjadi lebih substantif akan lebih baik. Jangan menilai rakyat tidak perlu diberikan hal-hal yang serius.
Revolusi informasi dan komunikasi yang sangat pesat membuat publik semakin paham bagaimana seharusnya para pemimpin ini mengendalikan bangsa dan negara. Mereka bisa dengan mudah membandingkan gaya kampanye elite kita dengan gaya kampanye elite di negara lain. Bahkan jejak-jejak digital pun begitu mudah diperoleh. Bukankah rakyat kita terkenal karena memiliki memori yang pendek? Mungkin benar. Tapi kemudahan akses data dan informasi bisa memperpanjang memori itu yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesadaran dan literasi politik publik—terutama di kalangan anak-anak muda milenial yang akan menjadi penentu Pilpres 2024.
Jika boleh menyarankan, sebaiknya para elite bisa meningkatkan level pendekatannya kepada publik dengan menawarkan ide dan gagasannya dalam memperbaiki semua masalah yang dihadapi rakyat. Soal tidak terkendalinya harga sembako di pasar, belum ada jawaban yang memuaskan jika hanya operasi pasar dan operasi pasar.
Terbukti problem minyak goreng juga belum selesai sampai sekarang. Soal pemanfaatan infrastruktur yang sudah dibangun Presiden Jokowi, misalnya. Ini juga belum terdengar. Bagaimana memaksimalkan ribuan kilometer jalan tol trans-Jawa, trans-Sumatera atau trans-Papua yang sudah dibangun dengan keringat dan air mata itu.
Akan sangat elok jika ruang publik yang riuh dengan politik “copras-capres” ini diisi dengan visi-misi para calon untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Visi-misi mereka akan dijadikan barometer seberapa besar pemahaman mereka terhadap problem bangsa, seberapa tajam solusi yang ditawarkan dan seberapa tinggi motivasi si calon ini untuk maju sebagai capres atau cawapres. Jika publik bisa melihat visi-misi itu, mereka akan menentukan pilihan secara rasional, bukan emosional karena si A anaknya si B, cucunya si D dekat dengan si E atau didukung tokoh F,G,H, I, J dan sebagainya.
Baca Juga: koran-sindo.com
Momen-momen simbolik ini pun juga disiarkan langsung di akun media sosial masing-masing tokoh dengan narasi yang sedemikian rupa untuk menunjukkan kehebatan sang tokoh sehingga dianggap paling layak dicalonkan menjadi capres atau cawapres.
Bagi masyarakat yang sedang merasakan berbagai impitan kesulitan hidup, perilaku para elite ini adalah hiburan sekaligus harapan. Tapi, tidak sedikit yang menilai ini hanya hiburan simbolik belaka tanpa makna seperti orang yang sedang demam main Tiktok. Hiburan simbolik ketika harga telur ayam dan cabai merah meroket, ketika pembelian pertalite segera dibatasi, ketika pajak pertambahan nilai (PPN) dinaikkan, ketika pajak dan pungutan semakin beragam, ketika mencari sekolah negeri semakin susah dan sebagainya.
Apalagi dua tahun pandemi sudah cukup melelahkan bagi masyarakat. Saat inilah rakyat butuh hiburan. Rupanya elite paham betul apa yang dimaui rakyat dalam konteks ini. Para tokoh parpol, pemegang kunci tunggal dalam pencapresan, sibuk luar biasa. Keliling daerah, anjangsana, bertemu para tokoh, menyusun jadwal wawancara dengan media massa atau dengan pemilik akun-akun besar di YouTube. Nyaris jadwal para tokoh parpol ini luar biasa padat. Tak lupa terus memelototi level popularitas dan elektabilitas yang hampir tiap bulan dirilis oleh berbagai lembaga survei.
Masyarakat yang kritis pasti tidak cukup hanya diberi hiburan simbolik oleh para elite parpol itu. Karena dari sisi kreativitas, apa yang mereka lakukan dari pemilu ke pemilu itu mirip-mirip atau bahkan sama saja. Istilahnya copy-paste terus diedit sedikit. Cuma diganti lokasi dan waktu peristiwanya saja. Pola-polanya sama dengan Pemilu 2014 dan 2019. Mungkin para konsultan, tim kampanye, tim pemenangan atau apa pun namanya perlu lebih kreatif lagi. Karena publik, penonton, atau netizen hampir sudah bisa menebak apa yang dimaui para elite ini.
Publik sadar betul, menjelang pemilu para elite pasti akan cari-cari perhatian, makin intens main medsos, makin sering nongkrong di warung, naik kendaraan umum, tidur di emperan, ikut menyapu jalan, membersihkan sampah, menyamar jadi tukang bakso, dan seterusnya. Sebagai upaya mencari popularitas hal itu sah saja. Tapi jika bisa dinaikkan levelnya menjadi lebih substantif akan lebih baik. Jangan menilai rakyat tidak perlu diberikan hal-hal yang serius.
Revolusi informasi dan komunikasi yang sangat pesat membuat publik semakin paham bagaimana seharusnya para pemimpin ini mengendalikan bangsa dan negara. Mereka bisa dengan mudah membandingkan gaya kampanye elite kita dengan gaya kampanye elite di negara lain. Bahkan jejak-jejak digital pun begitu mudah diperoleh. Bukankah rakyat kita terkenal karena memiliki memori yang pendek? Mungkin benar. Tapi kemudahan akses data dan informasi bisa memperpanjang memori itu yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesadaran dan literasi politik publik—terutama di kalangan anak-anak muda milenial yang akan menjadi penentu Pilpres 2024.
Jika boleh menyarankan, sebaiknya para elite bisa meningkatkan level pendekatannya kepada publik dengan menawarkan ide dan gagasannya dalam memperbaiki semua masalah yang dihadapi rakyat. Soal tidak terkendalinya harga sembako di pasar, belum ada jawaban yang memuaskan jika hanya operasi pasar dan operasi pasar.
Terbukti problem minyak goreng juga belum selesai sampai sekarang. Soal pemanfaatan infrastruktur yang sudah dibangun Presiden Jokowi, misalnya. Ini juga belum terdengar. Bagaimana memaksimalkan ribuan kilometer jalan tol trans-Jawa, trans-Sumatera atau trans-Papua yang sudah dibangun dengan keringat dan air mata itu.
Akan sangat elok jika ruang publik yang riuh dengan politik “copras-capres” ini diisi dengan visi-misi para calon untuk membawa kemajuan bangsa Indonesia ke depan. Visi-misi mereka akan dijadikan barometer seberapa besar pemahaman mereka terhadap problem bangsa, seberapa tajam solusi yang ditawarkan dan seberapa tinggi motivasi si calon ini untuk maju sebagai capres atau cawapres. Jika publik bisa melihat visi-misi itu, mereka akan menentukan pilihan secara rasional, bukan emosional karena si A anaknya si B, cucunya si D dekat dengan si E atau didukung tokoh F,G,H, I, J dan sebagainya.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda