Memahami Sudut Pandang Melalui Fiksi
Senin, 21 Februari 2022 - 14:02 WIB
Pemahaman adil sendiri sudah barang tentu beragam. Para ahli bahasa hanya menyimpulkan yang jamak diyakini awam. Yaitu, sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak; berpihak kepada yang benar; berpegang pada kebenaran (KBBI luring, diakses 12 Desember 2021). Nyatanya, dalam banyak kasus, seorang hakim dinilai tidak adil oleh khalayak—atau paling tidak, oleh terdakwa—sampai muncul tahap peninjauan kembali kasusnya.
Cerpen Pencegahan Bunuh Diri karya Jaroslav Hasek mungkin terasa dekat dengan keseharian kita. Tuan Hurych hanya tengah berjalan pulang ke rumahnya. Ia melongok ke tepi jembatan karena merasa ada seseorang bersuara dari bawah sana. Akan tetapi, seorang pria lain malah menyangka Tuan Hurych hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat dari tepi jembatan. Keributan tak terelakkan, melibatkan polisi serta serangkaian pemeriksaan. Dan, berakhir dengan status Tuan Hurych sebagai pasien rumah sakit jiwa.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita harus berbusa-busa dahulu untuk menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Bisa jadi, bukan soal diksi kita yang salah, tetapi pemahaman orang lainlah yang bermasalah. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan, mungkin pula karena pola pikir yang memerangkap mereka dalam sudut gelap, apalagi jika tanpa usaha untuk keluar mencari cahaya atau menjangkau kesadaran. Pola pikir seperti inilah yang akhirnya malah kerap menjerumuskan seseorang ke dalam kondisi tidak berdaya.
“Esok paginya mereka membawa Pak Hurych ke rumah sakit gila. Kini dia telah dirawat di sana dengan pengawasan ketat selama setengah tahun. Hingga saat ini para dokter belum bisa melihat gejala bahwa dia telah menyadari bahwa dirinya sakit jiwa. Padahal, menurut ilmu jiwa, kesadaran semacam itu adalah salah satu tanda awal kesembuhan.” (Pencegahan Bunuh Diri, Jaroslav Hasek, halaman 60)
Cerpen Leo Tolstoy yang menjadi pemungkas adalah yang terpanjang. Ziarah adalah kisah dua lelaki yang melakukan perjalanan spiritual menuju Yerusalem. Di tengah perjalanan, mereka berpisah. Efim melanjutkan perjalanan, sementara Eliyah tinggal di sebuah desa untuk melakukan beberapa hal. Keduanya berjanji bertemu di Yerusalem. Hanya saja, ternyata Eliyah tidak pernah mencapai tanah suci itu, meskipun beberapa kali Efim merasa melihat sosoknya di antara lautan manusia. Jenis perjalanan yang harus ia tempuh ternyata agak berbeda dengan Efim. Namun, di akhir kisah, justru Eliyah-lah yang tampaknya lebih mendapat pelajaran hidup.
Ragam Sudut Pandang
Lima belas cerpen dalam buku ini mungkin terasa kurang banyak, apalagi jika Anda adalah penggemar nama-nama yang tertera di sana. Selain Tolstoy, ada Anton Chekov dan Franz Kafka, juga ada Svetlana Alexievich, Herta Müller, Ludmilla Petrushevskaya, dan Olga Tokarczuk di jajaran perempuan penulis.
Khalayak ramai negeri ini mungkin belum pernah mendengar sebagian besar nama-nama yang tertera di daftar isi, termasuk saya sendiri. Meskipun nama Tolstoy, Chekov, dan Kafka kerap saya dengar, tetapi sampai saya memegang kumpulan cerpen ini, belum satu pun karya mereka yang sempat saya nikmati. Ada rasa menyesal yang sempat terlintas, akan tetapi menguap begitu saja ketika mengingat tidak pernah ada kata terlambat untuk mempelajari sesuatu. Itu termasuk Anda, pembaca budiman, yang menyimak ulasan ini.
Mengapa begitu? Sebab, buku ini bukan sekadar kumpulan cerpen. Ini kumpulan kehidupan manusia. Dari kacamata saya sebagai orang yang banyak bergumul dengan naskah fiksi, judul buku Dari Tepi Sungai Vistula sengaja dipilih untuk mengajak pembaca menikmati sudut pandang melalui mata Anton Kurnia. Tentu, pilihannya terhadap sekian banyak karya sastra Eropa Timur didasari banyak pertimbangan. Namun, apa pun itu, tujuannya tetap baik: mengenalkan ragam seni tulis fiksi dari wilayah tersebut kepada pembaca di Indonesia.
Kisah-kisah yang tersaji tidak sekadar cerita ringan pengisi waktu luang, tetapi bukan pula jenis yang membuat pembaca lama mengerutkan dahi memikirkan maknanya. Seperti dalam Tragedi Buah Apel karya Miljenko Jergovic, pembaca seolah-olah diingatkan bahwa menilai seseorang tidak bisa secara instan, apalagi membenci hanya karena orang tersebut memiliki sesuatu yang tidak kita sukai. Atau, seperti dalam Senja karya Wladyslaw Reymont, lewat kisah seekor kuda yang sekarat, penulis mengingatkan pembaca bahwa siapa pun pasti akan menemui senjanya, menemukan jalan menuju cahaya.
