Polemik Penentuan Harga Listrik Panas Bumi
Selasa, 14 Juni 2022 - 14:29 WIB
Faris Pradana
Mahasiswa Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia
INDONESIA memiliki potensi panas bumi sekitar 24 GW. Dalam usaha memenuhi bauran energi baru terbarukan (EBT), panas bumi menjadi salah satu sumber energi yang diandalkan. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM melalui website resminya target yang ditetapkan untuk pemanfaatan panas bumi sebesar 7.241 MW, namun hingga saat ini hanya tercapai 2,13 GW.
Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam pengembangan panas bumi adalah polemik tarik ulur harga jual listrik yang dihasilkan oleh pengembang panas bumi dengan PT. PLN. Meskipun dalam Peraturan Menteri ESDM No. 17/2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Uap Panas Bumi untuk PLTP oleh PLN telah diatur harga patokan tertinggi antara WKP, namun harga yang ditetapkan dinilai terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan pengembangan EBT lainnya. Dalam Peraturan Menteri ESDM tersebut harga untuk saat ini pada Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) I adalah 13,8 sen dolar dan 20,0 sen dolar untuk WKP II serta 27,4 sen dolar untuk WKP III.
Tujuan dari adanya kebijakan ini tidak lain adalah untuk memberikan kepastian kepada pihak pengembang atas harga jual-beli listrik panas bumi dan sekaligus memberi batasan harga agar tidak memberatkan PLN.
Meskipun pemerintah telah berupaya memberikan harga patokan tertinggi, namun harus dimengerti bahwa pasar harga jual listrik untuk semua sumber energi merupakan pasar monopsoni. Dalam pasar monopsoni ini PT PLN selaku pembeli tunggal pasti sedikit-banyak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga meskipun pemerintah telah menetapkan skema feed-in tariff dan harga patokan tertinggi, sehingga bisa jadi harga yang telah ditetapkan dalam feed-in tariff dan harga patokan tertinggi tidak disepakati oleh PLN, sementara pihak pengembang menginginkan harga yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Sedangkan harga listrik dari energi panas bumi dinilai relatif lebih tinggi apabila dibandingka dengan sumber energi batubara.
Sebagai gambaran, harga listrik panas bumi dipatok antara 7-13 sen dollar per kWh sedangkan harga listrik dari batubara dan EBT Surya berkisar 5 sen dolar per kWh. Dengan alasan ini pula, maka PLN sebagai monopsonis akan lebih memilih sumber energi lainnya dengan biaya yang lebih rendah. Apalagi untuk saat ini melalui Undang-undang Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi beserta turunannya belum mewajibkan PT PLN untuk membeli listrik dari panas bumi. Dengan kekuatan monopsonis memengaruhi harga, maka harga yang dipatok oleh PT PLN untuk listrik dari panas bumi akan rendah. Dengan rendahnya harga, maka tidak banyak pihak pengembang yang mau berinvestasi pada panas bumi sehingga kuantitas listrik dari EBT panas bumi akan terus sedikit.
Kebijakan Mendatang
Dalam draf RUU EBT Pasal 40 menyebutkan bahwa nantinya PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan, dan mungkin akan dikenakan sanksi apabila PLN tidak membeli listrik dari EBT. Namun di sisi lainnya jika pemerintah tetap menggunakan skema feed-in tariff, harga patokan tertinggi ataupun price minimum, juga harus mempertimbangkan kekuatan PLN. Apakah hal ini akan membebani PLN atau tidak. Jika harga pada skema di atas terlalu tinggi, maka PLN akan terbebani, dan PLN akan mengurangi kuantitas listrik dari panas bumi dan sekali lagi akan terjadi inefisiensi. Jika gap selisih harga dibayarkan oleh pemerintah pusat, di satu sisi hal ini akan membebani keuangan negara.
