Membaca Terbalik
Jum'at, 18 Maret 2022 - 11:36 WIB
AKHIR-AKHIR ini publik disuguhi fenomena yang tidak biasa, yakni makin seringnya terdengar perbedaan antara pernyataan atau klaim terhadap sebuah peristiwa atau isu dengan fakta dan kenyataan sesungguhnya. Yang paling terdengar nyaring adalah pernyataan tegas Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi merespons isu kelangkaan minyak goreng yang sudah menjadi buah bibir di setiap lorong percakapan publik, baik secara online atau daring maupun secara offline alias luring.
Fakta di lapangan, hingga kemarin, sebagian masyarakat masih kesulitan mendapatkan minyak goreng. Sudah hitungan bulan kelangkaan minyak goreng ini dikeluhkan masyarakat namun tampaknya belum ada solusi jitu. Pemandangan warga yang sedang antre panjang untuk membeli minyak goreng berulang kali viral di jagat media sosial. Media mainstream pun juga memberitakannya.
Pada Rabu (16/3), pemerintah memang telah mencabut aturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan. Kebijakan itu sontak membuat minyak goreng mendadak muncul di swalayan atau gerai minimarket. Namun, masyarakat tidak lantas gembira, melainkan sebaliknya, langsung menjerit karena harga minyak goreng tersebut ternyata melambung tinggi. Bahkan, di sebagian wilayah, minyak goreng tetap saja sulit ditemukan di toko dan swalayan meski aturan HET sudah dicabut.
Dalam beberapa kesempatan Mendag dengan lantang menyatakan stok minyak goreng melimpah. Bahkan sangat lebih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memaparkan sederet angka-angka yang sepintas memang meyakinkan. Kelangkaan minyak goreng di pasaran diakui adalah ulah oknum-oknum yang melakukan penimbunan.
Saat melakukan rapat dengan Komisi VI DPR, Kamis (17/3), Mendag kembali menegaskan ketersediaan minyak goreng yang menurut dia cukup. Pada kesempatan itu dia pun meminta maaf karena tidak bisa mengontrol dan melawan penyimpangan minyak goreng yang diduga akibat ulah mafia.
Pernyataan seperti ini sepertinya ingin menyampaikan bahwa tugas Kemendag sudah dilaksanakan dengan baik. Sedangkan fakta kelangkaan itu bukan bagian dari perencanaan tapi ulah nakal oknum penimbun yang di luar kendali Kemendag. Lantas, sampai sejauhmana sebenarnya tugas dan kewajiban Kemendag dalam krisis minyak goreng ini? Apakah hanya pada pembuatan hitung-hitungan stok di atas kertas? Jika memang demikian, kinerja Kemendag sudah sangat bagus. Lalu siapa yang punya tugas membereskan penimbunan dan kelangkaan bahan pokok ini di pasaran? Polisi,TNI, pemda, satpol PP atau siapa? Seharusnya Kemendag mengawal dari hulu sampai hilir krisis minyak goreng yang sudah berlangsung berbulan-bulan ini.
Pengawalan ketat minyak goreng dari proses produksi sampai ke dapur-dapur warga adalah kewajiban yang melekat.Tidak bisa dilakukan sepotong- sepotong sesuai selera seperti halnya memilih lauk di restoran padang. Jika mental dan mindset aparat negara sebatas itu lalu publik harus mencari solusi ke mana? Ke Menko Perekonomiankah, ke Wakil Presiden atau ke Presiden? Sampai di sini masyarakat dibiarkan mencari solusi masing-masing untuk mengatasi problem minyak goreng ini. Muncullah kreativitas minyak goreng oplosan atau akan beredar minyak goreng palsu karena tingginya permintaan di pasaran.
