Jokowi Bisa Buat Dekrit bila Ingin Tetap Menjabat, Yusril Ingatkan Nasib Gus Dur

Minggu, 27 Februari 2022 - 15:44 WIB
Meskipun bisa dilakukan, Yusril Ihza Mahendra mengingatkan risiko yang mungkin menimpa Presiden Jokowi bila menerbitkan dekrit penundaan Pemilu 2024. Foto/dok.SINDOnews
JAKARTA - Selain amendemen UUD 1945, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan ada jalan lain yang bisa dilakukan untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Menurut Yusril, Presiden Jokowi bisa mengeluarkan dekrit menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 45 harus diisi dengan pemilu.

Mantan Menteri Hukum dan HAM ini menerangkan bahwa dekrit adalah sebuah revolusi hukum yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum alias setelah pemberlakuannya. Revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah.

Tetapi sebaliknya, revolusi yang gagal menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau penghianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.



"Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan Dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 45?" ungkap Yusril melalui keterangan tertulis yang diterima pada Minggu (27/2/2022).



Yusril menilai peristiwa Dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959 bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sebagaimana didalilkan Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro. Dia tidak melihat cukup alasan untuk menyatakan adanya dua faktor tersebut.

Dekrit 5 Juli 1959, kata Yusril, adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution. Menurut dia, saat itu Nasution lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau “negara dalam keadaan bahaya”, serta dukungan partai-partai politik, terutama PNI dan PKI. ”Revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer dan ini sejarah tahun 1959,” ujar Yusril.

Peristiwa 1959 itu berbeda dengan yang terjadi pada 2001, ketika Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengeluarkan dekrit untuk membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999.

"Sebelum niat itu dilaksanakan, saya sudah memberikan tausiyah kepada Gus Dur dalam sidang kabinet pada 6 Februari 2001. Saya mengingatkan dalam posisi saya sebagai Menteri Kehakiman dan HAM yang memang memberikan nasihat hukum kepada Presiden," kata Yusril.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More