Mahasiswa Program Studi Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia
INDONESIA memiliki potensi panas bumi sekitar 24 GW. Dalam usaha memenuhi bauran energi baru terbarukan (EBT), panas bumi menjadi salah satu sumber energi yang diandalkan. Menurut Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM melalui website resminya target yang ditetapkan untuk pemanfaatan panas bumi sebesar 7.241 MW, namun hingga saat ini hanya tercapai 2,13 GW.
Salah satu hal yang menjadi permasalahan dalam pengembangan panas bumi adalah polemik tarik ulur harga jual listrik yang dihasilkan oleh pengembang panas bumi dengan PT. PLN. Meskipun dalam Peraturan Menteri ESDM No. 17/2014 tentang Pembelian Tenaga Listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Uap Panas Bumi untuk PLTP oleh PLN telah diatur harga patokan tertinggi antara WKP, namun harga yang ditetapkan dinilai terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan pengembangan EBT lainnya. Dalam Peraturan Menteri ESDM tersebut harga untuk saat ini pada Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) I adalah 13,8 sen dolar dan 20,0 sen dolar untuk WKP II serta 27,4 sen dolar untuk WKP III.
Tujuan dari adanya kebijakan ini tidak lain adalah untuk memberikan kepastian kepada pihak pengembang atas harga jual-beli listrik panas bumi dan sekaligus memberi batasan harga agar tidak memberatkan PLN.
Meskipun pemerintah telah berupaya memberikan harga patokan tertinggi, namun harus dimengerti bahwa pasar harga jual listrik untuk semua sumber energi merupakan pasar monopsoni. Dalam pasar monopsoni ini PT PLN selaku pembeli tunggal pasti sedikit-banyak mempunyai kekuatan untuk menentukan harga meskipun pemerintah telah menetapkan skema feed-in tariff dan harga patokan tertinggi, sehingga bisa jadi harga yang telah ditetapkan dalam feed-in tariff dan harga patokan tertinggi tidak disepakati oleh PLN, sementara pihak pengembang menginginkan harga yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Sedangkan harga listrik dari energi panas bumi dinilai relatif lebih tinggi apabila dibandingka dengan sumber energi batubara.
Sebagai gambaran, harga listrik panas bumi dipatok antara 7-13 sen dollar per kWh sedangkan harga listrik dari batubara dan EBT Surya berkisar 5 sen dolar per kWh. Dengan alasan ini pula, maka PLN sebagai monopsonis akan lebih memilih sumber energi lainnya dengan biaya yang lebih rendah. Apalagi untuk saat ini melalui Undang-undang Nomor 21/2014 tentang Panas Bumi beserta turunannya belum mewajibkan PT PLN untuk membeli listrik dari panas bumi. Dengan kekuatan monopsonis memengaruhi harga, maka harga yang dipatok oleh PT PLN untuk listrik dari panas bumi akan rendah. Dengan rendahnya harga, maka tidak banyak pihak pengembang yang mau berinvestasi pada panas bumi sehingga kuantitas listrik dari EBT panas bumi akan terus sedikit.
Kebijakan Mendatang
Dalam draf RUU EBT Pasal 40 menyebutkan bahwa nantinya PLN wajib membeli listrik yang dihasilkan dari energi terbarukan, dan mungkin akan dikenakan sanksi apabila PLN tidak membeli listrik dari EBT. Namun di sisi lainnya jika pemerintah tetap menggunakan skema feed-in tariff, harga patokan tertinggi ataupun price minimum, juga harus mempertimbangkan kekuatan PLN. Apakah hal ini akan membebani PLN atau tidak. Jika harga pada skema di atas terlalu tinggi, maka PLN akan terbebani, dan PLN akan mengurangi kuantitas listrik dari panas bumi dan sekali lagi akan terjadi inefisiensi. Jika gap selisih harga dibayarkan oleh pemerintah pusat, di satu sisi hal ini akan membebani keuangan negara.
Lihat Juga :
tulis komentar anda