Pimpinan MPR Ikut Sepakat Tunda Pembahasan RUU HIP

Kamis, 18 Juni 2020 - 20:52 WIB
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid saat memberikan keterangan terkait RUU HIP, Kamis (18/6/2020). FOTO/SINDOnews/Abdul Rochim
JAKARTA - Pimpinan MPR akhirnya ikut angkat bicara mengenai polemik Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Derasnya penolakan berbagai pihak, membuat MPR pun ikut memberikan dukungan penolakan.

Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid mengaku, MPR telah sepakat dengan keputusan pemerintah untuk menunda atau menghentikan sementara pembahasan RUU HIP. ”Tadi siang, kita para pimpinan MPR telah menyetujui langkah pemerintah untuk menunda atau memberhentikan sementara pembahasan RUU ini,” ungkap Jazilul Fawaid dalam Diskusi Virtual Bedah RUU Haluan Ideologi Pancasila yang digelar PP IPNU, Kamis (18/6/2020).

Jazilul mengatakan bahwa RUU HIP merupakan hal yang sensitif, sehingga diperlukan kehati-hatian dan ketelitian dalam proses pembahasan maupun isinya. Sebab, menurutnya, jika salah salah proses sosialisasinya kepada masyarakat, apalagi di tengah kondisi pandemi Covid-19 seperti sekarang, hal ini bisa berbahaya. (Baca juga: Kelanjutan RUU HIP, Pimpinan DPR Lempar Bola Panas ke Baleg)



”Ini kalau sosialisasinya salah, maka ini seperti membuka kotak pandora. Kalau dalam bahasanya PBNU, ini mengurai ikatan yang sudah kuat karena negara ini disebut darul mitsaq, negara kesepakatan. Pancasila merupakan kalimatun sawa’ yang menyatukan keragaman etnis, ras, budaya, dan agama. Disebut juga mitsaqon gholidzo, perjanjian yang agung. Itu yang disebut dengan nilai-nilai dasar, karena itu tidak bisa diturunkan lagi menjadi undang-undang,” ujarnya.

Jazilul mengatakan, ide penguatan Pancasila tetap menjadi sesuatu yang penting. Tetapi apakah dalam bentuk undang-undang atau melalui lembaga MPR dengan mengamendemen UUD dan memasukkan sesuatu yang sifatnya teknis. “Sebab apa, ketika Presiden dilantik, Pimpinan MPR dilantik, itu tidak ada kata-kata setia pada Pancasila. Memang tidak ada di semua sumpah jabatan. Justru kalau di IPNU, PBNU, saat pelantikan itu ada setia karena Pancasila,” katanya.

Karena itu, perlu dilakukan kajian bagaimana membuat rumusan yang tepat dalam penguatan Pancasila. Sebab, diakuinya bukan perkara yang mudah merumuskan masalah ini. Apalagi, dalam draf yang ada saat ini, berbagai kalangan menolaknya. “Semua ormas Islam itu menolak. Bahkan purnawirawan TNI menolak karena tahu sisi kesejarahan sehingga terhenti. Memang menurut saya, wacana ini dihentikan saja. Apalagi di tengah pandemi. Tunggulah seandainya situasi normal kembali, kita bisa membaca keadaan, silaturahim bisa jalan, sehingga sosialisasi terhadap ide penguatan Pancasila ini kalau mau dibentuk dalam RUU itu bisa lebih clear. Ini sampai sekarang gak clear karena memang naskahnya kurang clear. Sampai kepada masyarakat tidak clear lagi,” urainya.

Justru yang berkembang di tengah masyarakat, muncul berbagai pertentangan antara lain muncul isu komunis mau bangkit lagi atau mau menjadi sekuler. “Kami sangat setuju adanya BPIP, tapi kalau harus dipayungi hukum, harus hati-hati ketika pembahasan supaya tidak terjadi kesalahpahaman. Karena kalau terjadi kesalahpahaman, itu sama dengan mengurai sesuatu yang sudah rapi, kemudian berantakan. Takutnya tidak sama, padahal ini adalah prinsip dasar,” katanya.

MPR, kata Jazilul, juga memiliki tugas yang salah satunya penguatan pilar-pilar kebangsaan. Sebelum lahirnya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), ada Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), badan yang dibentuk Presiden. Bersama MPR, UK-PIP ditingkatkan statusnya lewat keppres sehingga lahir BPIP.

“Dari situ sebagian teman DPR menganggap perlu agar BPIP ini tidak hanya cantolannya keppres, tetapi UU agar BPIP ini posisinya kuat. Kalau hanya lewat keppres, nanti ganti presiden, keppres dicabut hilang,” katanya.

Jazilul mengungkapkan, Pancasila memang mengalami pasang surut dan dinamika. Ketika menghadapi komunisme, lahirlah Pancasila, lahir juga Tap MPR Nomor II/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan pengamalan Pancasila (P4). Era Reformasi, Tap II dicabut sehingga tidak ada lagi P4.

“Nah setelah P4 tidak ada, rupanya ada kegalauan, dunia masuk sistem global, ada kekhawatiran nasionalisme dan Pancasila digerus wacana-wacana global maka lahirlah BPIP,” katanya. Nah, ketika rancanangan akademik RUU HIP, pihaknya mempertanyakan judul karena awalnya bukan RUU HIP, tetapi Pembinaan Ideologi Pancasila. “Lebih teknis. Ini semacam P4. Ketika rumusannya berubah, judulnya berubah seperti sekarang, selain menyimpang dari tujuan awal penguatan kepada BPIP, filosofinya juga berubah maka wajar ada yang menafsirkan UU ateis, anti Tuhan, sekuler karena tidak menyebutkan dalam konsideran TAP MPRS soal larangan komunisme,” katanya.
(nbs)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More