Tak Punya RUU Perlindungan Data Pribadi, Indonesia Bisa Malu di G20 Bali

Kamis, 02 Juni 2022 - 06:58 WIB
Anggota Komisi I DPR Junico Siahaan menjelaskan alasan DPR dan pemerintah mengejar target penyelesaian RUU PDP karena pada Forum G20 yang digelar pada November 2022 mendatang di Bali. Foto/MPI
JAKARTA - Meskipun fraksi-fraksi di Komisi I DPR dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sepakat untuk melanjutkan Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pribadi (RUU PDP) , isu mengenai lembaga perlindungan data atau otorization data protection (ODP) masih belum menemukan titik temu. Di satu sisi mayoritas fraksi menginginkan lembaga itu independen, di sisi lain satu fraksi dan Kominfo menginginkan ODP di bawah Kominfo.

"Secara informal, kita sudah berbicara, ini kalau kita kaku-kakuan ini nanti tarik menarik enggak selesai," ujar Anggota Komisi I DPR Junico Siahaan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Kamis (2/6/2022).

Politikus PDIP ini menjelaskan alasan DPR dan pemerintah mengejar target penyelesaian RUU ini karena pada Forum G20 yang digelar pada November 2022 mendatang di Bali, salah satu materi yang akan dibahas bersama adalah ini mengenai pergerakan data secara internasional. Tentu, Indonesia sebagai tuan rumah akan berdampak kurang baik karena menjadi satu-satunya negara G20 yang tidak memiliki UU PDP.



"Nah, kalau kita sebagai tuan rumah belum punya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan kita adalah satu-satunya negara loh yang enggak punya dari G20. Nanti kalau bisa tuan rumahnya enggak punya undang-undang, ini buat kami di DPR juga jadi kurang baik," ungkapnya.

Sehingga, Nico melanjutkan, dalam rangka menyukseskan G20, Indonesia harus segera menyelesaikan pembahasan RUU PDP. Karena tanpa RUU itu, Indonesia tidak bisa duduk bersama negara-negara lainnya dalam pembahasan materi pergerakan data dan itu hal yang memalukan.

"Kan kalau mereka (negara anggota G20) nanti (bilang) "wah Indonesia tuan rumah jangan ikut duduk sama-sama kita enggak punya undang-undang (PDP) yang sama", malu nanti," papar Nico.

Adapun alasan Fraksi PDIP dan beberapa fraksi lainnya mempertahankan argumen bahwa ODP harus independen, pihaknya merujuk pada GDPR (The General Data Protection Regulation) yang diundang-undangkan oleh Uni Eropa tahun 2016 dan itu diadopsi oleh banyak negara, salah satunya mengenai ODP yang independen.

Independen yang seperti apa, Nico mencontohkan sejumlah lembaga negara yang dipimpin oleh komisioner, seperti KPK, KPU, dan Komnas HAM. Lembaga itu tidak sekadar independen tetapi juga dapat menjaga independensinya.

Karena, data pribadi ini ke depannya akan menjadi salah satu hal yang sangat penting, semua negara, semua institusi, swasta maupun pemerintahan itu punya kepentingan untuk bisa mengumpulkan dan mengolah data-data pribadi. "Sampai di mana batasannya ini yang harus kita atur melalui Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi."

"Setelah kita tahu independensi, setelah kita tahu independensi kenapa, supaya, satu bisa berdiri di tengah, cukup adil baik ini bicara mengenai kelembagaan di pemerintahan maupun di swasta," sambung Nico.

Soal ODP, menurutnya, bisa dibentuk badan baru yang seperti BSSN, meskipun dikepalai oleh kepala dan bukan komisioner, pertanggungjawabannya langsung kepada Presiden. Atau menggunakan BSSN pun masih memungkinkan.

"Artinya kalau kita pun menggunakan BSSN masih memungkinkan, contoh dua badan yang memungkinkan bisa kita bahas, jadi otorita itu enggak kaku lagi harus barang independen tapi yang mempunyai independensi, ditunjuk oleh Presiden atau dibentuk oleh Presiden," tandas Nico.
(kri)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More