Kita beralih pada isu lain. Ini agak lebih sensitif karena menyangkut masa jabatan Presiden yang akan berakhir pada 2024. Sejumlah ketua umum parpol koalisi mengusulkan penundaan pemilu karena ada problem kedaruratan. Karena itu diusulkan jadwal pemilu yang sudah diketok DPR dan disetujui pemerintah pada bulan Februari 2024 harus diundurkan 2 atau 3 tahun. Penolakan keras atas gagasan itu terus menggema di ruang publik dari hampir semua kalangan. Karena hingga saat ini tidak ada kedaruratan yang harus ditebus dengan mengundurkan jadwal pemilu. Konsekuensi politik hukum dan sosial akibat pengunduran pemilu akan sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah berulangkali menegaskan bahwa pemilu akan tetap dilaksanakan pada 2024 sesuai jadwal. Titik. Demikian pernyataan resmi pemerintah. Tapi, kasak kusuk atau gerilnya untuk mengundurkan pemilu tidak berhenti. Terus bergema. Bahkan sudah menyebar baliho dan poster dukungan pengunduran pemilu di sejumlah tempat. Jika pemerintah tegas, mestinya segala bentuk wacana dukungan, baik diam-diam maupun terangan-terangan untuk menunda pemilu segera ditertibkan. Karena ini menimbulkan keresahan, kegaduhan, dan kecemasan politik hukum yang berbahaya. Faktanya, penundaan pemilu masih menjadi isu mengemuka di kalangan elite. Akibat ketidaktegasan sikap itulah maka di ruang publik mulai muncul juga gagasan mempercepat pemilu. Alasannya juga soal kedaruratan. Artinya, wacana penundaan direspons dengan wacana percepatan pemilu. Sehatkah ini? Pasti tidak. Namun faktanya memang demikian.
Dua isu besar di atas adalah contoh nyata bahwa apa yang disampaikan bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Karena itu, publik semakin piawai membaca kode ini dengan cara membaca terbalik. Mudahnya begini. Begitu Mendag menyatakan minyak goreng melimpah berarti sebenarnya minyak goreng langka. Begitu pula dengan isu penundaan pemilu. Begitu dipastikan pemerintah tetap berpegang pada pemilu 2024, publik membacanya bahwa bisa jadi pada 2024 tidak akan ada pemilu. Apakah membaca terbalik ini sebuah kesalahan? Bisa jadi tidak. Karena waktu sering membuktikan bahwa bacaan publik itu benar adanya.
Fakta di lapangan, hingga kemarin, sebagian masyarakat masih kesulitan mendapatkan minyak goreng. Sudah hitungan bulan kelangkaan minyak goreng ini dikeluhkan masyarakat namun tampaknya belum ada solusi jitu. Pemandangan warga yang sedang antre panjang untuk membeli minyak goreng berulang kali viral di jagat media sosial. Media mainstream pun juga memberitakannya.
Pada Rabu (16/3), pemerintah memang telah mencabut aturan mengenai harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan. Kebijakan itu sontak membuat minyak goreng mendadak muncul di swalayan atau gerai minimarket. Namun, masyarakat tidak lantas gembira, melainkan sebaliknya, langsung menjerit karena harga minyak goreng tersebut ternyata melambung tinggi. Bahkan, di sebagian wilayah, minyak goreng tetap saja sulit ditemukan di toko dan swalayan meski aturan HET sudah dicabut.
Dalam beberapa kesempatan Mendag dengan lantang menyatakan stok minyak goreng melimpah. Bahkan sangat lebih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan memaparkan sederet angka-angka yang sepintas memang meyakinkan. Kelangkaan minyak goreng di pasaran diakui adalah ulah oknum-oknum yang melakukan penimbunan.
Saat melakukan rapat dengan Komisi VI DPR, Kamis (17/3), Mendag kembali menegaskan ketersediaan minyak goreng yang menurut dia cukup. Pada kesempatan itu dia pun meminta maaf karena tidak bisa mengontrol dan melawan penyimpangan minyak goreng yang diduga akibat ulah mafia.
