Cegah Cara-cara Kotor, Fahri Hamzah Usul Pemerintah Tanggung Dana Parpol 100%
Minggu, 19 Juni 2022 - 09:02 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelora Fahri Hamzah menyinggung adanya cara-cara kotor yang kerap ditemui saat pemilu di Indonesia seperti di antaranya ‘serangan fajar’, perang alat peraga, pembagian bantuan sosial (bansos), bukan adu gagasan-gagasan untuk membawa perubahan lebih baik untuk bangsa.
“Setiap pemilu yang harusnya itu momentum memunculkan gagasan kebangsaan baru, membiarkan pemimpin kita untuk menunjukkan bahwa dia mampu menghadapi persoalan bangsa,” kata Fahri dalam webinar nasional kelas Komunikasi Politik, Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana yang bertajuk “Parliamentary Threshold: Sebuah Tantangan Bagi Partai Baru” melalui siaran Zoom, Sabtu, 18 Juni 2022.
Kemudian, Fahri pun mengusulkan, semestinya pemerintah menanggung 100% biaya pemilu, termasuk dana untuk partai politik (Parpol). Pasalnya, parpol dan para kandidatnya harus difasilitasi negara, sebab kalau tidak nanti menyebabkan orang-orang yang punya banyak uang, menyelinap membiayai partai politik.
“Jika biaya politik ditanggung tiap individu, nantinya tokoh politik merasa harus mengembalikan modal yang dia keluarkan untuk jabatan tertentu. Terlebih, biaya politik di Indonesia tidak murah,” gagasnya.
Politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini pun khawatir para tokoh politik sudah menganggap dana yang dikeluarkan selama kampanye adalah biaya pribadinya, maka yang terjadi berikutnya adalah mereka akan mengatakan sekarang harus balik modal. “Atau bohir-bohir (pemodal) yang membayar dia lalu kemudian ingin modalnya supaya dibalikin,” bebernya.
Menurut dia, dampak dari fenomena politik seperti itu berpotensi untuk menciptakan regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada masyarakat dan ini yang secara halus atau kasar nampak pada hari-hari ini di depan mata. Fenomena ini juga ancaman bagi demokrasi Indonesia, karena semakin besar potensi transaksi dalam politik
Bahkan, Fahri menambahkan, setiap upaya untuk memonetisasi pertarungan ide ini berbahaya, makanya harus ada keseriusan Pemerintah untuk membahas cara bagaimana membiayai pemilu. “Menurut saya ini adalah lingkaran setan yang harus kita putus melalui menyadari kembali bahwa demokrasi adalah pertarungan ide,” tandasnya.
“Setiap pemilu yang harusnya itu momentum memunculkan gagasan kebangsaan baru, membiarkan pemimpin kita untuk menunjukkan bahwa dia mampu menghadapi persoalan bangsa,” kata Fahri dalam webinar nasional kelas Komunikasi Politik, Magister Komunikasi Universitas Mercu Buana yang bertajuk “Parliamentary Threshold: Sebuah Tantangan Bagi Partai Baru” melalui siaran Zoom, Sabtu, 18 Juni 2022.
Kemudian, Fahri pun mengusulkan, semestinya pemerintah menanggung 100% biaya pemilu, termasuk dana untuk partai politik (Parpol). Pasalnya, parpol dan para kandidatnya harus difasilitasi negara, sebab kalau tidak nanti menyebabkan orang-orang yang punya banyak uang, menyelinap membiayai partai politik.
“Jika biaya politik ditanggung tiap individu, nantinya tokoh politik merasa harus mengembalikan modal yang dia keluarkan untuk jabatan tertentu. Terlebih, biaya politik di Indonesia tidak murah,” gagasnya.
Politikus asal Nusa Tenggara Barat (NTB) ini pun khawatir para tokoh politik sudah menganggap dana yang dikeluarkan selama kampanye adalah biaya pribadinya, maka yang terjadi berikutnya adalah mereka akan mengatakan sekarang harus balik modal. “Atau bohir-bohir (pemodal) yang membayar dia lalu kemudian ingin modalnya supaya dibalikin,” bebernya.
Menurut dia, dampak dari fenomena politik seperti itu berpotensi untuk menciptakan regulasi-regulasi yang tidak berpihak pada masyarakat dan ini yang secara halus atau kasar nampak pada hari-hari ini di depan mata. Fenomena ini juga ancaman bagi demokrasi Indonesia, karena semakin besar potensi transaksi dalam politik
Bahkan, Fahri menambahkan, setiap upaya untuk memonetisasi pertarungan ide ini berbahaya, makanya harus ada keseriusan Pemerintah untuk membahas cara bagaimana membiayai pemilu. “Menurut saya ini adalah lingkaran setan yang harus kita putus melalui menyadari kembali bahwa demokrasi adalah pertarungan ide,” tandasnya.
(cip)
tulis komentar anda