Teknologi Metaverse Antikorupsi

Kamis, 12 Mei 2022 - 14:20 WIB
CEO Facebook Mark Zuckerberg menjelaskan definisi metaverse adalah seperangkat ruang virtual, tempat seseorang dapat membuat dan menjelajah dengan pengguna internet lainnya yang tidak berada pada ruang fisik yang sama dengan orang tersebut. Artinya simulasi integritas dan peran dapat dibuat melalui dunia metaverse, hal ini akan jauh lebih menguntungkan masyarakat dibanding memilih berdasarkan acuan debat para kandidat atau berdasarkan kampanye para kandidat semata.

Profiling dapat dibuat melalui serangkaian psikotes maupun alat bantu lainnya dan dunia metaverse bisa menyiapkan aktor digital yang ditampilkan dalam ujian metaverse para calon kepala daerah, menteri atau bahkan presiden. Cara bekerja uji integritas melalui dunia metaverse selain dapat menampilkan seting dari situasi dilemma sebuah keputusan yang menggambarkan integritas juga dapat dibuat dengan kombinasi model penggunaan ‘lie detector’ (deteksi kebohongan) pernyataan saksi atau tersangka pada tindak pidana.

Jika panitia seleksi jabatan publik atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke depannya menggunakan teknologi metaverse dalam penjaringan pejabat publik dengan memberi ruang keterlibatan pada masyarakat seluas-luasnya maka bisa jadi teknologi metaverse ini dapat menjadi antitesis dari berlarut-larutnya persoalan korupsi. Demikian juga jika teknologi metaverse ini dipergunakan maka akan sangat membantu pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Keterlibatan masyarakat luas pada pemilihan pejabat publik berbasis teknologi metaverse ini setidaknya akan membantu masyarakat untuk mengetahui calon yang memiliki integritas maupun sebaliknya calon yang memiliki potensi persoalan integritas. Demikian juga teknologi metaverse ini akan menekan pengaruh dari praktik politik uang (money politic), meskipun belum ada data riset ilmiah yang menunjukkan hal tersebut. Namun, setidaknya akan ada pertentangan moral pada konstituen jika hendak memilih calon yang potensial memiliki persoalan integritas berdasarkan praktik politik uang.

Memang persoalan utama penggunaan teknologi metaverse ini adalah tidak meratanya sarana dan prasarana di setiap daerah di Indonesia, demikian pula kondisi sebaran tingkat pendidikan dan kemampuan penggunaan teknologi di antara para konstituen juga tidak merata. Jika melihat profil pemilih dalam pilkada dan pilpres 2024 mendatang nampaknya lebih dari 50% pemilih merupakan generasi milenial yang berpendidikan SLTP ke atas. Mereka mampu menggunakan teknologi dan sebagian sisanya meskipun bukan generasi milenial namun memiliki kemampuan teknologi yang cukup untuk berada dalam dunia metaverse.

Jika melihat data di atas nampak bahwa teknologi metaverse sudah patut dikembangkan dan dicoba dalam pemilihan pejabat publik maupun pemilihan kepala daerah di masa yang akan datang. Artinya, keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum berbasis teknologi metaverse ini akan membantu menuntun masyarakat dalam memilih calon yang tidak memiliki persoalan integritas nantinya setelah menjadi pejabat publik.

Darurat kleptokrasi (korupsi oleh oknum pada segala fungsi) perlu segera diakhiri dan alternatif berdasarkan hukum progresif yang ada saat ini adalah mengembangkan dan menggunakan teknologi metaverse dalam pemilihan pejabat publik. Dalam hal ini perlu segera untuk menata perundang-undangan yang memungkinkan penggunaan teknologi metaverse dalam pemilihan pejabat publik, termasuk dalam hal ini adanya keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut. Penting untuk sedari awal menata opsi penggunaan teknologi metaverse tersebut dalam peraturan perundangan sebab legalitas kerap menjadi alasan yang strategis bagi mereka yang apatis terhadap penggunaan teknologi metaverse tersebut.

Baca Juga: koran-sindo.com

(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More