Kisah Seorang Mata-mata, Hari Tua Menggelandang hingga Memendam Kecewa pada Penguasa
Senin, 07 Maret 2022 - 06:46 WIB
Di rumahnya di Jalan Semboja, Lubis sesekali kedatangan sejawatnya, seperti Kemal Idris, Ventje Sumual, Ali Sadikin, dan Ali Moertopo. Wartawan senior Mochtar Lubis, yang getol menyuarakan pemberantasan korupsi, juga kerap datang. Jika tak ada tamu, Lubis akan mengisi waktu dengan membaca dan menonton sepak bola di televisi.
Furqan Lubis ingat betul masa ketika screening yang dijalankan Pemerintah Orde Baru menghentikan jalannya menjadi dosen. Dia tak tahu apa yang membuatnya tak lulus. Alih-alih memberi tahu, si petugas malah berpesan: "Kamu jangan mencontoh orangtuamu, ya."
Penasaran, Furqan menceritakan pengalaman itu kepada ayahnya. Zulkifli menjawab singkat: "Itu kan orang yang tidak mengerti perjuangan."
Lubis tak pernah menceritakan kiprahnya dalam politik dan militer kepada anak-anaknya. Meski punya peran penting di kancah politik nasional pada 1950-an, dia menutupinya rapat-rapat.
Baginya, pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang terpisah. Anak-anaknya pun akhirnya tak ambil pusing. "Justru yang lebih tahu orang lain daripada anaknya sendiri," kata Furqan.
Sekalipun keras, Lubis pantang menggunakan kekerasan. Bila mendapati anaknya berkelahi, dia hanya menasihati. "Kalau kita berantem, jangan lawan yang kecil dari kamu. Yang lebih besar dari kamu! Seperti Ayah. Ayah lawan Soekarno kalau tidak benar."
Lubis menekankan pentingnya kejujuran dan rendah hati. Dan satu pesan yang tak pernah dia lewatkan: jangan pernah meninggalkan salat.
Menurut Lubis, filsafat hidupnya hanya dua: berpegang teguh pada yang benar dan mengamalkannya serta berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain.
Dalam kesehariannya, Lubis kerap bercanda dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Dia memang menyukai anak-anak. Dia kerap mengajak mereka berlibur ke pantai atau pegunungan.
"Cucu-cucunya jadi lebih dekat dengan Eyang kakungnya. Ayah lebih telaten ketimbang ibu," kata Furqan.
Furqan Lubis ingat betul masa ketika screening yang dijalankan Pemerintah Orde Baru menghentikan jalannya menjadi dosen. Dia tak tahu apa yang membuatnya tak lulus. Alih-alih memberi tahu, si petugas malah berpesan: "Kamu jangan mencontoh orangtuamu, ya."
Penasaran, Furqan menceritakan pengalaman itu kepada ayahnya. Zulkifli menjawab singkat: "Itu kan orang yang tidak mengerti perjuangan."
Lubis tak pernah menceritakan kiprahnya dalam politik dan militer kepada anak-anaknya. Meski punya peran penting di kancah politik nasional pada 1950-an, dia menutupinya rapat-rapat.
Baginya, pekerjaan dan keluarga adalah dua hal yang terpisah. Anak-anaknya pun akhirnya tak ambil pusing. "Justru yang lebih tahu orang lain daripada anaknya sendiri," kata Furqan.
Sekalipun keras, Lubis pantang menggunakan kekerasan. Bila mendapati anaknya berkelahi, dia hanya menasihati. "Kalau kita berantem, jangan lawan yang kecil dari kamu. Yang lebih besar dari kamu! Seperti Ayah. Ayah lawan Soekarno kalau tidak benar."
Lubis menekankan pentingnya kejujuran dan rendah hati. Dan satu pesan yang tak pernah dia lewatkan: jangan pernah meninggalkan salat.
Menurut Lubis, filsafat hidupnya hanya dua: berpegang teguh pada yang benar dan mengamalkannya serta berbuat baik sebanyak mungkin kepada orang lain.
Dalam kesehariannya, Lubis kerap bercanda dengan anak-anak dan cucu-cucunya. Dia memang menyukai anak-anak. Dia kerap mengajak mereka berlibur ke pantai atau pegunungan.
"Cucu-cucunya jadi lebih dekat dengan Eyang kakungnya. Ayah lebih telaten ketimbang ibu," kata Furqan.
tulis komentar anda