Membuka Tabir Ilusi Identitas Arab

Minggu, 29 Mei 2022 - 09:30 WIB
Membuka Tabir Ilusi Identitas Arab
Wildani Hefni

Dosen UIN Kiai Haji Achmad Siddiq, Jember

Isu-isu politik identitas menguat dan mengemuka dalam kontestasi kehidupan sosial-politik di Indonesia akhir-akhir ini. Politik identitas telah memasuki ruang-ruang “habibisme” yang menjadi alat untuk merogoh eksodusme sumber daya demi kepentingan pragmatis. Politik identitas merambah pada area yang sama sekali tidak pernah terpikirkan sebelumnya karena telah merasuki ruang etnis, suku, bahkan agama.

Yang menarik, setidaknya dalam 20 tahun terakhir adalah kontestasi identitas Arab dalam panggung perpolitik nasional. Tak ayal, fenomena tentang kearab-araban dalam jagat politik nasional turut menjadi perhatian publik. Keikursertaan keturunan Arab dari golongan habib atau Alawiyin dalam percaturan politik menjadi perdebatan tarik menarik. Satu sisi ada yang menganggap dapat memperkeruh dan mengentalkan persoalan politik identitas, dan pada sisi yang lain menyebut sebagai ekspresi perayaan panggung demokrasi.

Benarkah haru-biru identitas Arab atau habib dalam gelanggang politik murni sebagai ekpresi berdemokrasi atau telah terjerumus dalam gerakan politik pragmatis? Musa Kazhim Alhabsyi dalam buku ini membuka tabir di balik identitas Arab atau habib yang selama ini dimanfaatkan sebagai intrik elite politik untuk mendulang dukungan. Buku ini dengan sangat berani berupaya untuk membebaskan identitas Arab yang sejatinya merupakan bahasa wahyu yang suci dari klaim-klaim palsu pada pendomplengnya dan juga dari intrik politik yang mengeksploitasinya (hal 33).



Buku ini diawali pemaparan Musa tentang diaspora Hadhrami termasuk juga dakwah damai Alawiyyin di berbagai belahan negara. Persepsi publik yang terbangun sejak awal terhadap para keturunan Arab ini kokoh dalam keyakinan bahwa Alawiyin tidak pernah mengajarkan ideologi kebencian. Akan tetapi, lahir fraksi dalam tubuh Alawiyyin sendiri yang berjalan dengan kepentingan tersendiri.

Dalam konteks Indonesia, perhatian publik kemudian sangat besar terhadap masyarakat Hadhrami yang hal itu disebabkan oleh tampilnya mereka dalam panggung politik. Yang paling menarik, kalangan Alawiyyin yang terlibat dalam aksi-aksi vigilante di bawah naungan organisasi Front Pembela Islam (FPI) (hal. 195). Menurut Musa, fenomena ini justru menjadi sorotan di kalangan Alawiyyin sendiri dan khawatir dapat melahirkan efek lanjut terhadap lahirnya konflik dan segregasi sosial.

Sebagai seorang Alawi Hadhrami yang secara komprehensif memahami dunia “keturunan Arab”, Musa dengan jeli mengungkapkan pengerasan identitas Arab yang digunakan dalam kepentingan pragmatis, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh rembesan paham Salafi-Wahabi. Paham yang lahir di Arab Saudi ini, menurut Musa, kental dengan budaya Badui yang memiliki ciri-ciri ketidaksukaan terhadap kelompok lain, kegemaran pada kekerasan, serta menolak toleransi karena dianggap sebagai penanda kelemahan dan ambiguitas (hal. 37).

Buku ini menyuguhkan suatu autokritik yang membuka mata, meluaskan cakrawala, dan menghentak publik untuk tidak terjerumus pada penilaian-penilaian semu yang sesungguhnya itu ilusi. Musa dalam buku ini hendak menegaskan bahwa identitas seseorang tidak dilihat dari penampilan rasistik, dinastik, atau simbolik. Personifikasi seseorang tidak ditentukan oleh tampilan fisik lalu kemudian diklasifikasi sebagai seorang yang berkriteria Muslim yang taat. Identitas simbolis itu hanyalah ilusi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More