Cerpen Pencegahan Bunuh Diri karya Jaroslav Hasek mungkin terasa dekat dengan keseharian kita. Tuan Hurych hanya tengah berjalan pulang ke rumahnya. Ia melongok ke tepi jembatan karena merasa ada seseorang bersuara dari bawah sana. Akan tetapi, seorang pria lain malah menyangka Tuan Hurych hendak mengakhiri hidupnya dengan melompat dari tepi jembatan. Keributan tak terelakkan, melibatkan polisi serta serangkaian pemeriksaan. Dan, berakhir dengan status Tuan Hurych sebagai pasien rumah sakit jiwa.
Dalam kehidupan sehari-hari, kadang kita harus berbusa-busa dahulu untuk menjelaskan sesuatu kepada orang lain. Bisa jadi, bukan soal diksi kita yang salah, tetapi pemahaman orang lainlah yang bermasalah. Mungkin karena keterbatasan pengetahuan, mungkin pula karena pola pikir yang memerangkap mereka dalam sudut gelap, apalagi jika tanpa usaha untuk keluar mencari cahaya atau menjangkau kesadaran. Pola pikir seperti inilah yang akhirnya malah kerap menjerumuskan seseorang ke dalam kondisi tidak berdaya.
“Esok paginya mereka membawa Pak Hurych ke rumah sakit gila. Kini dia telah dirawat di sana dengan pengawasan ketat selama setengah tahun. Hingga saat ini para dokter belum bisa melihat gejala bahwa dia telah menyadari bahwa dirinya sakit jiwa. Padahal, menurut ilmu jiwa, kesadaran semacam itu adalah salah satu tanda awal kesembuhan.” (Pencegahan Bunuh Diri, Jaroslav Hasek, halaman 60)
Cerpen Leo Tolstoy yang menjadi pemungkas adalah yang terpanjang. Ziarah adalah kisah dua lelaki yang melakukan perjalanan spiritual menuju Yerusalem. Di tengah perjalanan, mereka berpisah. Efim melanjutkan perjalanan, sementara Eliyah tinggal di sebuah desa untuk melakukan beberapa hal. Keduanya berjanji bertemu di Yerusalem. Hanya saja, ternyata Eliyah tidak pernah mencapai tanah suci itu, meskipun beberapa kali Efim merasa melihat sosoknya di antara lautan manusia. Jenis perjalanan yang harus ia tempuh ternyata agak berbeda dengan Efim. Namun, di akhir kisah, justru Eliyah-lah yang tampaknya lebih mendapat pelajaran hidup.
Ragam Sudut Pandang
Lima belas cerpen dalam buku ini mungkin terasa kurang banyak, apalagi jika Anda adalah penggemar nama-nama yang tertera di sana. Selain Tolstoy, ada Anton Chekov dan Franz Kafka, juga ada Svetlana Alexievich, Herta Müller, Ludmilla Petrushevskaya, dan Olga Tokarczuk di jajaran perempuan penulis.
Khalayak ramai negeri ini mungkin belum pernah mendengar sebagian besar nama-nama yang tertera di daftar isi, termasuk saya sendiri. Meskipun nama Tolstoy, Chekov, dan Kafka kerap saya dengar, tetapi sampai saya memegang kumpulan cerpen ini, belum satu pun karya mereka yang sempat saya nikmati. Ada rasa menyesal yang sempat terlintas, akan tetapi menguap begitu saja ketika mengingat tidak pernah ada kata terlambat untuk mempelajari sesuatu. Itu termasuk Anda, pembaca budiman, yang menyimak ulasan ini.
Mengapa begitu? Sebab, buku ini bukan sekadar kumpulan cerpen. Ini kumpulan kehidupan manusia. Dari kacamata saya sebagai orang yang banyak bergumul dengan naskah fiksi, judul buku Dari Tepi Sungai Vistula sengaja dipilih untuk mengajak pembaca menikmati sudut pandang melalui mata Anton Kurnia. Tentu, pilihannya terhadap sekian banyak karya sastra Eropa Timur didasari banyak pertimbangan. Namun, apa pun itu, tujuannya tetap baik: mengenalkan ragam seni tulis fiksi dari wilayah tersebut kepada pembaca di Indonesia.
Kisah-kisah yang tersaji tidak sekadar cerita ringan pengisi waktu luang, tetapi bukan pula jenis yang membuat pembaca lama mengerutkan dahi memikirkan maknanya. Seperti dalam Tragedi Buah Apel karya Miljenko Jergovic, pembaca seolah-olah diingatkan bahwa menilai seseorang tidak bisa secara instan, apalagi membenci hanya karena orang tersebut memiliki sesuatu yang tidak kita sukai. Atau, seperti dalam Senja karya Wladyslaw Reymont, lewat kisah seekor kuda yang sekarat, penulis mengingatkan pembaca bahwa siapa pun pasti akan menemui senjanya, menemukan jalan menuju cahaya.
tulis komentar anda