PN Surabaya Sahkan Nikah Beda Agama, Guru Besar UIN: Bakal Melahirkan Putusan Serupa

Jum'at, 24 Juni 2022 - 06:37 WIB
Dalam konteks keyakinan Islam, Jumhur ulama Muslim sepakat bahwa perkawinan beda keyakinan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, UU Perkawinan mengakomodasinya dalam Pasal 2 ayat (1) yang meniscayakan keabsahan suatu perkawinan hanya jika dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Demikian pula pada pasal 8 ditegaskan tentang ketidakbolehan perkawinan yang dilarang agama. Larangan ini juga sejatinya dianut oleh berbagai agama, meski dengan pengecualian atau dispensasi. Dia menyebut ada sejumlah celah hukum yang dimanfaatkan pelaku nikah beda agama sehingga norma ini sering kali tidak fungsional.

“Sejumlah modus biasa dilakukan untuk keluar dari jerat hukum ini, mulai dengan mencari celah hukum, menundukkan diri pada agama salah satu pasangan, menikah di luar negeri untuk menghindari kerumitan aturan di negeri sendiri, menikah di bawah payung organisasi non pemerintah (NGOs), hingga ruang-ruang kepentingan administratif kenegaraan yang meniscayakan pencatatan dalam dokumen negara,” jelas Tholabi.

Menurut dia, benturan atau pergesekan antara keyakinan keagamaan, pemenuhan akan hak-hak dasar manusia, serta kepentingan data kependudukan akan terus terjadi dan saling menafikan. Inilah muara dari persoalan itu. “Fakta tentang banyaknya peristiwa perkawinan beda agama yang mendapatkan legitimasi dari Catatan Sipil atau Pengadilan menunjukkan adanya keragaman tafsir dan kecenderungan pihak-pihak terkait dalam menafsirkan norma hukum nikah beda agama,” terang Tholabi.

Dia menunjuk salah satu diktum menimbang putusan hakim PN Surabaya yang menyebutkan bahwa ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang sahnya suatu perkawinan apabila dilakukan menurut tata cara agama atau kepercayaan yang dianut oleh calon pasangan suami istri yang in casu hal ini tidak mungkin dilakukan oleh Para Pemohon yang memiliki perbedaan Agama.

Ketua Forum Dekan Syariah dan Hukum Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) se Indonesia ini menganggap perlu menyempurnakan dan sinkronisasi aturan mengenai perkawinan di Indonesia. “Adanya dualisme terkait keabsahan di satu sisi dan keharusan mencatatkan peristiwa perkawinan dalam dokumen negara di siss lain tampaknya harus segera diakhiri. Karena muaranya dari sini," tandas Tholabi.

Menurut dia, norma yang terkandung dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan sangat subjektif sehingga membuka peluang untuk ditafsirkan secara beragam dan pada tataran implementasi norma ini dengan sangat mudah ‘disiasati’ agar dapat dilaksanakan dan mendapatkan legitimasi negara tanpa perlu meninggalkan agama atau kepercayaan asalnya.

“Saya kira dalam konteks hukum perkawinan, negara harus tetap hadir melindungi keyakinan warga negaranya, memenuhi hak-hak dasarnya, serta memberikan legitimasi terhadap semua peristiwa hukum yang dilakukan warga negaranya,” kata Tholabi.
(cip)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More