Pernyataan seperti ini sepertinya ingin menyampaikan bahwa tugas Kemendag sudah dilaksanakan dengan baik. Sedangkan fakta kelangkaan itu bukan bagian dari perencanaan tapi ulah nakal oknum penimbun yang di luar kendali Kemendag. Lantas, sampai sejauhmana sebenarnya tugas dan kewajiban Kemendag dalam krisis minyak goreng ini? Apakah hanya pada pembuatan hitung-hitungan stok di atas kertas? Jika memang demikian, kinerja Kemendag sudah sangat bagus. Lalu siapa yang punya tugas membereskan penimbunan dan kelangkaan bahan pokok ini di pasaran? Polisi,TNI, pemda, satpol PP atau siapa? Seharusnya Kemendag mengawal dari hulu sampai hilir krisis minyak goreng yang sudah berlangsung berbulan-bulan ini.
Pengawalan ketat minyak goreng dari proses produksi sampai ke dapur-dapur warga adalah kewajiban yang melekat.Tidak bisa dilakukan sepotong- sepotong sesuai selera seperti halnya memilih lauk di restoran padang. Jika mental dan mindset aparat negara sebatas itu lalu publik harus mencari solusi ke mana? Ke Menko Perekonomiankah, ke Wakil Presiden atau ke Presiden? Sampai di sini masyarakat dibiarkan mencari solusi masing-masing untuk mengatasi problem minyak goreng ini. Muncullah kreativitas minyak goreng oplosan atau akan beredar minyak goreng palsu karena tingginya permintaan di pasaran.
Kita beralih pada isu lain. Ini agak lebih sensitif karena menyangkut masa jabatan Presiden yang akan berakhir pada 2024. Sejumlah ketua umum parpol koalisi mengusulkan penundaan pemilu karena ada problem kedaruratan. Karena itu diusulkan jadwal pemilu yang sudah diketok DPR dan disetujui pemerintah pada bulan Februari 2024 harus diundurkan 2 atau 3 tahun. Penolakan keras atas gagasan itu terus menggema di ruang publik dari hampir semua kalangan. Karena hingga saat ini tidak ada kedaruratan yang harus ditebus dengan mengundurkan jadwal pemilu. Konsekuensi politik hukum dan sosial akibat pengunduran pemilu akan sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemerintah berulangkali menegaskan bahwa pemilu akan tetap dilaksanakan pada 2024 sesuai jadwal. Titik. Demikian pernyataan resmi pemerintah. Tapi, kasak kusuk atau gerilnya untuk mengundurkan pemilu tidak berhenti. Terus bergema. Bahkan sudah menyebar baliho dan poster dukungan pengunduran pemilu di sejumlah tempat. Jika pemerintah tegas, mestinya segala bentuk wacana dukungan, baik diam-diam maupun terangan-terangan untuk menunda pemilu segera ditertibkan. Karena ini menimbulkan keresahan, kegaduhan, dan kecemasan politik hukum yang berbahaya. Faktanya, penundaan pemilu masih menjadi isu mengemuka di kalangan elite. Akibat ketidaktegasan sikap itulah maka di ruang publik mulai muncul juga gagasan mempercepat pemilu. Alasannya juga soal kedaruratan. Artinya, wacana penundaan direspons dengan wacana percepatan pemilu. Sehatkah ini? Pasti tidak. Namun faktanya memang demikian.
Dua isu besar di atas adalah contoh nyata bahwa apa yang disampaikan bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Karena itu, publik semakin piawai membaca kode ini dengan cara membaca terbalik. Mudahnya begini. Begitu Mendag menyatakan minyak goreng melimpah berarti sebenarnya minyak goreng langka. Begitu pula dengan isu penundaan pemilu. Begitu dipastikan pemerintah tetap berpegang pada pemilu 2024, publik membacanya bahwa bisa jadi pada 2024 tidak akan ada pemilu. Apakah membaca terbalik ini sebuah kesalahan? Bisa jadi tidak. Karena waktu sering membuktikan bahwa bacaan publik itu benar adanya.
(bmm)
tulis komentar anda