Kisah Seorang Mata-mata, Hari Tua Menggelandang hingga Memendam Kecewa pada Penguasa
Senin, 07 Maret 2022 - 06:46 WIB
JAKARTA - Nama Kolonel Zulkifli Lubis memang tak cukup popular di Indonesia. Namanya tak sementereng t okoh militer Ali Moertopo atau LB Moerdani. Namun, sepak terjang Kolonel Zulkifli Lubis dalam dunia intelijen Indonesia tak main-main.
Lubis merupakan peletak pondasi lembaga intelijen Tanah Air. Tak ayal dia dinobatkan sebagai Bapak Intelijen Indonesia.
Kiprahnya di dunia militer yang cukup diperhitungkan di masa kemerdekaan, tak sejalan dengan kisah hidupnya pasca tak lagi aktif di dunia militer. Lubis benar-benar menjalani hidup dalam kesusahan.
Dikutip dari buku "Zulkifli Lubis Bapak Intelijen Indonesia", pergantian kekuasaan membuat Lubis seolah jadi orang asing. Konstelasi politik yang baru terasa kabur baginya. Sejak paruh pertama 1960-an, dia mendekam di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta. Rezim Soekarno, yang menjebloskannya ke penjara, berada di ambang kehancuran.
Soekarno sendiri menjadi tahanan rumah dengan akses sangat terbatas. Lubis yang dibebaskan dari tahanan pada 1966, pun tak beroleh izin dari militer untuk menjenguknya.
Setelah bebas, Lubis menjalani hari-harinya sebagai "gelandangan". Tak punya rumah maupun pekerjaan. Kolonel CPM Soenario memberikan tempat tinggal di Jalan Gunung Gede, Sempur, Bogor, keluarga Lubis lalu pindah ke Jalan Semboja Nomor 22 hingga tahun 2000-an.
Untuk menghidupi keluarganya, Lubis mengerjakan apa saja. Sempat datang tawaran untuk masuk kembali ke dinas militer, tapi ia menolak. "Ia tidak sejalan dengan Nasution maupun Pak Harto," ujar Furqan Lubis, anak ke-6 Zulkifli Lubis.
Bersama beberapa kolega, Lubis kemudian mendirikan lembaga riset bernama Reda yang berkantor di Melawai, Jakarta Selatan. "Karena itulah pengalaman saya," kata Lubis.
Lubis mencoba membantu mengembangkan intelijen negara dengan menciptakan kerja intelijen di luar pemerintahan. Beberapa binaannya seperti Ali Moertopo membukakan jalan. Dia pun menyambangi sejumlah negara untuk memperdalam ilmu intelijen.
Lubis merupakan peletak pondasi lembaga intelijen Tanah Air. Tak ayal dia dinobatkan sebagai Bapak Intelijen Indonesia.
Baca Juga
Kiprahnya di dunia militer yang cukup diperhitungkan di masa kemerdekaan, tak sejalan dengan kisah hidupnya pasca tak lagi aktif di dunia militer. Lubis benar-benar menjalani hidup dalam kesusahan.
Dikutip dari buku "Zulkifli Lubis Bapak Intelijen Indonesia", pergantian kekuasaan membuat Lubis seolah jadi orang asing. Konstelasi politik yang baru terasa kabur baginya. Sejak paruh pertama 1960-an, dia mendekam di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta. Rezim Soekarno, yang menjebloskannya ke penjara, berada di ambang kehancuran.
Soekarno sendiri menjadi tahanan rumah dengan akses sangat terbatas. Lubis yang dibebaskan dari tahanan pada 1966, pun tak beroleh izin dari militer untuk menjenguknya.
Setelah bebas, Lubis menjalani hari-harinya sebagai "gelandangan". Tak punya rumah maupun pekerjaan. Kolonel CPM Soenario memberikan tempat tinggal di Jalan Gunung Gede, Sempur, Bogor, keluarga Lubis lalu pindah ke Jalan Semboja Nomor 22 hingga tahun 2000-an.
Untuk menghidupi keluarganya, Lubis mengerjakan apa saja. Sempat datang tawaran untuk masuk kembali ke dinas militer, tapi ia menolak. "Ia tidak sejalan dengan Nasution maupun Pak Harto," ujar Furqan Lubis, anak ke-6 Zulkifli Lubis.
Bersama beberapa kolega, Lubis kemudian mendirikan lembaga riset bernama Reda yang berkantor di Melawai, Jakarta Selatan. "Karena itulah pengalaman saya," kata Lubis.
Lubis mencoba membantu mengembangkan intelijen negara dengan menciptakan kerja intelijen di luar pemerintahan. Beberapa binaannya seperti Ali Moertopo membukakan jalan. Dia pun menyambangi sejumlah negara untuk memperdalam ilmu intelijen.
tulis komentar anda