Pengamat Sebut Sejumlah Pasal Omnibus Law Ciptaker Merugikan Buruh
Sabtu, 25 April 2020 - 14:07 WIB
JAKARTA - Penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan pada Omnibus Law Cipta Kerja (Ciptaker) merupakan langkah tepat. Ada banyak pasal yang bermasalah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tersebut.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan banyak sekali pasal-pasal yang tidak jelas, terutama mengenai outsourcing, tenaga kerja kontrak, dan upah. "Banyak merugikan buruh. Ini lebih mengadopasi kepentingan-kepentingan pengusaha," ujar Trubus saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (25/04/2020).
(Baca juga: Fadli Zon Sebut Kalau Perlu RUU Ciptaker Dicabut Dulu, Fokus Tangani Corona)
Trubus mengusulkan, penundaan ini sebaiknya diberikan batas waktu agar ada kepastian. Ia mewanti-wanti jangan sampai klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari omnibus law.
"Nantinya, aturan baru sudah diperbarui, maka yang terjadi UU buruh menjadi tidak sinkron dengan UU yang lain. Omnibus law untuk mempermudah bagaimana aturan bisa disinskronkan karena banyak sekali yang tumpang tindih," tuturnya.
Dia menyarankan adanya pertemuan tripartit untuk membahas poin-poin dalam klaster ketenagakerjaan. Menurutnya, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan UU Nomor 13 Tahun 2003 karena sudah kadaluarsa dan menyulitkan investasi masuk.
Trubus mengatakan sebaiknya dalam pembahasan tripartit buruh jangan juga meminta lebih. Buruh, pemerintah, dan pengusaha, berusaha untuk mencari jalan tengah dari poin krusial dalam klaster ketenagakerjaan.
Buruh, katanya, jangan menuntut macam-macam untuk dimasukan dalam aturan atau komponen gaji. Ia menyebut pernah ada tuntutan memasukan komponen beauty atau make up. "Jadi kalau sudah itu, enggak ada orang yang mau berusaha," ucapnya.
Salah satu permasalahan antara buruh dan pengusaha adalah pengupahan. Ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Aturan turunan dari UU sebaiknya diperbaiki. "Ini selalu menjadi bulan-bulanan, selalu masalah," pungkasnya.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan banyak sekali pasal-pasal yang tidak jelas, terutama mengenai outsourcing, tenaga kerja kontrak, dan upah. "Banyak merugikan buruh. Ini lebih mengadopasi kepentingan-kepentingan pengusaha," ujar Trubus saat dihubungi SINDOnews, Sabtu (25/04/2020).
(Baca juga: Fadli Zon Sebut Kalau Perlu RUU Ciptaker Dicabut Dulu, Fokus Tangani Corona)
Trubus mengusulkan, penundaan ini sebaiknya diberikan batas waktu agar ada kepastian. Ia mewanti-wanti jangan sampai klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari omnibus law.
"Nantinya, aturan baru sudah diperbarui, maka yang terjadi UU buruh menjadi tidak sinkron dengan UU yang lain. Omnibus law untuk mempermudah bagaimana aturan bisa disinskronkan karena banyak sekali yang tumpang tindih," tuturnya.
Dia menyarankan adanya pertemuan tripartit untuk membahas poin-poin dalam klaster ketenagakerjaan. Menurutnya, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan UU Nomor 13 Tahun 2003 karena sudah kadaluarsa dan menyulitkan investasi masuk.
Trubus mengatakan sebaiknya dalam pembahasan tripartit buruh jangan juga meminta lebih. Buruh, pemerintah, dan pengusaha, berusaha untuk mencari jalan tengah dari poin krusial dalam klaster ketenagakerjaan.
Buruh, katanya, jangan menuntut macam-macam untuk dimasukan dalam aturan atau komponen gaji. Ia menyebut pernah ada tuntutan memasukan komponen beauty atau make up. "Jadi kalau sudah itu, enggak ada orang yang mau berusaha," ucapnya.
Salah satu permasalahan antara buruh dan pengusaha adalah pengupahan. Ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan. Aturan turunan dari UU sebaiknya diperbaiki. "Ini selalu menjadi bulan-bulanan, selalu masalah," pungkasnya.
(maf)
Lihat Juga :
tulis komentar anda