UU KPK Tak Diteken Jokowi, Bagir Manan: Itu Anomali Ketatanegaraan
Rabu, 24 Juni 2020 - 19:25 WIB
Pakar hukum Bagir Manan menilai hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) tetap mempunyai kekuatan hukum yang sah meski tanpa tanda tangan Presiden Joko Widodo ( Jokowi ). Hanya, dia menyebutkan ada keanehan dengan orang nomor 1 di tampuk pemerintahan itu.
Menurut dia adalah sebuah anomali seorang presiden tidak membubuhkan tandatangan pada UU. Merujuk pada UUD 1945, sebuah RUU secara otomatis menjadi undang-undang dalam 30 hari walaupun tidak ditandatangani presiden. Namun, prosedur itu merupakan anomali praktek ketatanegaraan karena RUU merupakan produk kesepakatan bersama DPR dan presiden.
(Baca: Jokowi Klaim Selalu Pakai Data Sains untuk Kebijakan Penanganan Covid-19)
“Tidak mungkin Rancangan Undang-Undang KPK baru itu sampai kepada Presiden untuk disahkan tanpa terlebih dahulu ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden,” kata Bagir saat menjadi ahli pemohon dalam sidang uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6/2020).
Mantan Ketua Mahkamah Agung itu menjelaskan, anomali yang dimaksud adalah prosedural maupun substansial, yaitu adalah tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan undang-undang yang baik. Menurut Bagir, sebagai suatu beleid atau diskresi dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, presiden seharusnya memberikan penjelasan kepada publik terkait alasan tidak menandatangani UU KPK hasil revisi tersebut.
(Baca: Jika Tak Batalkan UU 2/2020, Minimal MK Gugurkan Pasal 27)
“Keputusan Presiden membiarkan Rancangan Undang-Undang KPK menjadi undang-undang tanpa pengesahan, semestinya disertai alasan-alasan yang cukup yang dapat diketahui publik,” imbuh mantan Ketua Dewan Pers Indonesia itu.
Sebagai informasi, revisi UU KPK Nomor 30 tahun 2002 itu telah disahkan menjadi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 melalui Rapat Paripurna ke-9 DPR pada pertengahan September 2019. Namun, beleid itu menuai kecaman publik hingga akhirnya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Beberapa pemohon di antaranya yaitu para mantan pimpinan KPK periode 2015-2019 seperti Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang. Selain ketiganya, beberapa pegiat antikorupsi juga melakukan gugatan terhadap UU KPK hasil revisi. Mereka antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Mochamad Jasin, Jovi Andrea Bachtiar, Sholikhah, dan lainnya.
Menurut dia adalah sebuah anomali seorang presiden tidak membubuhkan tandatangan pada UU. Merujuk pada UUD 1945, sebuah RUU secara otomatis menjadi undang-undang dalam 30 hari walaupun tidak ditandatangani presiden. Namun, prosedur itu merupakan anomali praktek ketatanegaraan karena RUU merupakan produk kesepakatan bersama DPR dan presiden.
(Baca: Jokowi Klaim Selalu Pakai Data Sains untuk Kebijakan Penanganan Covid-19)
“Tidak mungkin Rancangan Undang-Undang KPK baru itu sampai kepada Presiden untuk disahkan tanpa terlebih dahulu ada persetujuan bersama antara DPR dan Presiden,” kata Bagir saat menjadi ahli pemohon dalam sidang uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK di Mahkamah Konstitusi, Rabu (24/6/2020).
Mantan Ketua Mahkamah Agung itu menjelaskan, anomali yang dimaksud adalah prosedural maupun substansial, yaitu adalah tidak sesuai dengan asas atau prinsip umum pembentukan undang-undang yang baik. Menurut Bagir, sebagai suatu beleid atau diskresi dalam tatanan demokrasi dan negara hukum, presiden seharusnya memberikan penjelasan kepada publik terkait alasan tidak menandatangani UU KPK hasil revisi tersebut.
(Baca: Jika Tak Batalkan UU 2/2020, Minimal MK Gugurkan Pasal 27)
“Keputusan Presiden membiarkan Rancangan Undang-Undang KPK menjadi undang-undang tanpa pengesahan, semestinya disertai alasan-alasan yang cukup yang dapat diketahui publik,” imbuh mantan Ketua Dewan Pers Indonesia itu.
Sebagai informasi, revisi UU KPK Nomor 30 tahun 2002 itu telah disahkan menjadi UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 melalui Rapat Paripurna ke-9 DPR pada pertengahan September 2019. Namun, beleid itu menuai kecaman publik hingga akhirnya mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Beberapa pemohon di antaranya yaitu para mantan pimpinan KPK periode 2015-2019 seperti Agus Rahardjo, Laode M Syarief, dan Saut Situmorang. Selain ketiganya, beberapa pegiat antikorupsi juga melakukan gugatan terhadap UU KPK hasil revisi. Mereka antara lain eks pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, Mochamad Jasin, Jovi Andrea Bachtiar, Sholikhah, dan lainnya.
(muh)
tulis komentar anda