Lanyalla, Yusril Ihza Mahendra, dan Nono Sampono Gugat Presidential Threshold ke MK
Minggu, 27 Maret 2022 - 14:44 WIB
JAKARTA - Ketua DPD Lanyalla Mahmud Mattalitti , Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra hingga Wakil Ketua DPD Nono Sampono mengajukan gugatan penghapusan Presidential Threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebelumnya, sejumlah tokoh juga mengajukan gugatan serupa ke MK.
"Dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian (Judicial Review) Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) (Bukti P-11) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) kepada Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai Permohonan)," tulis gugatan tersebut sebagaimana dilansir Website resmi MK, Jakarta, Minggu (27/3/2022).
Dalam website itu, gugatan tersebut terdaftar pada 25 Maret 2022 dengan nomor 41/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022. Pada gugatan itu juga tercantum sejumlah nama lainnya selain yang di atas.
Dalam hal ini, para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional, bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
"Bahwa pertimbangan hukum Mahkamah dalam dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan
Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu adalah open legal policy karena pendelegasian dari ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Secara konseptual, penafsiran tersebut tidak tepat karena ketentuan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945 berkenaan dengan “tatacara”, sedangkan aturan presidential threshold merupakan mekanisme kandidasi (candidacy/ticketing), yang pengaturannya secara limitatif ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945," papar pemohon dalam sub pokok permohonan gugatan tersebut.
Baca juga: Gugatan PT Ditolak MK, Bagaimana Kans Gatot Nurmantyo Maju Pilpres 2024?
Mereka berpandangan, bahwa dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menentukan syarat minimal perolehan 20% kursi DPR atau 25% berdasarkan hasil pemilihan umum sebelumnya agar dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, telah mengakibatkan Pemohon II (Yusril Ihza Mahendra) kehilangan hak konstitusionalnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam petitumnya, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia.
"Dengan ini mengajukan Permohonan Pengujian (Judicial Review) Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) (Bukti P-11) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) kepada Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut sebagai Permohonan)," tulis gugatan tersebut sebagaimana dilansir Website resmi MK, Jakarta, Minggu (27/3/2022).
Dalam website itu, gugatan tersebut terdaftar pada 25 Maret 2022 dengan nomor 41/PUU/PAN.MK/AP3/03/2022. Pada gugatan itu juga tercantum sejumlah nama lainnya selain yang di atas.
Dalam hal ini, para Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A ayat (1) Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 222 UU Pemilu yang mengharuskan pasangan calon presiden dan wakil presiden memenuhi persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional, bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
"Bahwa pertimbangan hukum Mahkamah dalam dalam Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan
Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menyatakan pemberlakuan Pasal 222 UU Pemilu adalah open legal policy karena pendelegasian dari ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Secara konseptual, penafsiran tersebut tidak tepat karena ketentuan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945 berkenaan dengan “tatacara”, sedangkan aturan presidential threshold merupakan mekanisme kandidasi (candidacy/ticketing), yang pengaturannya secara limitatif ditentukan dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945," papar pemohon dalam sub pokok permohonan gugatan tersebut.
Baca juga: Gugatan PT Ditolak MK, Bagaimana Kans Gatot Nurmantyo Maju Pilpres 2024?
Mereka berpandangan, bahwa dengan berlakunya Pasal 222 UU Pemilu yang menentukan syarat minimal perolehan 20% kursi DPR atau 25% berdasarkan hasil pemilihan umum sebelumnya agar dapat mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden, telah mengakibatkan Pemohon II (Yusril Ihza Mahendra) kehilangan hak konstitusionalnya untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam petitumnya, pemohon memohon kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Republik Indonesia.
(abd)
tulis komentar anda